Menyikapi Aib Saudara Kita

Penulis: Sofyan Atstsauri*

KULIAHALISLAM.COM - Setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Akan tetapi, apakah setiap kesalahan yang mereka lakukan selayaknya kita sebarluaskan (ghibah). Bagaimana sikap kita seharusnya apabila melihat saudara kita melakukan kesalahan atau sebuah aib? Berikut setidaknya ada tiga langkah yang bisa diambil terkait dengan sikap seorang Muslim apabila melihat atau mengetahui aib saudaranya.


Menutupi aibnya

Salah satu hal yang perlu dilakukan apabila melihat aib seseorang adalah menutupinya, menjaganya, tidak meng-ghibahi, dan tidak menyebarluaskannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW; 

ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ

“Barangsiapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim no. 2699)

Hadis ini mengisyaratkan larangan ghibah atau menyebarluaskan aib atau kesalahan orang lain. Dari hadis ini juga dipahami bahwa apabila seseorang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya dari pandangan manusia, dan kesalahan-kesalahannya pun diampuni oleh Allah SWT. 

Sebaliknya, apabila seseorang dengan mudahnya meng-ghibahi saudaranya, maka Allah akan membuka dan memperlihatkan aibnya dalam pandangan manusia sehingga ia menjadi sangat malu dan tercela. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda; 

وَلاَتَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Jangan pula kalian mencari-cari kesalahan mereka (kaum Muslimin). Sesungguhnya, orang yang mencari-cari aib Muslimin, maka Allah akan mencari kesalahannya. Barangsiapa yang Allah cari kesalahannya, maka Allah akan membuka keburukannya di dalam rumahnya.” (HR. Abu Dawud, no 4880 dan Ahmad, no 18940)

Introspeksi Diri (Muhasabah)

Hal berikutnya yang perlu dilakukan apabila kita melihat aib seseorang adalah berintrospeksi diri, muhasabah, bercermin, dan menyibukkan diri melihat-lihat kembali kekurangan dan kesalahan kita sehingga terus menjadi pribadi yang lebih baik dari yang sebelumnya. 

Karena, boleh jadi aib orang lain yang kita lihat adalah kesalahan yang sebetulnya sudah biasa kita kerjakan. Artinya, kita terlalu sibuk mengurusi aib dan kesalahan orang lain, tapi lalai dengan kesalahan sendiri. Na’udzu Billah. 

Dalam hal ini, Abu Hurairah RA pernah berkata;

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه


“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di depan matanya.” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592)

Dengan kata lain, orang-orang yang sibuk memperhatikan dan memperbaiki kesalahannya sendiri sehingga tidak punya waktu untuk mengurusi aib orang lain, adalah orang-orang yang beruntung. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ

“Beruntunglah orang yang sibuk memperhatikan aibnya sendiri sehingga dia tidak sempat lagi memperhatikan aib orang lain.” (HR Al-Bazzar no 1539)

Menasihatinya

Setelah berusaha menutup aib saudara kita dan di saat yang sama diimbangi dengan sikap introspeksi diri, hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah bersegera memperbaiki dan menasehati saudara kita yang telah melakukan kesalahan agar kembali ke jalan yang benar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW;

الْمُؤْمِنُ مِرَآةُ أَخِيْهِ، إِذَا رَأَى فِيْهِ عَيْباً أَصْلَحَهُ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Jika dia melihat suatu aib pada diri saudaranya, maka dia memperbaikinya.” (HR Abu Dawud, no 4918 dan HR Bukhari dalam Adabul Mufrod, no 238)

Cermin merupakan gambaran yang paling jujur tentang diri kita yang sedang berdiri di hadapannya. Ia menunjukkan diri kita apa adanya, tiada lebih dan tiada kurang. Oleh karena itu, maksud daripada hadis ini adalah seorang mukmin wajib memberi nasihat kepada saudaranya, karena tidak ada yang lebih jujur selain dia. 

Artinya, seorang mukmin berupaya untuk memperbaiki aib dan kesalahan saudaranya, bukan malah mengumbar dan meng-ghibahi-nya. Dan barang siapa yang ingin me-muhasabah diri, maka tanyakanlah kepada saudaranya sesama muslim. 

Artinya, sikap seorang mukmin terhadap saudaranya adalah selalu merasa perhatian dan tidak meng-inginkan saudara melakukan kesahahan sehingga ia selalu berupaya untuk memperbaikinya. 

Perbuatan yang benar dari suadaranya, ia dukung, sedangkan perbuatan yang keliru dari saudaranya, ia perbaiki. Ia berkata benar terhadap saudaranya, tapi tidak serta-merta selalu membenarkannya. Ia menyatakan kebenaran pada saudaranya, tapi tidak selalu membenarkan kenyataan (kesalahan) yang ada padanya.

Disebutkan dalam sebuah maqalah;

الصديق مَن صَدَقَك لا مَن صدَّقك

“Teman yang baik itu adalah orang yang jujur padamu dan bukan yang selalu membenarkanmu.”

Akan tetapi, dalam upaya memperbaiki atau menasehati, kita tetap perlu memperhatikan cara-cara dan adab dalam menyampaikan nasihat; di antaranya adalah dengan cara menyampaikannya dengan lemah lembut dan secara tertutup; empat mata.

Berkaitan dengan pentingnya menyampaikan nasihat dengan lemah lembut dan tutur kata yang baik disebutkan dalam QS. Thaha ayat 43-44. Dalam ayat tersebut, Allah meminta kepada Musa dan Harun untuk berdakwah dan memberikan nasihat-nasihat kebaikan kepada Fir’aun. 

Salah satu yang perlu digaris-bawahi dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah berpesan kepada Musa dan Harun agar menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan tutur kata yang baik dan lemah lembut. Allah berfirman;

“Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha; 43-44)

Adapun berkenanan dengan pentingnya menyampaikan nasihat secara tertutup disampaikan oleh Imam Syafi'i. Beliau pernah berkata;

مَنْ وَعَظَ أخَاهُ سِرًّا فقد نَصَحَه وزَانَه، ومَنْ وَعَظَهُ عَلانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وشَانَه 

“Siapa yang menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar menasihatinya dengan benar. Sedangkan siapa yang menasihati di depan khalayak ramai, dia sebenarnya telah mengumbar aib dan menghina saudaranya."

Kesimpulan

Setidaknya ada tiga langkah atau sikap yang bisa diambil apabila melihat aib orang lain. Pertama, berusaha menutupinya, tidak melakukan ghibah. 

Kedua, introspeksi diri. Ketiga, bersegera menasihatinya agar saudara kita tidak tenggelam dalam kesalahan yang sama, dalam arti mengajak mereka untuk kembali menjadi pribadi yang baik atau bahkan yang lebih baik dari sebelumnya.

*) Alumni Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor. Saat ini mengasuh rumah tahfidz dan mengisi kajian Keislaman rutin di masjid dan musholla sekitar. 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال