Alquran; Manusia Sejak Lahir Memiliki Insting Sosial

 



Mari kita memulainya dengan merenungkan beberapa fakta menarik kehidupan manusia. Pertama, bila kita memperhatikan bayi, bayi lazimnya akan  menunjukkan kesusahan ketika dipisahkan dari pengasuhnya; biasanya menangis. Dan entah bagaimana, entah siapa yang mengajarinya, ia secara proaktif mencari perhatian kita. Kedua, ternyata struktur otak manusia memiliki area khusus yang didedikasikan untuk kognisi sosial, pemrosesan emosi, dan pemahaman niat orang lain. Struktur seperti ini menunjukkan kepada kita tentang fakta ‘predisposisi saraf’ untuk interaksi sosial. Ketiga, penjelasan sejarah mengatakan bahwa adanya Kohesi sosial dalam bentuk saling memfasilitasi perburuan, pertahanan, dan berbagi sumber daya. Kohesi sosial ini, membuktikan keuntungan dalam bertahan hidup para manusia di zaman prasejarah. Fakta keempat, dimana pun kita menemukan manusia, kita selalu menemukan kecenderungan adanya altruisme dalam Kelompok sosial dan struktur budaya. Hal ini mengajak kita menyimpulkan bahwa ada  kecenderungan universal manusia menuju kehidupan kolektif.

Namun, selain adanya fakta-fakta tadi, kita juga menemukan sederet fakta yang membawa kita kepada kesimpulan berbeda. Fakta bahwa tidak semua orang bisa menikmati kehidupan sosial. Contohnya para introvert sering kali memiliki pola ‘usaha lebih’ dan kebutuhan sosial yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang ekstrovert. Fakta adanya konflik sosial semacam perang, persaingan, dan eksploitasi. Hal ini menunjukkan bahwa manusia juga dapat saling menyakiti; seolah-olah menyimpulkan bahwa kemampuan bersosialisasi manusia  tidak sepenuhnya naluriah. Fakta adanya isolasi sosial dan egois bukanlah karakter sosial manusia.

Dua fakta yang berseberangan itu akhirnya memunculkan satu pertanyaan filosofis, apakah manusia adalah mahluk sosial sejak lahir? Atau apakah manusia memang diprogram untuk hidup secara kolektif? Pertanyaan ini, menimbulkan nuansa perdebatan serius dikalangan para filsuf dan ilmuwan. Perdebatan-perdebatan itu muncul dalam lintas ilmu dengan pendekatannya masing-masing. Penjelasan datang dari para sosiolog, psikolog, ekonom dan bahkan tidak ketinggalan para filsuf. Sebelum kita masuk ke penjelasan alquran, tentu akan lebih menarik bila kita mencermati alasan-alasan itu.

Penulis telah mengumpulkan berbagai jawaban dan telah meramunya. Paling tidak ada 3 teori jawaban atas pertanyaan tersebut. Teori  pertama mengatakan ya, bahwa memang manusia bersifat kemasyarakatan; bermasyarakat merupakan tujuan umum dan universal yang, secara fitri, insting, naluriah (gifted), ingin dicapai manusia. Sepertinya, teori ini didukung oleh beberapa ilmuwan  seperti, Emile Durkheim, Aristoteles, Jean-Jacques Rousseau, Erving Goffman dan Harry Harlow. Meskipun tesis mereka tidak mampu menjelaskan asal dari nafsu kolektif ini, mereka dengan gamblang menjelaskan akibat kelanjutan dari nafsu bermasyarakat ini.

Penelitian Durkheim terhadap suku aborigin di Australia dan sistem agama misalnya. Penelitian beliau menyimpulkan bahwa agama/ totemisme adalah wujud nyata adanya nafsu kolektif manusia. Saking nafsunya, manusia sampai harus menciptakan agama untuk melanggengkan kemasyarakatan.  Mirip dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia dengan nafsunya harus sampai berpolitik. Politik inilah yang membedakan nafsu manusia dengan hewan. Satu langkah maju dari hewan, politik adalah satu-satunya jalan  manusia menemukan kepuasan alami mereka dalam komunitas. Dengan adanya politik, manusia mengembangkan akal dan etikanya. Melanjutkan tesis Aristotelian, Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya "The Social Contract," meyakini  bahwa manusia sejak awal adalah baik. Tetapi kebaikan tersebut  terkorupsi oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat, manusia perlu menyepakati kontrak-kontrak baru. Sebab kontrak sosial adalah cara untuk memastikan keberadaan yang adil dan harmonis.

Lain lagi dengan Erving Goffman, yang menyatakan bahwa sejak awal manusia punya nafsu untuk menampilkan diri. Beliau memperkenalkan konsep dramaturgi dalam karyanya "The Presentation of Self in Everyday Life." Dia berargumen bahwa kehidupan sosial mirip pertunjukan teater, dan individu terlibat dalam manajemen impresi untuk mempresentasikan diri secara efektif dalam interaksi sosial. Pandangan beliau lebih menekankan pentingnya membentuk identitas seseorang dengan cara membangun hubungan sosial.

Seolah berusaha menjelaskan asal nafsu alamiah itu, Harry Harlow masuk dalam ranah psikologis. Penelitian beliau terhadap monyet rhesus menunjukkan bahwa monyet lebih memilih kenyamanan dari induk pengganti yang lembut daripada induk kandungnya yang hanya menyediakan makanan. Akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa kebutuhan emosional lebih penting dari pada kebutuhan makan. Disimpulkan bahwa  kebutuhan emosional dan sosial individu melampaui insting dasar untuk bertahan hidup. Hal ini menjadi bukti bahwa Jauh dalam batinnya, mahkluk-makhluk  ini adalah mahluk emosional dan sosial. Beragam penelitian psikologi semacam   ini akhirnya mencetuskan Psikologi Evolusi. Dalam Psikologi evolusi  dijelaskan bahwa perilaku sosial kooperatif memberikan keuntungan signifikan untuk kelangsungan hidup dan reproduksi di lingkungan nenek moyang kita. Sehingga perilaku sosial ini tertanam secara genetik turun-temurun.

Tentu saja dengan seperangkat asumsi terbatas itu; dengan hanya bermodal metode empiris dan penalaran akal saja, hingga hari ini manusia tidak mungkin menjelaskan asal naluri manusia ini.  Ketidakmampuan ini pada akhirnya akan jatuh pada dukungan terhadap teori yang kedua. Teori kedua menyatakan bahwa manusia melakukan tindakan sosial bukan karena naluri bawaan. Tetapi justru karena merasakan adanya ancaman dari luar dirinya. Ancaman-ancaman eksternal ini membuat manusia terpaksa bermasyarakat. Manusia bermasyarakat tentu saja karena kelemahannya dan demi melengkapi kelemahan tersebut manusia membutuhkan kehadiran orang lain dan bermasyarakat.

Teori evolusi Darwin dan survival of the fittest dapat diinterpretasikan sebagai penjelasan bahwa perilaku sosial, termasuk kerjasama, hanyalah strategi adaptif untuk bertahan hidup daripada naluri sosial bawaan. Keinginan bertahan hidup individu dalam perjuangan seleksi alam memaksanya untuk berperilaku sosial. Anggapan bahwa perilaku sosial hanyalah tujuan dari individualisme ini kemudian   Kebanyakan didukung oleh para penganut Utilitarianisme.

Sebagaimana penganut utilitarianisme, Thomas Hobbes dalam karyanya "Leviathan," menjelaskan bahwa individu berkumpul dalam masyarakat politik karena kebutuhan akan keamanan dan ketertiban. Karena kepentingan individu inilah Hobbes mengusulkan konsep kontrak sosial. Namun, kepentingan individu yang rakus ini cenderung tak terbatas. Sehingga Thomas Malthus mengusulkan Teori populasi. Malthus menunjukkan bahwa populasi manusia cenderung melebihi sumber daya, yang mengarah pada kompetisi dan konflik. Sehingga, dia melihat bahwa kerjasama adalah jalan paling strategis manusia untuk bertahan hidup di dunia yang kekurangan sumber daya ini.

Friedrich Nietzsche: Nietzsche, sambil mengakui kebutuhan manusia akan koneksi, mengusulkan pandangan yang lebih gelap tentang hubungan sosial. Dia melihat "kehendak untuk berkuasa" sebagai pendorong manusia fundamental, yang mengarah pada persaingan dan perjuangan dominasi yang konstan. Meskipun tidak secara eksplisit menolak kerja sama, beliau memandang tindakan sosial hanyalah aliansi sementara berdasarkan kepentingan pribadi daripada keinginan bersosialisasi.

Dalam ranah hubungan internasional, teoretisi realis seperti Hans Morgenthau dan Kenneth Waltz berargumen bahwa negara membentuk aliansi dan kerjasama bukan karena naluri persahabatan, melainkan sebagai respons terhadap ancaman eksternal. Keseimbangan kekuatan dan kekhawatiran keamanan menjadi penggerak utama interaksi negara. Ini bukti bahwa  hubungan sosial itu bersifat pragmatis. Akhirnya menurut teori kedua, apa yang disebut masyarakat/ aliansi, organisasi itu tidak ada; yang ada hanyalah kepentingan individu-individu yang bersatu dalam tindakan sosial.

Kesimpulan teori yang menihilkan adanya bentuk kemasyarakatan ini dibantah dengan teori ketiga. Teori ketiga menyatakan bahwa memang manusia berkarakter sosial, tetapi tidak seperti teori pertama, ini bukan karena naluri/alami (gifted). Adanya fenomena sosial dalam kehidupan manusia bukan pula karena terpaksa seperti teori kedua. Tetapi, faktor utama yang membentuk kehidupan sosial adalah kemampuan rasional manusia untuk memperhitungkan apa yang terbaik menurut dirinya. Tindakan sosial hanyalah soal pilihan saja.

Adam Smith, sering dianggap sebagai bapak ekonomi, mengusulkan konsep "tangan tak terlihat" dalam karyanya "The Wealth of Nations." Beliau berargumen bahwa individu, dalam mengejar kepentingan diri sendiri, secara tidak sengaja ikut berkontribusi pada kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Ide ini mengindikasikan bahwa ketertiban sosial dan kerja sama muncul sebagai hasil dari kepentingan diri yang rasional daripada naluri sosial bawaan. Tesis Adam Smith ini, biasanya didukung oleh para ekonom dan rasionalisme.

Sebagaimana seorang rasionalis, Herbert Simon memperkenalkan konsep “bounded rationality”, rasionalitas terbatas. Dia berpendapat bahwa individu, meskipun rasional, memiliki kapasitas kognitif yang terbatas dan harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Dalam interaksi sosial, individu memang selalu berencana sesuai cita-citanya. Namun segala rencana tersebut terjebak dalam batasan kemampuan kognitif dan informasi yang tersedia. Batasan kognisi ini, menyebabkan ia harus selalu memilih ketika bertindak sosial.

Rasionalis lain datang dari Gary Becker, seorang ekonom, memperluas analisis ekonomi ke interaksi sosial melalui konsep "ekonomi sosial." Dia menerapkan teori pilihan rasional pada berbagai fenomena sosial, contohnya dinamika pernikahan dan keluarga. Tesis ini menyiratkan bahwa individu terlibat dalam hubungan sosial berdasarkan perhitungan rasional terhadap biaya dan manfaat. Didukung oleh Karya Foucault, dalam "The Birth of Biopolitics," yang mengeksplorasi tentang ide pemerintahan dan rasionalisasi kehidupan sosial. Di dalam karyanya kita mendapati  bagaimana individu dan masyarakat diperintah melalui berbagai mekanisme, menekankan peran akal budi dan pengambilan keputusan terencana dalam membentuk struktur sosial. Akhirnya, para ekonom rasionalis ini memunculkan konsep Ekonomi Institusional. Sebuah pendekatan yang berfokus pada peran lembaga dan aturan dalam membentuk perilaku sosial. Pendekatan ini diyakini dengan asumsi bahwa kerja sama dapat dipelihara dengan merancang lembaga yang menyelaraskan kepentingan individu dengan kebaikan kolektif.

Kesimpulan keseluruhan yang dapat kita petik adalah: Menurut teori yang pertama, hidup bersosialisasi merupakan tujuan universal yang hendak dituju oleh individu secara naluriah. Sedangkan Menurut teori yang kedua, hidup bersosialisasi merupakan sesuatu yang kebetulan, tidak esensial, sebab tujuan yang tertinggi adalah kepentingan individu itu sendiri. Sedangkan menurut teori yang ketiga, hidup bersosial merupakan salah satu tujuan intelektual  individu dan bukan salah satu tujuan naluriah.

Diantara ketiga teori tersebut, tesis yang manakah yang paling sesuai dengan pandangan Alquran? Tentu saja teori yang pertama. Meskipun tesis para ilmuan pendukung teori pertama ini tidak mampu menjelaskan asal asul naluri alamiah tersebut, AlQuran hadir untuk melengkapi kelemahan dan kebingungan tesis mereka. AlQur’an menegaskan bahwa manusia sejak lahir memiliki insting sosial.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan telah menjadikan kamu ber­bangsa­bangsa dan bersuku­suku, supaya kamu saling mengenal  (bukan berarti, lalu kamu bisa berunggul/ bersombong-sombong diri atas yang lain). Tentu, yang paling mulia di antara kamu, dalam pandangan Allah, ialah yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dari ayat ini, terdapat  implikasi yang menunjukkan filosofi kehidupan bermasyarakat; hikmah sosial penciptaan manusia. Manusia sengaja diciptakan sedemikian rupa sehingga terbentuk berbagai bangsa dan suku yang berbeda-beda. Perbedaan  eksistensial manusia itu diidentifikasi berdasarkan hubungan sosialnya, yakni bangsa dan sukunya.

Ayat ini juga memberi kita solusi problematika sosial; bahwa syarat penting kehidupan bersosialisasi adalah kesanggupan mengenal satu sama lain. Bila individu tidak mengenal individu lainnya maka kehidupan sosial itu mustahil ada.  Seandainya tidak ada bangsa, suku, dan afinitas (hubungan karena pernikahan) lain yang serupa, yang menjadi ciri pemersatu dan pembeda, maka mustahil mengidentifikasi manusia. Akibatnya, mustahil ada kehidupan sosial yang landasannya adalah hubungan timbal balik antarmanusia.  

Keterikatan kebangsaan, kesukuan, dan perbedaan lain, seperti bentuk tubuh dan warna kulit, membentuk identitas tiap individu. Seandainya saja seluruh individu sama bentuk tubuhnya, sama warna kulitnya, sama ciri-cirinya, serta seandainya saja keterikatannya sama, maka seluruh individu akan sama, seperti produk buatan pabrik dan satu sama lain tidak bisa dibedakan. Ujung-ujungnya, mustahil mengenali mereka satu per satu sehingga tidak mungkin ada kehidupan sosial yang dilandaskan pada hubungan timbal balik, pertukaran pikiran, produk, serta jasa. Karena itu, afiliasi manusia ke suku dan komunitas yang berbeda memiliki maksud dan tujuannya. Ini menjadi syarat penting bagi kehidupan sosial. Namun, afiliasi ke ras atau keluarga tertentu bukanlah soal kebanggaan atau bukan berlandaskan dakwaan siapa yang lebih unggul. Sesungguhnya, dasar keunggulan tidak lain adalah kemuliaan manusia dan ketakwaan individu. Di ayat lain, Alquran mengatakan,

وَهُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ مِنَ ٱلۡمَآءِ بَشَرٗا فَجَعَلَهُۥ نَسَبٗا وَصِهۡرٗاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرٗا ٥٤

 "Dan Dia (pulalah) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia menjadikan manusia itu (punya) keturunan dan hubungan kekeluargaan (yang bersumber dari pernikahan, seperti menantu, ipar, mertua, dan sebagainya)," (QS Al­ Furqan : 54)

Ayat ini melukiskan hubungan darah dan perkawinan yang mengikat satu individu dengan individu lainnya dan membentuk pijakan untuk mengidentifikasinya, lantaran skema penciptaan dirancang untuk tujuan yang logis dan arif. Di tempat lain, Alquran mengatakan,

أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢

 

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan," (QS Al-Zukhruf : 32).

Ayat  itu memperlihatkan bahwa manusia tidak diciptakan dengan bakat dan kemampuan yang sama. Sekiranya diciptakan sama, sudah tentu masing-masing orang mempunyai sesuatu yang dipunyai orang lain dan tidak mempunyai apa yang tidak dipunyai orang lain. Jika demikian halnya, tentu saja satu sama lain tidak membutuhkan sehingga pertukaran jasa tidak berlangsung. Allah menciptakan manusia berbeda-beda bakatnya, kekuatan fisiknya, kekuatan rohaninya, serta kekuatan emosionalnya. Allah SWT menjadikan sebagian manusia lebih unggul atas sebagian lainnya dalam hal-hal tertentu, sementara sebagian lainnya itu sering unggul dalam hal-hal yang lain. Dengan demikian, seluruh manusia saling bergantung sehingga ada keinginan untuk saling bekerja sama. Dengan demikian, Allah SWT telah melapangkan jalan bagi terbangunnya kehidupan sosial manusia.
        
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kehidupan sosial itu bersifat alamiah. Sekalipun alamiah, manusia tidak pernah dalam keadaan terpaksa bersosial. Juga, sekiranya manusia hidup bersosial, itu bukanlah sepenuhnya  pilihan manusia. Sebab pilihan manusia berada dalam kendali dari luar dirinya.  Keadaan yang tak mungkin dikendalikan manusia ini bersumber dari perbedaan. Perbedaan yang memang harus dialami manusia. Sekali saja manusia bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu, ia akan segera menemui struktur perbedaan yang lebih tinggi. Semakin tinggi dan semakin abstrak. Dan ini adalah wujud kehausan alami manusia untuk menemukan yang transendental.  Akhirnya keyakinan penuh terhadap teori pertama ini tidak cukup direfleksi dari keilmuan rasional dan empiris saja. Semua akan lebih terasa masuk akal bila kita berkesadaran mempercayai kekuatan transendental, berikut kewahyuannya.

.

Oleh : Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama Istiqlal dan Universitas PTIQ Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال