Karakter Integritas Dalam Kehidupan

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Umumnya kata integritas lebih banyak dikaitkan dengan kepemimpinan–entah dalam bidang apapun: dalam dunia bisnis, lingkup pemerintahan, lingkup organisasi, atau kemasyarakatan. Itu tidak berarti bahwa yang dituntut memiliki integritas itu hanyalah mereka yang berada di posisi kepemimpinan. Semua orang, khususnya orang-orang dewasa, teristimewa yang berpendidikan diharapkan memiliki integritas.

Jika orang berbicara mengenai integritas, pastilah pikiran yang muncul adalah seputar hal-hal yang serba positif, hal-hal yang terpuji. Jadi kata integritas memiliki konotasi etis yang sangat kental.

Semua sikap dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis langsung dipandang sebagai yang bertentangan dengan integritas. Orang yang memiliki integritas adalah orang yang dianggap baik, panutan, yang dapat dipercaya, orang yang setia, jujur, jauh dari kepalsuan dan kepura-puraan, menjadi teladan dalam banyak hal.

Integritas dalam kepemimpinan menjadi perhatian yang makin berkembang dalam bisnis dan organisasi (Kanungo & Mendonca, 1996). Dunia bisnis menjadi ajang pertarungan tentang komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etis di tengah-tengah perburuan meraih sukses dilihat dari tolok ukur ekonomi yang kasat mata. Dunia bisnis memberikan banyak peluang untuk bisa melakukan segala cara demi meraih keuntungan sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Makin besar suatu bisnis, akan makin besar peluang untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, termasuk dengan mengabaikan kewajiban-kewajiban etis yang mengikatnya untuk diamalkan.

Banyak ahli ilmu organisasi dan juga para praktisi sekarang ini percaya bahwa kepemimpinan tanpa integritas sungguh membawa organisasi dalam bahaya serius (Morgan, 1993). Seperti diketahui bahwa keputusan seorang pimpinan akan memberi pengaruh besar pada organisasi. Jika seorang pemimpin memiliki cara berpikir dan bertindak bijaksana, hal itu akan membawa pengaruh terhadap seluruh bagian dalam organisasi. Demikian juga sebaliknya, ketika seorang pemimpinan membuat suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan buruk, yang biasanya menyentuh wilayah moral, maka dampak negatifnya pun akan sangat besar bagi organisasi.

Seorang pemimpin selalu menjadi pusat perhatian, pedoman, dan acuan bagi semua anggota dalam organisasi. Hal-hal yang diputuskan atau dilakukannya selalu menjadi referensi bagi para anggota dalam bertindak. Hal-hal yang diperhatikan khususnya menyangkut konsistensi antara perkataan dan tindakannya, cara dia menangani masalah, menghadapi keluhan karyawan dan pelanggan, dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakannya ketika hendak memutuskan sesuatu.

Ketika seorang pemimpin membuat suatu kebijakan berarti dia hendak menggiring organisasi secara keseluruhan untuk melakukan atau memerhatikan hal tertentu dalam menjalankan aktivitas harian mereka. Ketika kebijakan yang diambil ternyata keliru, dimana secara terang-terangan atau samar-samar mengabaikan aspek-aspek etis, maka seluruh karyawan atau bawahan ikut terbawa untuk mewujudkan keburukan atau kekeliruan yang terkandung dalam kebijakan itu

Dalam dunia kerja, wujud kepemilikan integritas diri itu muncul dalam bentuk kinerja atau hasil kerja baik. Dan untuk bisa memiliki kinerja baik maka diperlukan kompetensi. Integritas berperan mengarahkan kompetensi untuk menghasilkan kinerja baik dan berkualitas. Dalam kenyataannya umumnya terdapat kesalahpahaman tentang hubungan antara integritas dan kinerja.

Integritas dipahami tanpa mengaitkannya dengan kinerja. Sebaliknya juga kinerja dipahami tanpa mengaitkannya dengan integritas. Padahal sesungguhnya kedua hal itu memiliki kaitan erat.

Kompetensi baik yang dimiliki seseorang tidak otomatis atau menjadi jaminan bahwa orang itu akan menghasilkan kinerja baik. Hanya ketika orang itu memiliki integritas maka kompetensi yang dimilikinya membuahkan kinerja baik. Oleh karena itu seseorang, terlebih seorang pemimpin, harus memiliki integritas. Hanya dengan itu semua kemampuan memimpin yang dimilikinya dapat terarah untuk menghasilkan kinerja kepemimpinan etis, kepemimpinan yang berintegritas.

Pengertian Integritas

Konon, orang-orang Tiongkok kuno merasa tidak aman dengan kelompok Barbar Utara, mereka sering menghadapi serangan dari kaum Barbar itu. Jadi ada semacam permusuhan di antara mereka. Orang-orang Tiongkok kuno menginginkan rasa damai dengan kelompok Barbar tersebut, maka mereka pun membangun tembok besar yang cukup tinggi. Dengan itu mereka yakin bahwa tidak seorang pun bisa memanjat tembok itu, tembok itu sangat tebal sehingga tidak mudah untuk dihancurkan. Terjadi bahwa selama seratus tahun sejak tembok itu dibangun ada setidaknya tiga kali serangan musuh dialami oleh Tiongkok, tetapi tidak ada satu orang pun berhasil masuk melewati tembok itu karena tinggi, tebal, dan sangat kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Yang terjadi kemudian adalah musuh berhasil masuk dan melakukan penyerangan. 

Orang Tiongkok kuno itu berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan namun gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap, yang tidak hanya menghancurkan dirinya melainkan juga orang lain. 

Integritas adalah sesuatu yang terkait langsung dengan individu, bukan dengan kelompok atau organisasi. Kepemilikan integritas hanya bisa dikatakan kepada individu, bukan kepada keluarga, orangtua atau saudara. Integritas seorang ayah tidak serta merta menjadi integritas anaknya. Dalam cerita tersebut, kerapian kerja kelompok, berhasil membangun tembok yang baik dan kuat, tidak serta merta menjamin bahwa individu-individu yang ada di dalamnya juga otomatis memiliki ketahanan diri yang kuat. Penguatan utama yang mesti dilakukan adalah penguatan diri individu, yang menguatkan diri masing-masing anggota kelompok atau generasi berikutnya, untuk memiliki integritas diri yang baik dan kuat.

Dari cerita, integritas diri dapat diartikan sebagai suatu ketahanan diri untuk tidak tergoda berbagai desakan untuk memikirkan dan mengutamakan kepentingan dan atau keuntungan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan dan nasib orang banyak, dengan tanggung jawab hal itu sedang berada di tangannya. Integritas diri berkaitan dengan sikap selalu mengedepankan tanggung jawab, kepercayaan, dan kesetiaan terhadap janji. Integritas berkaitan dengan kemampuan menahan dan mengendalikan diri dari berbagai godaan yang akan menghancurkan harkat dan martabat mulia diri sendiri. Orang yang memiliki integritas adalah orang yang bisa diandalkan, dipercaya, dan diteladani.

Makna Integritas

Kata integrity memiliki konotasi etis, dan menurut Minkes, et al. (1999), perilaku etis berkaitan dengan “ought” atau “ought not”, bukan hanya “must” dan “must not”. Oleh karena itu terdapat ukuran-ukuran lain yang terletak di belakang apa yang dituntut hukum atau ukuran-ukuran lain yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan keuntungan. Jadi masalah integritas tidak bisa dibatasi hanya pada hal-hal yang kelihatan saja atau yang dapat diukur dari sudut pandang butir-butir hukum. Perilaku yang dapat diamati dan dianggap sesuai dengan aturan atau hukum, belum tentu juga etis.

Integritas adalah suatu konsep yang biasanya digunakan dalam diskusi formal dan informal tentang leadership dan teori-teori organisasi, namun demikian tidak begitu jelas dirumuskan dan dimengerti (Rieke & Guastello, 1995). Sebagai contohnya, dalam literatur yang ada, kata seperti integrity, honesty, and conscientiousness sering tidak dibedakan, dan cenderung digunakan sebagai istilah yang dapat dipertukarkan tanpa keterangan lebih lanjut (Becker, 1998).

Kata integrity berasal dari bahasa Latin integritas, yang artinya keutuhan, kekuatan, tak tersentuh, dan keseluruhan (Peterson dan Seligman, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Integritas mengacu pada moral kejujuran dan self-unity; dalam hal karakter moral (Peterson dan Seligman, 2004, hlm. 250). Macfarlane dkk. (2012) mendefinisikan integritas sebagai penghormatan terhadap individu dan semua bentuk kehidupan lainnya.

Keunggulan Integritas Diri

Integritas diri dapat juga secara khusus dilihat sebagai yang berkaitan dengan dimensi kejiwaan/mental/spiritual dari manusia tanpa terlalu mengaitkannya dengan dimensi sosial, apalagi dimensi fisik. Integritas diri dilihat sebagai sikap mental kejiwaan yang selalu konsisten dalam menjalankan kehidupannya. Dia hidup konsisten dengan nilai baik dan benar yang diyakininya. Keyakinan itu bukan sebagai yang bersifat buta, melainkan yang masuk akal dan dapat diterima oleh banyak orang. Orang lain mengakuinya sebagai yang memiliki integritas diri justru karena mereka ikut membenarkan konsistensi yang dimiliki orang tersebut beserta nilai yang dianutnya.

Dari survei lisan yang pernah dilakukan kepada sejumlah CEO, pimpinan dunia usaha, dan eksekutif puncak perusahaan di seluruh dunia, Adrian Gostick dan Dana Telford, dalam buku mereka, Keunggulan Integritas (2006), disebutkan beberapa karakteristik yang secara konsisten diperlihatkan oleh orang yang berintegritas tinggi, yakni: Menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting; Menemukan yang benar (saat orang lain hanya melihat warna abu-abu); Bertanggung jawab; Menciptakan budaya kepercayaan; Menepati janji; Peduli terhadap kebaikan yang lebih besar; Jujur dan rendah hati; Bertindak bagaikan tengah diawasi; serta Konsisten.

1). Menyadari bahwa Hal Kecil Itu Penting

2). Menemukan yang Benar (Saat Orang Lain Hanya Melihat Warna Abu-Abu)

3). Bertanggung Jawab

4). Membudayakan Kepercayaan

5). Peduli pada Kebaikan yang Lebih Besar

6). Jujur dan Rendah Hati

7). Bertindak Bagaikan Tengah Diawasi

8). Konsisten

Integritas dalam Dunia Kerja

Dalam dunia kerja, kata integritas bukan hanya masalah kejujuran, masalah etis dan moral, bahwa orang tidak berbohong atau tidak melakukan hal-hal tidak bermoral. Integrity berkaitan juga dengan kinerja, suatu pencapaian hasil baik yang dicapai dengan selalu menjunjung tinggi kejujuran dan nilai-nilai moral lainnya. Kata integrity berasal dari akar kata “integrated”, yang berarti berbagai bagian dari karakter dan keterampilan berperan aktif dalam diri kita, yang tampak dari keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan kita (Lee, 2006). Untuk dapat menghasilkan kinerja baik di tempat kerja, seseorang harus memiliki dalam dirinya kemampuan-kemapuan seperti, jujur, berani, berdaya juang, membangun hubungan baik, pandai mengorganisasikan diri sendiri, teratur, dan terencana dengan baik.

Integritas harus dapat menyumbang pada perbaikan kehidupan, dan dalam konteks dunia kerja berarti perbaikan kinerja. Itu berarti integritas tidak hanya bersifat negatif saja, sekadar untuk tidak berbohong, tidak curang, atau tidak melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Integritas harus juga memiliki sifat positif, yakni berbuat sesuatu untuk menghasilkan sesuatu, dengan suatu kualitas moral di dalamnya. Integritas diri harus mendorong pencapaian hasil baik dari diri sendiri, entah berupa kinerja baik atau pencapaian hal-hal baik dalam kehidupan. Jadi sifat negatif dan positif itu harus berjalan bersama. Seraya seseorang berusaha untuk tidak berbohong, tidak curang (mengendalikan diri), dia juga harus berbuat sesuatu untuk memperlihatkan hasil atau pencapaian yang baik. Hal yang pertama, yang sifatnya negatif itu, suatu tindakan menaham dan mengendalikan diri itu, barulah tahap minimal dari perwujudan integritas, tahap maksimalnya justru dicapai ketika sifat positifnya itu muncul, berupa tindakan-tindakan baik yang menghasilkan sesuatu dengan kualitas baik. Umumnya dianggap bahwa tahap minimal itu berupa penghindaran (menahan dan mengendalikan diri) untuk berbuat yang tidak baik merupakan hal utama dalam hal integritas dan sifatnya wajib, sedangkan tahap maksimalnya, suatu tindakan menghasilan sesuatu yang berkualitas, merupakan harapan atau himbauan. Tapi dalam kaitan dengan dunia kerja, maka tahap maksimal itu bukan hanya himbauan atau harapan saja, melainkan suatu tuntutan, keharusan.

Dengan demikian, ada berbagai sifat-sifat pribadi dan kemampuan tertentu yang mesti digabungkan dengan kejujuran dan berbagai sikap positif lainnya untuk bisa menghasilan apa yang disebut integrity. Semuanya itu akan menghantar pada keberhasilan di tempat kerja. Jadi perihal kompetensi dalam bidangnya merupakan juga bagian dari integrity. Tanpa adanya kompetensi maka sulit untuk menunjukkan integritas itu sendiri, sementara kompetensi sendiri akan sulit berwujud kinerja baik tanpa disertai bagian-bagian dari karakter, yang mendorongnya untuk bisa mencapai hasil yang baik dan dengan cara yang baik (bandingkan Simon, 2007; 2011).

Berbicara mengenai integritas di tempat kerja tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang kompetensi yang dimiliki oleh seseorang untuk bisa menghasilkan kinerja baik di tempat kerja. Kedua hal itu saling mendukung. Orang dikatakan makin memiliki integritas, dia makin memerhatikan kompetensinya juga; dan sebaliknya, orang makin memiliki kompetensi yang baik dia juga memerhatikan integritasnya. Orang yang memiliki kompetensi yang baik namun tidak memiliki integritas, maka kemampuan (kompetensi) yang baik itu bisa tidak menghasilkan kinerja atau hasil kerja yang baik. Demikian juga sebaliknya, orang yang memiliki integritas yang baik, namun tidak memiliki kompetensi yang baik, juga tidak bisa diharapkan menghasilkan kinerja yang baik pula.

Sukses berkarier dan integritas berjalan bersamaan. Seseorang yang memiliki integritas dapat menunjukkan bahwa mereka membuat pilihan-pilihan etis dalam kehidupan kerja mereka tiap hari.

Orang-orang ini sering keluar sebagai pemenang dalam arti yang sesungguhnya dalam persaingan karir. Mereka yang memiliki bawahan, perlu lebih aktif menginspirasi bawahan mereka. Mereka aktif mempromosikan integritas melalui sikap dan tindakan pribadi mereka, kepercayaan dan komitmen pada nilai inti organisasi (Gauss, 2000). Secara lebih jelas hal ini dikemukakan oleh Simons (2002), bahwa integrity merupakan sebuah pola yang kelihatan dimana adanya kesamaan antara kata dan perbuatan. Atau dengan kata lain, suatu kenyataan bahwa seorang pemimpin dapat dilihat dengan jelas ketika dia melakukan apa yang dia katakan. Ketentuan penting dalam hal integritas adalah bahwa dalam kenyataannya seorang pemimpin menepati janjinya, dan memperlihatkan nilai-nilai yang selalu dijunjungnya.

Integritas Seorang Pemimpin 

Integritas pada diri seseorang berkaitan dengan sikap untuk selalu mengutamakan tanggung jawab, kesetiaan terhadap janji, dan kepercayaan. Integritas terkait dengan kemampuan untuk mengendalikan dan menahan diri dari bermacam godaan yang dapat merusak martabat dan harkat mulia seseorang. Seseorang yang memiliki integritas merupakan orang yang dapat dipercaya, diandalkan, dan dapat diteladani (Gea, 2014).

Ashford & Halfon di dalam (Widyarini et al., 2019) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki integritas, kewajiban moralnya tinggi dan cenderung selalu benar dalam moral, serta dalam hal lain apabila seseorang menekankan tujuan moral didalam dirinya akan mendorong seseorang tersebut tetap konsisten, mempunyai pemikiran yang logis dan jelas serta berhati-hati didalam mempertimbangkan isu-isu yang berkaitan dengan moral. 

Integritas juga dapat diartikan sebagai sebuah kesesuaian antara tindakan dengan prinsip dan nilai yang dipegang teguh, tanpa adanya kepalsuan dan sesuatu yang ditutup-tutupi. Dimanapun berada dan dengan kondisi apapun, mereka yang memilliki integritas, tetap memegang prinsip yang dianutnya.

Seseorang yang memiliki integritas yang kuat maka dia dapat mempengaruhi orang lain di sekitar dengan prinsipnya, sehingga dapat mencontohkan perilaku baik dalam kehidupan, bahkan menjadi model bagi generasi penerusnya. Werren Bennis berpendapat: “Di dalam arena kepemimpinan, karakter mempunyai arti”. Seseorang tidak akan jatuh dari kedudukannya (sebagai pemimpin) karena orang tersebut tidak berkompeten secara teknis. Namun banyak sekali orang jatuh, karena perilaku tidak jujur (tidak berintegritas) dan memiliki karakter kurang baik (Wijaya, 2015). Dengan demikian integritas merupakan sifat jujur, karakter atau perilaku baik yang dimiliki seseorang.

Seseorang yang memiliki integritas dapat terlihat dan tergambar dari perilaku orang tersebut. Perilaku yang mencirikan integritas yang baik berupa: a) perilaku jujur; b) sejalan dan konsisten antara apay yang diucapkan dengan tindakan; c) mematuhi dan menjalankan aturan dan etika dalam berorganisasi; d) dapat memegang teguh komitmen serta prinsip yang diyakini kebenarannya; e) bertanggung jawab penuh terhadap keputusan, Tindakan dan konsekuensi yang mengikutinya; f) memiliki kualitas diri agar dapat dihormati orang lain; g) konsisten untuk patuh pada etika dan moral yang berlaku di masyarakat; h) memiliki kearifan dalam membedakan mana yang benar dan yang salah, serta dapat mendorong orang lain untuk menerapkan hal tersebut (Redjeki& Herdiansyah, 2013). 

Kejujuran dibutuhkan untuk menciptakan integritas (Wisesa, 2002). Modal dasar seorang pemimpin adalah berperilaku jujur, karena tanpa kejujuran maka apa yang dilakukan akan sia-sia belaka, seperti apa yang disampaikan (Keselman, 2012), bahwa pemimpin berintegritas menunjukkan kejujuran pada diri sendiri dan orang lain.

Jujur adalah modal mendasar bagi seorang pemimpin. lebih lanjut Brown & Trevino (2006) dalam (Yustina, 2017) mengemukakan bahwa pemimpin etis memiliki karakteristik seperti peduli, jujur, dan berpikiran tinggi yang membuat keputusan yang adil. Pada generasi milenial, mereka ini adalah tulang punggung kepemimpinan nasional, karenanya perilaku jujur merupakan modal dasar kepemimpinan mereka dalam menggerakkan sumber daya, terutama SDM agar mampu menjadi SDM unggul.

Amanah adalah titipan. Kepemimpinan adalah sebuah amanah atau kepercayaan. Kepercayaan yang telah diberikan tidak boleh dikhianati dari yang memberikan kepercayaan tersebut (Amirin, 2007). Amanah merupakan fondasi dasar dalam relasi sosial manusia (Agung & Husni, 2017).

Seseorang yang mendapatkan amanah jabatan, maka harus dijaga dengan baik kebermanfaatannya bagi perusahaan yang menitipkannya. Menurut (Hapsari & Masud, 2018), seseorang yang diberikan amanah, maka ia tidak boleh berkhianat terhadap tanggung jawab yang diberikan. 

Seorang pemimpin yang mempunyai integritas yang kuat, maka mampu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap bawahan yang dipimpinnya untuk memberikan kontribusi yang positif terhadap kemajuan organisasi. Kepemimpinan artikan sebagai kemampuan seseorang untuk meyakinkan dan mempengaruhi suatu kelompok dalam mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi suatu kelompok menuju tercapainya visi atau tujuan yang ditetapkan (Robbins dan Judge, 2015). Karakter yang penting dimiliki oleh mahasiswa diantaranya memiliki kejujuran dan integritas.

Jujur adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Perilaku jujur juga dapat dipahami tidak hanya sebatas perkataan yang benar saja tapi juga dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang benar seperti menaati peraturan yang berlaku. Banyak ayat Al-Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah Muhammad Saw menyatakan dalam sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke surga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta",(HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud).

Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

Adapun integritas adalah sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, berpegang teguh pada prinsip dan kesesuaian antara kata dengan perbuatan. Aryani (2014: 31), menjelaskan bahwa orang yang memiliki integritas adalah orang yang: a) Memiliki komitmen yang tinggi dalam suatu pekerjaan.

Artinya bahwa orang yang memiliki komitmen adalah mereka yang menepati janji dan keyakinan diri yang kuat, termasuk untuk tidak menyontek (plagiat), b) Memiliki tanggungjawab. Artinya bahwa orang yang bertanggung jawab adalah mereka yang berani mengambil resiko dan total melakukan sesuatu dengan kemampuan terbaik yang dimilikinya, termasuk bertanggung jawab untuk menyelesaikan soal/tugas dari dosen secara jujur tanpa melakukan plagiat., c) Orang yang memiliki integritas adalah orang yang dapat dipercaya, jujur dan setia. Artinya bahwa seorang yang memliki integritas berarti ia adalah orang sejalan antara kata dan perbuatan, termasuk jujur dalam mengerjakan soal/tugas dari dosen tanpa harus melakukan plagiat., d) Orang yang memiliki integritas adalah orang yang konsisten pada pendirian. Artinya bahwa orang yang konsisten adalah mereka yang tegas pada keputusan dan pendiriannya, dengan melakukan perimbangan yang bijak dalam bertindak dan bertingkah laku.

Jujur dan integritas merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata integritas adalah sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, berpegang teguh pada prinsip dan kejujuran (satunya kata dengan perbuatan). Sementara arti kata jujur sendiri adalah berkata yang benar, tidak berbohong dan tulus. Berdasarkan pengertian tersebut, bisa dikatakan bahwa kejujuran dan integritas adalah dua hal yang saling berkaitan, dan saling melengkapi satu sama lain. Artinya, seorang yang jujur pasti berintegritas, demikian pula sebaliknya.

Kesimpulan 

Integritas banyak dikaitkan dengan sikap jujur, dapat dipercaya, bertanggung jawab, setia, dan dapat menahan diri. Semuanya itu merupakan kualitas baik yang bisa bahkan harus dimiliki oleh seseorang. Kualitas-kualitas seperti itu menjadi semakin mendesak adanya dalam diri seorang pemimpin. Hal ini terjadi karena posisi seorang pemimpin sangat strategis dalam perjalanan suatu organisasi, termasuk organisasi bisnis. Pemimpin yang tidak memiliki integritas akan merusak perjalanan organisasi yang dipimpinnya, dan itu berarti kerugian besar bagi perusahaan dan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.

Dalam dunia kerja masalah integritas tidak bisa dilepaskan dari wujud hasil kerja baik atau prestasi. Oleh karena itu integritas tidak bisa dilepaskan dari atribut-atribut lain yang perlu dimiliki oleh seseorang. Kompetensi atau kemampuan dalam bidangnya menjadi sesuatu yang krusial dalam perwujudan integritas. Tanpa kompetensi, maka integritas akan sulit kelihatan, dan sebaliknya tanpa integritas maka kompetensi bisa tidak muncul dalam bentuk hasil kerja yang baik. Dengan demikian integritas dan kompetensi merupakan dua hal yang saling membutuhkan, yang akan menghantar pencapaian kinerja atau hasil kerja baik dan berkualitas.

Integritas menjadi modal sangat penting dalam perwujudan kepemimpinan etis, suatu kepemimpinan yang selalu menggunakan pertimbangan-pertimbangan etis dalam setiap kebijakan, keputusan atau tindakan yang diambilnya. Salah satu contoh wujud integritas dalam kepemimpinan etis dalam dunia bisnis adalah penerapan prinsip tidak merugikan orang lain (minimal) dan prinsip berbagi kebahagiaan bagi orang lain (maksimal).

Secara etis prinsip pertama (minimal) merupakan keharusan, sedangkan prinsip kedua (maksimal) merupakan himbauan moral. Ketika kedua prinsip itu dapat dijalankan dengan tulus, maka dampak positifnya bagi perusahaan sangatlah besar. Mereka yang merasakan pemenuhan prinsip itu oleh perusahaan akan meresponnya secara positif. Karyawan akan bekerja lebih sungguh-sungguh, dan masyarakat luas, khususnya masyarakat sekitar akan ikut mengamankan keberadaan perusahaan itu di tengah-tengah mereka. Respons positif seperti ini, dari karyawan dan juga dari masyarakat sekitar akan berdampak pada rasa nyaman bagi perusahaan,kinerja yang makin baik dari karyawan, dan tentu produktivitas yang makin tinggi. Semuanya itu akan mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan. 

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال