Tari Gandrung Sebagai Pelestarian Kesenian di Era Milenial

Penulis: Ilham Adimas Rizqi*

Abstrak

KULIAHALISLAM.COM - Kesenian tari gandrung merupakan salah satu ekspresi budaya yang kaya akan makna dan nilai-nilai dalam konteks masyarakat Jawa, Indonesia. Dalam teori fungsionalis, tari gandrung dapat dipahami sebagai fenomena budaya yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan fungsi sosial masyarakat Jawa. 


Namun, seperti banyak warisan budaya tradisional di seluruh dunia, Tari Gandrung mungkin menghadapi tantangan dan perubahan seiring berjalannya waktu. Tari gandrung tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengukuhkan identitas kultural, menjalin hubungan sosial, serta memenuhi kebutuhan spiritual dalam masyarakat tersebut.

Tari gandrung mengekspresikan rasa syukur terhadap alam dan dewa-dewi, menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam semesta. Dalam konteks ini, tari gandrung menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual. 

Selain itu, tari gandrung juga berperan dalam memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat Jawa. Pertunjukan ini membuka peluang bagi individu untuk menjalin hubungan, menjaga solidaritas, serta memperkuat jaringan sosial dalam komunitas mereka.

Dengan demikian, tari gandrung tidak hanya dianggap sebagai bentuk seni pertunjukan semata, tetapi juga sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat Jawa yang memiliki fungsi sosial yang mendalam. 

Dalam teori fungsionalis, kesenian ini dipandang sebagai alat yang memastikan kelangsungan budaya dan fungsi sosial masyarakat, menjaga keseimbangan antara individu, masyarakat, dan alam semesta, serta memperkuat hubungan sosial dalam komunitas tersebut.

Pendahuluan 

Kebudayaan merupakan hasil kerja masyarakat setempat, melalui hasil kerja masyarakat dapat memaknainya. Di Indonesia terdapat 4.444 daerah yang menjadi rumah bagi banyak kebudayaan, termasuk wilayah banyuwangi. 

Banyuwangi terletak di ujung timur Jawa Timur dan penduduk aslinya yang dikenal dengan masyarakat Osing hidup dikelilingi oleh budaya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang, sehingga masyarakat Osing masih memiliki budaya yang kuat. 

Budaya banyuwangi yang masih bergema di masyarakat hingga saat ini adalah tari gandrung. Gandrung merupakan kesenian tradisional yang berasal dari daerah banyuwangi dan merupakan kesenian yang memadukan seni tari dan nyanyian. 

Gandrung juga mempunyai sejarah yang panjang. Gandrung dimainkan oleh 4.444 wanita dewasa berpasangan dengan 4.444 pria yang disebut pemaju. Biasanya, pertunjukan gandrung dipentaskan pada acara berbeda seperti bersih-bersih desa, arisan laut, pernikahan, khitanan, dan hari libur nasional. 

Biasanya dalam kegiatan dinas di wilayah banyuwangi, selalu menggunakan peran gandrung. Baik pada acara pembukaan maupun acara puncak, tari gandrung Banyuwangi pasti akan dipentaskan. 

Keberadaan tari gandrung saat ini semakin digemari, oleh karena itu orang mempelajari tari gandrung, orang tidak hanya masyarakat lokal saja tetapi juga wisatawan mancanegara pun terpesona dengan tarian Gandrung, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gandrung bukan lagi sekadar milik Banyuwangi namun telah diakui sebagai cagar budaya Indonesia. 

Indonesia sebagai negara yang kaya dengan seni dan budaya, berupaya untuk menggali, melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya yang beraneka ragam. Upaya pelestarian warisan yang tidak memiliki nilai tersebut mengandung manfaat yang sangat signifikan bagi kelangsungan seni budaya itu sendiri. 

Seni pada dasarnya merupakan unsur terpenting dari kebudayaan nasional. Biasanya kesenian ini terdapat pada simbol-simbol yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kedudukan seni sangat penting untuk menuntut pengembangan seni rupa yang selaras dengan cara pengembangan kebudayaan nalsional, karena pada dasarnya kebudayaan nasional merupakan suatu kesatuan besar yang terdiri dari berbagai macam kebudayaan daerah termasuk seni daerah atau seni tradisional.

Gandrung masyarakat yang tidak mengetahui sejarahnya akan bingung dengan cerita-cerita yang terkandung dalam Tari Gandrung. Penelitian ini diteliti sesuai kondisi masyarakat Banyuwangi agar hasilnya dapat mirip dengan ciri khas dan sudut pandang masyarakat Banyuwangi dan dapat diterima dengan tangan terbuka di kalangan masyarakat Using.

Kesenian Tari 

Tari sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional merupakan salah satu bentuk seni yang wajib dibudidayakan dan dilestarikan di era globalisasi saat ini.Setiap daerah mempunyai gerak dan ciri khas tersendiri dalam seni tari tersebut, disertai dengan faktor pendukung yang membedakannya seperti pengaruh sosial, letak geografis, agama, dan berbagai faktor dominan lainnya. 

Hal ini juga berlaku pada tari Patudu yang berasal dari  Sulawesi Barat. Keindahan atau estetika berarti sesuatu yang berhubungan dengan keindahan, keindahan  berupa ciptaan Tuhan, seperti alam dan segala isinya, serta membuat seseorang terheran-heran akan keindahan yang Tuhan ciptakan. 

Selain itu, keindahan juga lahir dari hasil karya manusia yang mempunyai nilai keindahan, seperti lukisan, kerajinan tangan, nyanyian, dan tarian. Estetika tari merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, dan keindahan tari bukan sekedar keselarasan gerak tubuh, ruang, dan musik. 

Oleh karena itu, estetika menjadi sangat penting dalam penciptaan  karya tari tradisional dan kontemporer, bahkan dalam genre tari seperti tari klasik dan kontemporer.Dalam penelitian  ini kami menggunakan estetika  untuk menyelidiki tari Patudu Thomang masyarakat Mandar  Sulawesi Barat. 

Suku Mandarin merupakan salah satu suku terbesar di Sulawesi Barat.Selain masyarakat Bugis, Makassar, dan Toraja, masyarakat Mandal juga banyak tersebar di Sulawesi Selatan. Suku Mandar hampir sama dengan suku Bugis tetangganya, mereka juga mempunyai ciri khas kuat melawan laut. 

Selain itu, seperti halnya suku-suku lain di Indonesia, pekerjaan utama penduduknya adalah mencari ikan, Suku Mandal mempunyai budaya yang tak kalah menarik, antara lain tata cara pemerintahan, makanan, pakaian, perayaan hari raya, sakral, mulai dari upacara adat hingga berbagai tradisi Itu masih ada sampai sekarang.

Salah satu ritual keagamaan Sayang Patudu yang ada di Sulawesi Barat khususnya di Kabupaten Majene, Bange merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Majene Sulawesi Barat yang selalu menampilkan tari Patudu Thong Muang hingga saat ini. di  berbagai acara budaya lokal.

Menjelaskan asal usul tari gandrung, sejarah perkembangannya, dan konteks budaya di mana tari ini muncul?

Gandrung merupakan sebuah kesenian rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Banyuwangi. Kesenian Gandrung adalah termasuk jenis tari pergaulan, karena di dalam tarian tersebut penari Gandrung selalu menari berpasangan dengan para tamu atau penonton. 

Tari pergaulan tersebut tidak hanya ada di Banyuwangi, tetapi juga terdapat di daerah Bali dan Jawa yang masing-masing tempat mempunyai nama yang berbeda-beda, seperti : Joged, Gandrung, Taledek, Janggrung, Tayub, dan lain sebagainya.Walaupun demikian, Gandrung Banyuwangi memiliki ciri khas tersendiri, yaitu dengan adanya ritual dan sakral yang disebut Seblang.

Pertunjukan Gandrung terbagi atas tiga bagian yakni Jejer, Paju atau Ngibing, dan Seblang Subuh. Jejer merupakan pembuka seluruh pertunjukan Gandrung. Pada bagian ini penari menunjukkan kemampuannya dalam menari, sedangkan para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan. 

Kemudian setelah jejer selesai, maka penari mulai memberikan selendang kepada tamu untuk menari bersama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari Gandrung berada di tengah. Penari akan menghampiri setiap tamu, mereka akan menari bersamanya dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan inilah inti dari tari Gandrung.

Setelah selesai, penari akan mendekati kelompok penonton dan meminta salah satu penonton memilih lagu untuk  dinyanyikan. Kegiatan ini bergantian antara paju dan bernyanyi, berlangsung  sepanjang malam  hingga menjelang fajar. 

Seblang Subuh, bagian ini merupakan bagian penutup yang ke  dari keseluruhan rangkaian pertunjukan Gandrung Banyuwangi. Dimulai dengan irama pelan dan penuh perasaan menyanyikan lagu tema sedih. Ada suasana mistis di bagian Seblang Subuh ini, karena tahun masih  erat kaitannya dengan ritual Seblang. 

Menurut sejarah kesenian Gandrung, pada masa awal tari Gandrung  dibawakan oleh laki-laki berpenampilan  perempuan, sehingga dinamakan Gandrung Lanang. Gandrung Lanang merupakan tari jalanan yang  sangat sederhana dengan menggunakan alat musik  sederhana seperti gendang dan rebana. Fungsi Gandrung Lanang saat itu adalah  perang strategis melawan penjajah. 

Mula-mula para penari akan berkeliling desa untuk menampilkan pertunjukan Gandrung  dan selanjutnya akan menerima kompensasi berupa makanan dan barang-barang yang selanjutnya akan dibagikan kepada para tahanan tanah. Selain itu, pada penampilan , para penari menyertakan seruan untuk menyerang penjajah  yang disampaikan sebagai lirik. 

Puisi tersebut mengisyaratkan bahwa dapat menyerang penjajah dengan strategi yang tepat dan mengetahui kelemahan Tokoh penari Gandrung Lanang yang terakhir adalah Marsan. Beliau adalah tokoh penari Gandrung Lanang yang terkenal dan tetap menjadi penari Gandrung hingga berumur 40 tahun, sehingga setiap kali ada pertunjukan Gandrung Lanang maka masyarakat menyebutnya Gandrung Marsan. 

Gandrung menjelang akhir abad ke 19 mengalami suatu pembaharuan fundamental. Jika pada awalnya Gandrung ditarikan oleh seorang laki-laki yang berdandan dan berpakaian wanita, selanjutnya Gandrung ditarikan oleh perempuan. 

Selain itu, alat musik yang digunakan tidak hanya kendang dan rebana, tetapi juga penambahan alat musik seperti : biola, kempul, ketuk, kenong, kloneng atau kluncing ( triangel ). Alasan digantinya penari Gandrung menjadi wanita adalah untuk mengembalikan peran sesungguhnya penari Gandrung yaitu wanita.

Apakah tari gandrung ini terkait dengan upacara adat atau agama?

Tarian Gandrung dianggap memperingati leluhur atau nenek moyang  masyarakat banyuwangi. Tarian ini dianggap sebagai bagian dari ritual adat atau upacara keagamaan  untuk mencari berkah dan keselamatan kepada leluhur atau dewa pelindung. 

Dalam upacara tari Gandrung, para penari yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti mempunyai penampilan yang cantik dan anggun serta berkepribadian baik dan budi pekerti yang baik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap leluhur atau dewa yang dianggap membawa keberkahan dan keamanan bagi masyarakat setempat. 

Selain itu, dalam tari Gandrung juga digunakan simbol atau atribut yang mempunyai makna mistis atau spiritual, seperti selendang berwarna merah dan hijau yang diyakini memiliki kekuatan magis, serta ciri khas topeng atau perhiasan  yang dikenakan para penarinya. 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tari Gandrung merupakan salah satu bentuk penghormatan dan pengabdian kepada leluhur atau dewa pelindung dalam kepercayaan dan praktik keagamaan masyarakat Banyuwangi. Selain itu, pada tarian maupun tata busana pada Gandrung memiliki filosofi atau makna tersendiri, seperti pada omprong. 

Omprong terdiri dari ornamen tokoh Antareja, ornamen kaca, dan pilisan. Dalam tata busana juga terdapat oncer yang merupakan bendera merah putih yang memiliki bentuk persegi. Pilisan yang terdapat pada omprong terdapat dua warna, yaitu warna emas dan warna perak. Pilisan ini terbuat dari baja tahan karat yang  satu tingkat lebih tinggi dari emas, artinya Gandrung berada di  antara bangsawan dan rakyat jelata. 

Dimana pada saat pertunjukan, rakyat jelata dan bangsawan berbaur bersama. Oncer tidak hanya bermakna sebagai sandang pangan, namun juga  sebagai sarana perjuangan masyarakat banyuwangi. Warna masa lalu melambangkan keberanian dan kesucian. Lalu ada tali berbentuk kupu-kupu, biasanya berwarna hitam dan kuning keemasan, yang diikatkan di lengan  kiri dan kanan. 

Warna hitam pada tali bahu melambangkan kebajikan, kesombongan dan kejahatan akibat perilaku buruk manusia. Sedangkan warna emas melambangkan warna kejayaan dan kekuatan magis serta melambangkan keagungan para penari Gandrung. Selain itu juga terdapat hiasan “Oling Gajah”. Gajah yang berbentuk seperti pohon melambangkan kesuburan dan kecukupan pangan masyarakat banyuwangi. 

Warna gajah Oling mempunyai tiga warna yaitu  kuning keemasan, merah dan hitam. Warna hitam pada tali bahu melambangkan keutamaan, keangkuhan dan kejahatan akibat buruknya tingkah laku manusia, warna kuning keemasan melambangkan warna kejayaan dan kesaktian serta menandakan keagungan bagi  penari Gandrung dan warna Merah melambangkan penari Gandrung yang selalu berani melawan penjajah. Selain terdapat pada pakaian gandrung, motif gajah oling juga terdapat pada batik banyuwangi.

Ada sedikit contoh mengenai upacara dalam banyuwangi yang menggunakan tariang gandrung yaitu upacara petik laut ; Tari gandrung banyak dipentaskan diberbagai acara publik termasuk di dalam tradisi petik laut. Pementasan Tari Gandrung dalam tradisi petik laut memiliki makna tersendiri karena tradisi ini diyakini sebagai bentuk persembahan kepada Dewa Laut agar nelayan dianugrahkan ikan yang berlimpah. 

Sejarah perkembangan relegi orang Jawa telah dimulai sejak zaman prasejarah, di jaman pada waktu nenek moyang orang Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada di dunia sekelilingnya mempunyai nyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. 

Berdasarkan anggapan tersebut, agar kehidupannya senantiasa aman dan tentram maka mereka melakukan berbagai ritus atau upacara untuk memuja-mujanya. Adapun bentuknya antara lain berupa : selametan, ancak, buwangan, donga, kaul, nyadran, pepunden, sajen, ziarah, dan sebagainya. 

Pada prinsipnya ritual tersebut adalah permohonan terhadap penguasa disitu (khang mbahureksa) agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan. Demikian halnya tradisi Petik Laut dapat dijelaskan menurut arti harfiah sebagai berikut: “Petik” berarti ambil, pungut, atau peroleh. ”Petik laut” berarti memetik, mengambil, memungut atau memperoleh hasil laut berupa ikan yang mampu menghidupi nelayan Muncar dan sekitarnya. 

Kemudian adanya kepercayaan turun temurun dan adat istiadat masyarakat Muncar, sebagai ucapan syukur yang pada waktu itu masyarakat Muncar mengalami kejayaan dalam mata pencaharian dipesisir Muncar serta adanya bencana pada waktu itu.

Pengaruh dan Relevansi Tari Gandrung dalam Kebudayaan Modern

Pengaruh dan relevansi tari Gandrung dalam budaya modern Indonesia mencerminkan bagaimana seni pertunjukan tradisional dapat mempertahankan nilai-nilai budaya dan berkontribusi pada perkembangan budaya yang lebih luas. Berikut adalah beberapa poin penting untuk menjelaskan dampak dan relevansi tari Gandrung dalam kebudayaan modern:

Melestarikan Warisan Budaya Tradisional: Tari Gandrung berfungsi sebagai penjaga dan pemelihara warisan budaya tradisional Indonesia, terutama dalam konteks budaya Jawa. Ini mencakup tarian, musik pengiring, dan cerita-cerita yang terkait dengan tarian ini. Melalui pertunjukan dan pengajaran, tari Gandrung memastikan bahwa generasi muda tetap terhubung dengan warisan budaya leluhur mereka.

Menjaga Identitas Lokal: Tari Gandrung adalah simbol penting dari identitas lokal, terutama di daerah Jawa Timur. Ini memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan identitas kultural mereka dalam era globalisasi. Tari Gandrung membantu memahami dan merayakan akar budaya mereka.

Pengaruh dalam Seni Pertunjukan: Tari Gandrung memengaruhi seni pertunjukan modern di Indonesia. Berbagai elemen tari Gandrung, termasuk gerakan tarian, kostum, dan musik pengiring, sering digunakan dalam pertunjukan kontemporer. Hal ini menciptakan hubungan yang kuat antara seni pertunjukan tradisional dan modern.

Penampilan dalam Acara Budaya dan Pariwisata: Tari Gandrung sering menjadi bagian dari festival budaya dan acara pariwisata di Indonesia. Ini meningkatkan wisata budaya dan menarik lebih banyak pengunjung ke daerah-daerah di mana tari ini dipertunjukkan. 

Inspirasi dalam Seni Lainnya: Tari Gandrung telah menjadi sumber inspirasi bagi seniman dalam berbagai disiplin seni. Ini mencakup musik, seni rupa, sastra, dan bahkan mode. Beberapa karya seni kontemporer mencerminkan elemen-elemen tari Gandrung, menciptakan pengalaman seni yang unik. 

Penggunaan dalam Dunia Hiburan: Tari Gandrung telah digunakan dalam produksi film, program televisi, dan konser musik. Ini membantu mempopulerkan tarian ini dan membuatnya lebih akrab bagi khalayak yang lebih luas. 

Peran dalam Pendidikan dan Pelestarian: Program-program pendidikan dan workshop tentang tari Gandrung membantu memelihara dan mentransmisikan pengetahuan tentang tari ini kepada generasi muda. Hal ini memainkan peran kunci dalam pelestarian dan perkembangan seni pertunjukan tradisional

Pengaruh dan relevansi tari Gandrung dalam budaya modern menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa kini, menghormati warisan budaya sambil memungkinkan inovasi dan pertumbuhan budaya yang lebih luas. Tari Gandrung tetap menjadi salah satu aset budaya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Makna Dari Struktur Bentuk Ragam Hias Yang Ada Dalam Busana Tari Gandrung Banyuwangi dalam kebudayaan modern 

Busana Gandrung merupakan ciri khas dari kesenian Gandrung Banyuwangi yaitu kesenian asli masyarakat Osing Banyuwangi, kesenian Gandrung mengalami puncak keemasannya dan hampir semua kehidupan berkesenian Gandrung. 

Menyadari akan potensi daya tarik kesenian Gandrung yang sangat luar biasa dan didukung oleh masyarakat Banyuwangi yang sangat menjunjung tinggi kesenian tradisionalnya. Tata busana sebagai salah satu aspek yang sangat esensial dalam kehidupan manusia dan dapat memberikan wahana prilaku manusia untuk dapat menunjukkan jati dirinya. 

Busana Gandrung merupakan suatu identitas masyarakat Banyuwangi. Kostum tari, termasuk perhiasan yang ada di dalamnya, mempunyai makna budaya yang mendalam. Hal ini mencerminkan identitas, nilai-nilai dan sejarah suatu negara atau suku. Berbicara tentang kostum tari Gandrung banyuwangi dalam budaya modern, ada beberapa hal yang bisa kita pertimbangkan:

Kebijakan dan Perwakilan Regional

Hiasan kostum tari Gandrung Banyuwangi dapat mencerminkan simbol daerah atau ciri khas daerah. Bisa berupa pola yang terinspirasi dari alam, tumbuh-tumbuhan, hewan atau simbol kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi. Dalam kebudayaan modern, penggunaan bahan-bahan tersebut dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga dan memperkuat identitas budaya suatu negara.

Warisan dan Tradisi

Estetika kostum tari Gandrung Banyuwangi mungkin juga memiliki unsur adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun. Dalam budaya modern, bisa menjadi cara merayakan dan melestarikan warisan budaya, sekaligus menunjukkan kekayaan budaya masyarakat Banyuwangi.

Pameran Seni dan Kreatif

Menari tidak hanya digunakan sebagai kostum, tetapi juga sebagai bentuk seni. Desain dan dekorasi kostum tari Gandrung Banyuwangi dapat mencerminkan kreativitas perancang kostum dan penari. Dalam konteks budaya kontemporer, hal ini dapat diartikan sebagai perpaduan antara tradisi dan inovasi, dimana seniman dapat mengekspresikan dirinya dengan cara yang unik dan modern.

Hal Penting Kecantikan

Corak dan dekorasi kostum tari juga dapat menunjukkan pemahaman terhadap perhiasan yang dihargai masyarakat banyuwangi. Dalam tradisi modern, keindahan ini dapat dijaga selaras dengan gaya dan selera modern.

Kepercayaan pada Budaya Modern

Dalam budaya modern, kostum tari Gandrung Banyuwangi dapat berubah agar tetap relevan dan diapresiasi oleh generasi muda. Hal ini mungkin melibatkan penggunaan teknologi, penambahan elemen modern, atau kolaborasi dengan seniman dan desainer kontemporer.

Penting untuk diingat bahwa setiap hiasan kostum tari mempunyai makna mendalam dan budaya. Dalam kebudayaan masa kini, upaya menjaga kesegaran tradisi tersebut dapat menjadi bentuk penghormatan terhadap warisan budaya sekaligus membuka peluang kreativitas dan inovasi.

Bentuk-bentuk dari busan dan tata rias yang digunakan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Banyuwangi,

1. Mahkota adalah hiasan kebesaran atau songkok kebesaran bagi raja atau. Omprog sebagai mahkota maknanya sebagai penutup kepala yang menggambarkan keagungan dan kecantikan penari Gandrung. Kepala adalah bagian tubuh di atas leher pada manusia dan beberapa jenis hewan merupakan tempat otak, pusat jaringan saraf, dan beberapa pusat indera Sedangkan naga adalah ular besar. Antareja yang mempunyai bentuk manusia berbadan ular melambangkan masyarakat Banyuwangi yang bekehidupan tidak terlalu mewah, tidak lebih, dan tidak kekurangan serta mempunyai sifat tegar. Jika mereka berkehidupan mewah tidak boleh serakah. 

2. Kaca merupakan suatu benda yang sangat keras, biasanya berwarna bening dan mudah pecah. Kaca berupa kristal jika pecah, akan berderai menjadi butiran butiran kecil Ornamen kaca mempunyai bentuk pecahan cermin kecil-kecil yang ditata rapi di bagian mahkota, Kaca dalam Gandrung tersebut mempunyai makna sebagai tolak balak atau sihir hitam. 

3. Pilisan yaitu yang bebentuk setengah lingkaran. Dalam pemasangan pilis stanles sebagai pembatas antara wajah dan omprog mengandung makna dalam setiap pementasan atau hubungan bermasyarakat. Dalam pengertian tersebut memilki makna mempunyai batasan-batasan norma yang di kalangkan masyarakat tersebut yaitu norma adat, norma agama, norma kesopanan, norma hukum, norma kesusilaan dalam suatu pementasan . 

4. Bendera merah putih yang bebentuk persegi memilki arti makna sebagai alat perjuangan dan sebagai sandang pangan bagi masyarakat Banyuwangi. 

5. Kelat bahu yaitu berbentuk seperti hewan kupu-kupu dipakai pada lengan kanan dan lengan kiri yang memiliki arti makna sebagai penari malam dalam pengertian menari di malam hari dan mempunyai batas dan norma tertentu ketika pertunjukkan dimulai.

 6. Gajah oling yang berbentuk tumbuhan yang memiliki arti makna penggambaran tumbuhan tersebut sebagai kesuburan pada masyarakat Banyuwangi dan tidak akan kekurangan dalam mencari makanan. Motif gajah oling ini terdapat pada busana Gandrung dan motif batik Banyuwangi.

Dinamika Tata Rias Gandrung 

Tari Gandrung adalah tarian yang tetap eksis mulai tahun 1895 hingga sekarang dan tari Gadrung merupakan tarian profane yang bersifat ekstrovet, yaitu kesenian yang bisa berkembang seiring perkembangan zaman. 

Menurut Subari selaku budayawan dan penggerak seni tari Gandrung, mengungkapkan bahwa tata rias yang digunakan pada tari Gandrung mengalami perubahan menjadi lebih baik dari segi kosmetik yang digunakan dalam teknik riasan yang diterapkan. 

Meskipun tidak adanya pakem pada tata rias tari Gandrung namun tetap ada warna-warna tertentu yang menjadi ciri khas dari tata rias tari Gandrung yang digunakan hingga saat ini (Fabe dan Octaverina, 2009) Selanjutnya Fabe dan Octaverina (2009) menjelaskan dinamika tata rias Gandrung dibagi dalam beberapa tahun, yaitu: 

1. Perkembangan tata rias tari Gandrung Banyuwangi tahun 1960-1970 

a) Soelarto dan Ilmi (1975:7) menyatakan pada tahun 1960 hingga 1970 menggunakan alas bedak (foundation) terbuat dari atal yang menghasilkan warna kuning langsat Atal merupakan campuran  daun kemunin, daun puring, bunga kenanga,  bunga pekari, kelopak bunga mawar sebanyak 4.444 lembar, dan ketan sebanyak 4.444 lembar sebagai lem. Kemudian semua bahan dihaluskan, dibentuk bulat-bulat kecil dan dikeringkan.Cara Pemakaian : Campurkan 4 sampai 6 butir Atal dengan sedikit air dan sedikit minyak  kelapa , lalu oleskan pada wajah dan badan. b) Dari tahun 1960 hingga 1970, menggunakan bedak tabur  berwarna putih, yang terbuat dari  campuran tepung beras  dan tepung ketan, sehingga riasan memiliki kilau yang lebih halus dan  alami. c) Pada tahun 1960-an dan 1970-an, alis dibentuk dan digambar dengan arang basah dan diaplikasikan pada alis dengan pensil. Sebaliknya di era , kita masih belum menggunakan eyeshadow . d) Tahun 1960 sampai 1970, lipstik yang digunakan terbuat dari kertas baki dan berwarna merah.Aplikasi: Basahi bibir lalu oleskan kertas Klobot.

2. Perkembangan Tata Rias Tari Ghandrung Banyuwangi Tahun 1970 s/d 1980 

a) Tahun 1970 s/d 1980  kosmetik buatan pabrik ada  orang, jadi penari periode ini  Kelly berbahan bedak padat, saya pakai alas bedak merk . Kelly yang bisa digunakan untuk design sekeliling wajah, mengandung minyak dan tampak lebih cerah.Untuk  hasil riasan yang bagus, campurkan  dengan merk Atal dan  Liana sehingga menghasilkan warna kuning Langsat.Semua bahan tersebut dicampur lalu dikukus agar konsistensinya tahan lama bila digunakan untuk pertunjukan tari Gandrung semalaman.b) Pada tahun 1970 hingga 1990, terdapat merek bedak tabur bernama  Viva. Pada era ini, penari menggunakan bedak tabur dalam tiga warna. Viva: No. 4 warnanya kemerahan,  No.5 hampir coklat, dan No. 6 warnanya coklat.Ada warna, dan jika di mix akan menghasilkan warna olive yang membuat riasan terlihat halus. c) Dari tahun 1970 hingga 1980, menggunakan eyeshadow  hitam  Terbuat dari asap lampu minyak (Ublik) tanah , dibiarkan semalaman dan dicampur dengan setetes  minyak kelapa  untuk menghasilkan warna.  lebih  tajam dan mudah diterapkan. Era  juga menggunakan eyeshadow merah  yang terbuat dari daun jati yang dihaluskan. d) Dari tahun 1970 hingga 1980, menggunakan eyeliner untuk membingkai alis hitam  dari sisa asap lampu minyak tanah (resmi), kemudian untuk membuat warna  lebih cerah dan mudah diaplikasikan, untuk itu saya mencampurkan  dengan setetes minyak kelapa.Gunakan pena berujung tajam untuk mengaplikasikannya.e) Tahun 1970 sampai 1980, menggunakan lipstik  merah  dari daun jati yang dihaluskan dan dioleskan pada bibirnya.

3. Perkembangan Tata Rias Tari Ghandrung Banyuwangi Tahun 1980 s/d 1990 

a) Tahun 1980 s/d 1990 produk kosmetika produksi pabrik  merk Ratu Ayu dan Sariayu sebanyak produk, pondasi merek berupa whipping powder; Produk  digunakan, dan warna kuning diperbaiki dengan cepat, membuat lebih mudah digunakan.

b) Dari tahun 1980 hingga 1990, terdapat  kosmetik eyeshadow karya Ratu Ayu dan Sariayu, namun  warna yang  digunakan masih merah.c) Tahun 1980 sampai 1990, menggunakan eyeliner berbentuk pensil hitam  dan lebih praktis serta mudah didapat karena terdapat pensil alis untuk membingkai  alis  d) Pada tahun 1980 hingga 1990, kosmetik Blushon merah diluncurkan dengan merek Ratu Ayu dan Sariayu, sehingga riasan terlihat kurang adil dan lebih menarik. e) Sejak tahun 1980 hingga 1990, lipstik merah merk  Ratu Ayu dan Sariayu hadir dalam bentuk stick sehingga memudahkan pembelian dan penggunaan.

4. Perkembangan Tata Rias Tari Ghandrung Tahun 1990 s/d 2000 ( Banyuwangi ) 

a) Tahun 1990 s/d 2000 menggunakan alas bedak dan bedak tabur dari berbagai merk kosmetik, namun di banyuwangi ini semakin beragam karena  banyaknya merk kosmetik Namun saya akan tetap menggunakan Olive Yellow b) Pada tahun 1990 hingga 2000, dikembangkan penggunaan eyeshadow berwarna sebanyak , yaitu  hitam, merah, emas, dan putih. Warna  ini merupakan warna khas  riasan wajah banyuwangi dan mencerminkan simbolisme Dinasti Burambangan , khususnya Raja Minakujingo. Pada tahun 2000 ditemukan teknologi baru  untuk mempertajam warna eyeshadow , yaitu menggunakan lipstik  sebagai alas eyeshadow. Selain itu, juga  menggunakan teknik mixing untuk memadukan warna eyeshadow. c) Sejak tahun 1990 hingga 2000, berbagai merek kosmetik eyeliner dan pensil alis dijual dalam bentuk pensil hitam, lebih praktis  dan mudah  diaplikasikan. Sejak tahun 1990 hingga 2000, terdapat kosmetik pipi dan  lipstik merah dari berbagai merek yang mudah diaplikasikan.

5. Perkembangan Tata Rias Tari Gandrung Banyuwangi Tahun 2005-2010 

a) Sudah terdapat bedak padat yang  dapat digunakan untuk membuat riasan lebih halus. b) Menurut hasil penelitian Effendi (2019), penggunaan warna eyeshadow yang dapat  disesuaikan dengan warna kostum Tari Cinta sudah berkembang, namun warna khas banyuwangi tetap digunakan.c) Karena saya menggunakan  bulu mata palsu , riasan mata  menjadi lebih jelas dan  tajam.

6. Evolusi Tata Rias Tari Ghandrung Banyuwangi Tahun 2015 Hingga 2019 

Perkembangan yang semakin  modern membuat Tata Rias Tari Ghandrung semakin indah bagi penarinya saat tampil (Suharti: 2012).Struktur  tari gandrung banyuwangi berkembang semakin pesat pada tahun  2015 hingga tahun 2019. Pembaruan Teknik riasan juga semakin berkembang. Ada teknik berhitung agar bentuk wajah lebih proporsional.

Gunakan Shimmer untuk menambah kilau pada wajah agar riasan terlihat dewy.telah mengembangkan teknik baru dalam mengaplikasikan eyeshadow, yaitu teknik cut-crease yang membuat bentuk mata terlihat lebih tajam, dan penggunaan eyeliner berwarna putih dan hijau di bawah mata untuk membuat mata  tampak lebih lebar

Tari Gandrung dilihat dari Perspektif Budaya 

Gandrung merupakan kesenian asli Banyuwangi, berupa tarian dan nyanyian, dan dibagi menjadi tiga fase dalam pertunjukannya, yaitu Jejer, Paju dan Seblang-seblangan. Dari tahun 1950-an hingga awal 1965, seperti kesenian rakyat pada saat itu, Gandrung menjadi bagian dari perluasan seni, budaya dan politik nasional. Keadaan ini berdampak besar pada perkembangan atau perubahan kesenian Gandrung, baik dari fungsi, bentuk maupun maknanya. 

Tari Gandrung berkembang pada zaman kerajaan Blambangan yang ditarikan oleh laki-laki berpenampilan perempuan. Tari Gandrung telah mengalami banyak perubahan dalam proses perkembangannya. Perubahan tersebut antara lain: 1)Penari yang awalnya laki-laki berubah menjadi perempuan, 2)Perubahan pada lagu (gendhingan Jawa) berubah menjadi lagulagu modern dan shalawan, 3)Perubahan tahap Paju dan 4)Perubahan pakaian tari Gandrung. Perubahan tari Gandrung dipengaruhi oleh beberapa faktor. 

Alasan yang sangat jelas adalah dari sudut pandang agama. Hal ini juga dipengaruhi oleh sebagian besar kepercayaan mereka, yaitu agama Islam. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa faktor dominan masyarakat dapat menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Mengenai teori “power of knowledge”, Foucault berpendapat bahwa keberadaan kekuasaan sangat penting, karena menentukan dan mengkonstruksi realitas-realitas yang diciptakan secara subjektif, serta mencapai tujuan dan kepentingan kekuasaan yang mendominasi. 

Adanya tekanan-tekanan, energi, material, pikiran, kenikmatan, dan sebagian besar dikendalikan oleh ideologi dominan yang berlaku dalam konteks sosial masyarakat. Hal inilah yang terjadi dengan perubahan tari Gandrung bahwa adanya ideologi yang dominan mampu mengontrol dan menciptakan kuasa tanpa masyarakat sadari

Seberapa jauh hubungan kesenian Gandrung terhadap keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat Banyuwangi 

Pada tahun 1950-an kesenian Gandrung ikut dalam semarak panggung senibudaya nasional yang juga terjadi di Banyuwangi. Hal ini bersamaan dengan penyebaran pemuda-pemuda Banyuwangi yang menuntut ilmu di luar Banyuwangi, misalnya ke Malang, Surabaya, Jogjakarta, dan Jakarta.  

Para pemuda inilah yang kemudian menjadi bagian dari geliat politik di Banyuwangi, banyak yang tergabung dalam partai politik, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdatul Ulama (NU). Selain banyak dari mereka yang tergabung Didirikan oleh partai-partai seperti Lembaga Kebudayaan  Rakyat (Lekra) PKI , Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)  PNI, Masyarakat Seni dan Budaya Islam (HSBI)  Masumi, dan Institut Kebudayaan dan Seniman Islam Indonesia (Resbumi) .

Aktif di lembaga kebudayaan dari NU. Dunia seni di Banyuwangi semakin semarak dengan 4.444 pertunjukan yang mereka koordinasikan, mulai dari pemilu hingga acara  hiburan kota. Oleh karena itu kesenian rakyat banyuwangi banyak dipengaruhi  atau didominasi oleh lembaga kebudayaan tersebut, termasuk kesenian Ghandrung. 

Saat itu, Ghandurung sebenarnya lebih dekat dengan Lekla, karena selain Lekla telah berkembang menjadi lembaga kebudayaan terbesar di banyuwangi,  Lekla menaruh perhatian  lebih besar terhadap kesenian daerah banyuwangi.Bahkan, mereka juga dikenal dengan ide-ide  kreatif  senimannya. 

Kedekatan ini lebih dari sekedar hubungan dalam hal undangan pertunjukan. Sanggar-sangar Gandrung di Banyuwangi saat itu banyak yang dibantu oleh orangorang Lekra, biasanya dalam hal keperluan perawatan alat dan juga pembelian alat baru. 

Maka tidak heran beberapa dari mereka akhirnya ikut masuk dalam Lekra dan ikut “bermain” politik dengan PKI. Acara-acara Lekra, PKI, dan organisasi-organisasi bentukan PKI, serta undangan pemerintah (baik acara kabupaten maupun nasional) merupakan acara yang paling banyak diikuti oleh seniman Gandrung saat itu. Mereka ikut dalam kampanye-kampanye PKI di desa-desa, maupun acara hiburan di kota yang diselenggarakan oleh Lekra. 

Banyak dari mereka saat itu yang menggelar pertunjukan dengan sukarela (tidak dibayar). Kedekatan inilah yang kemudian membawa Gandrung bersama dengan senimannya pada peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) pada tahun 1965, dan pada akhirnya membuat mereka harus vakum selama kurang lebih enam tahun yang dikarenakan keadaan yang tidak kondusif.

Dalam kurun waktu tersebut terdapat perubahan penting yang terjadi dalam Gandrung, yakni penambahan atau masuknya lagu-lagu melayu dalam pertunjukan, bahkan lagu Arab, Cina dan India juga masuk dalam “permintaan” penonton pada fase repenan. 

Orientasi Gandrung saat itu lebih mengarah kepada hiburan, yang mana lebih banyak diakibatkan oleh undangan acara kampanye partai, keadaan ini yang kemudian bertambah kuat pada masa orde baru. Meskipun begitu masa ini tetap dianggap masih memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kesenian Gandrung.

Pada tahun 1970-an, dengan adanya kebijakan revitalisasi kebudayaan Bupati Daerah Joko Supaat Ceramet, kesenian Ghandrung mengalami semangat baru. Hal ini terjadi pada tahun atas rekomendasi bupati yang ingin kembali menggairahkan kesenian asli banyuwangi, memperbanyak lagu daerah  secara besar-besaran, dan sering menampilkan gandung di acara-acara kabupaten. 

Pada tanggal 4 Juli 1974, pemerintah menyelenggarakan festival Gandung untuk pertama kalinya. Festival ini diselenggarakan oleh pemerintah banyuwangi pada tahun  dengan tujuan untuk mengembangkan kesenian Gandrung. Pemenang pertama festival ini tercatat pada  pada tahun 1975,  dan mungkin ditampilkan untuk pertama kalinya. Pada tahun 1978, para seniman dan  budayawan Banyuwangi membentuk Dewan Kesenian Bulbangan (DKB) yang  bertujuan untuk melestarikan dan membina seni dan budaya banyuwangi.

Pada saat ini, antusiasme kembali digunakan sebagai hiburan dalam  politik. Gandrung saat ini menjadi alat propaganda politik, khususnya kebijakan pemerintah, melalui peristiwa Biro Penerangan dan kampanye Partai Gorongan Kariya (Golkar). Kinerja Ghandrung saat itu banyak mengandung pesan politik, seperti pesan pembangunan dan program yang dilaksanakan pemerintah.

 Saat itu, Ghandrung kerap mengenakan kostum berbahan dasar kuning, warna yang identik dengan Partai Golkar. Perubahan yang paling menonjol pada periode ini adalah kuatnya unsur hiburan  dalam semua pertunjukan Gandrung. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh iklim politik saat itu, tetapi juga  oleh kebijakan pemerintah yang berupaya mengemas pertunjukan kesenian  Banyuwangi untuk tujuan pariwisata. 

Kali ini, peran Shinden dan beberapa penari muncul untuk pertama kalinya. Dahulu penari Gandrung  juga ikut menyanyi, namun kini banyak penari Ghandrung yang tidak memiliki  kemampuan menyanyi . Selain itu bertambahnya jumlah penari lebih kepada peningkatan daya tarik penonton, maka biasanya penari-penari tambahan itu adalah penari-penari yang masih muda. 

Oleh karena itu pada masa inilah kemundurankemunduran dari kualitas penari Gandrung mulai tampak, ditambah lagi mulai banyaknya Gandrung-Gandrung nakal, yang sering melayani penonton setelah acara selesai. Pada tahun 1978 Sumitro Hadi menciptakan tari jejer Gandrung, yang merupakan bentuk hiburan atau kreasi baru dari kesenian Gandrung, hal ini merupakan contoh dari orientasi Gandrung yang semakin mengarah pada kepentingan hiburan atau pariwisata, yang semakin menguat pada masa selanjutnya.

Gandrung pada masa pasca reformasi lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan Gandrung pada masa sebelumnya. Orientasi hiburan, pariwisata dan pasar semakin menguat dalam pertunjukan Gandrung. Peristiwa besar yang terjadi dalam Gandrung pada masa ini adalah kebijakan pemerintah Banyuwangi dalam hal pariwisata. Pada tahun 2002 melalui SK Bupati No. 173 tanggal 31 Desember 2002, kesenian Gandrung dijadikan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi, setelah sebelumnya terjadi perdebatan yang panjang antara bupati Samsul Hadi yang didukung senimanbudayawan Banyuwangi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Satu tahun setelahnya tari Jejer Gandrung dijadikan sebagai tari sambutan atau tari selamat datang. Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah yang ingin menjadikan Gandrung sebagai ikon atau maskot kota Banyuwangi. 

Pada tahun 2004 mulai dibangun patungpatung Gandrung di berbagai penjuru kota Banyuwangi, dan yang paling besar adalah pembangunan patung Gandrung di pintu masuk utara Banyuwangi (pantai Watu Dodol). Pada tahun 2010 pemerintah Banyuwangi yang dipimpin oleh bupati Abdullah Azwar Anas, semakin gencar membangun pariwisata Banyuwangi, bahkan menginginkan Banyuwangi sebagai tempat destinasi pariwisata. 

Berbagai festival diadakan setiap tahun secara rutin untuk menarik minat wisatawan, misalnya Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) dan Gandrung Sewu. Dalam setiap festival ini selalu dibuka oleh pertunjukan Gandrung, terlebih lagi pertunjukan Gandrung Sewu, yang mana dalam acaranya menampilkan seribu lebih Gandrung. BEC pertama pun mengambil tema Gandrung.

Keadaan saat ini dianggap sebagai masa kejayaan kesenian Gandrung dan juga kesenian-kesenian Banyuwangi lainnya. Budayawan Banyuwangi setuju dengan hal ini, yang bagi mereka pertunjukan seni Banywuangi ditandai dengan semaraknya pertunjukan Gandrung. 

Gandrung secara tidak langsung berhasil menjadi maskot atau identitas Banyuwangi, sesuatu yang tidak berhasil diwujudkan oleh bupati Samsul Hadi. Gandrung banyak tersebar di penjuru Banyuwangi, baik itu patung maupun foto penari Gandrung atau sekedar omprog (hiasan kepala) Gandrung.

Dari keadaan di atas sebenarnya kesenian Ghandrung mengalami perkembangan yang sangat besar berdasarkan peningkatan jumlah pertunjukan sebanyak kali lipat. Sebaliknya, Ghandrung atau Ghandrung telop asli yang menampilkan Ghandrung sesuai standar masih minim penonton. Penontonnya hanya 4.444 orang di lingkarannya. 

Makna Gandrung terutama diwakili oleh Gandrung, sebuah karya baru yang ditarikan oleh anak perempuan dengan penampilan yang lebih praktis dan  menarik. Hal ini disebabkan banyaknya pertunjukan Ghandrung yang berlangsung pada tahun , terutama menampilkan karya-karya Ghandrung baru (Jalur Gandrung). Situasinya lebih buruk dari Gundrun yang  asli.

Tak ayal, adanya tekanan masyarakat untuk menolak Ghandrung, akhirnya  menghambat regenerasi subtitle dan profesional Ghandrung, termasuk lagu-lagu Islami seperti Tombo Ati,  Santri Muri, Salatun wa Taslimun, dan lain-lain. Untuk menarik perhatian organisasi keagamaan dan pesantren.

Pelatihan tari gandrung dilakukan disanggar tari yang berada disetiap kecamatan wilayah Banyuwangi. Secara khusus pelatihan tari gandrung langsung di bina oleh penari gandrung senior disetiap sanggar dan terbuka untuk umum, terutama bagi calon penari yang berminat terhadap tari gandrung. 

Namun melihat animo yang sangat besar dari peserta pelatihan tari gandrung di setiap sanggar, maka dibuat sebuah program baru pemerintah untuk sekolahsekolah yang berada di wilayah Banyuwangi, mewajibkan setiap peserta didiknya mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, untuk mengikuti ekstrakulikuler kesenian tari gandrung. Program baru yang di instruksikan untuk pelatihan yang dilakukan di sekolahsekolah merupakan salah satu wujud perhatian terhadap seni budaya lokal Banyuwangi

Kesimpulan

Tarian Gandrung di Banyuwangi memiliki kedalaman makna dan nilai-nilai budaya yang mendalam. Tarian ini dianggap sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada leluhur atau dewa pelindung dalam kepercayaan dan praktik keagamaan masyarakat setempat. Dalam pelaksanaannya, tari Gandrung melibatkan penari yang dipilih dengan ketentuan tertentu, menciptakan sebuah ritual yang mencari berkah dan keselamatan.

Busana dan aksesori yang digunakan dalam tari Gandrung juga memiliki makna simbolis dan spiritual yang mendalam. Selendang berwarna merah dan hijau, topeng, serta motif gajah oling merupakan elemen-elemen yang mengandung kekuatan magis dan mewakili nilai-nilai kehidupan masyarakat Banyuwangi. Filosofi dan makna dari setiap elemen busana ini memberikan dimensi lebih dalam pada pertunjukan tari Gandrung.

Dalam konteks kebudayaan modern Indonesia, tari Gandrung memainkan peran penting dalam melestarikan warisan budaya tradisional. Pengaruh dan relevansinya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk seni pertunjukan, pariwisata, dan inspirasi dalam karya seni lainnya. Tarian ini menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa kini, memungkinkan inovasi dan pertumbuhan budaya yang lebih luas.

Dinamika tata rias Gandrung dari tahun ke tahun mencerminkan perkembangan kosmetik dan teknik riasan. Meskipun tidak terikat pada pakem tertentu, tata rias ini tetap menghadirkan warna khas yang menjadi ciri tarian Gandrung. Perkembangan kosmetik dari bedak atal hingga produk pabrikan seperti Viva mencerminkan adaptasi terhadap perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi dan keaslian seni tradisional.Secara keseluruhan, Tari Gandrung bukan hanya sebuah pertunjukan seni tradisional, tetapi juga manifestasi dari kehidupan dan kepercayaan masyarakat Banyuwangi yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan kebudayaan.

*) Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

DAFTAR PUSTAKA

Djaelantik,M,A.A. 1999. ESTETIKA sebuah pengantar . Bandung.Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia

Hidayat. 2005.Wawasan Seni Tari .Universitas Negeri Malang: 7 november 2013

Harian Rakyat, Berita Daerah : “Ulang Tahun Gerwani Pelampang Redjo”, (Senin, 9 Agustus 1965). Ini mirip dengan kesenian Tayub. Lihat Soedarsono : “Tayub Di Akhir Abad Ke-20” dalam Pengantar Sejarah Kesenian II

Muqoddar Salim, Eksistensi Kesenian Tari Baduidi Tengah Budaya Masa Kini, ( Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2014) 3

Negara, D. A. (2012). Makna tata busana tari gandrung Banyuwangi. Jurnal Seni dan Desain, 1(1).

Saat itu hiburan kota lebih banyak diselenggarakan oleh partai lewat lembaga-lembaga kebudayaannya

Soelarto, B dan Ilmi S. 1975. Kesenian Rakyat Gandrung dari Banyuwangi. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sal M. Mugiyanto.SEBLANG dan GANDRUNG: Dua Bentuk Tari Tradisi di Banyuwangi. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan Jakarta.

Soelarko dan S.Ilmi.  Kesenian Rakyat Gandrung dari Banyuwangi. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Wawancara dengan Hasnan Singodimayan, pada 20 April 2015 di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Jalan Ahmad Yani No.76, Penganjuran-Banyuwangi.

Yutanti, W., & Rahadi, R. (2022). Makna Simbol dan Identitas Travesti dalam Tari Gandrung Marsan Banyuwangi. Jurnal Partisipatoris, 4(1).


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال