Tahun Politik Pendidikan Dicampakan Politik Dituhankan

Penulis: Ahmad Isnaini Al-Ghifari

KULIAHALISLAM.COM - Membincang mengenai pendidikan dan politik memang tidak ada habisnya, apalagi tahun 2024 akan diadakan pemilihan presiden. Pendidikan seolah dianak tirikan, padahal pendidikan adalah kunci utama dalam memajukan bangsa, tapi pada akhirnya uang dan kekuasaan adalah dasar Ketuhanan pada suatu bangsa, terutama di Indonesia, hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, menyatakan hak menentukan nasib (merdeka) sendiri dari individu yang perlu memperhitungkan tuntunan kebersamaan dari masyarakat harmonis, sebagai prinsip dasar lembaga pendidikan ini (bangsa Indonesia) (Ki Hajar Dewantara dalam Djoko Marihandono 2017).


Sistem dalam sebuah konstitusi negara seharusnya tidak mementingkan sebelah pihak, karena dengan demikian bisa dipastikan bahwa jalannya suatu negara akan dipenuhi kontradiksi, yang pastinya akan berdampak pada sistem-sistem yang lain terutama pendidikan yang semakin terkucilkan.

Inilah yang terjadi di negara kita yang selalu mementingkan kebutuhan mereka dengan topeng pembangunan dan kemajuan negara, pandangan negara Indonesia terhadap pendidikan pada zaman sekarang terkungkung oleh sistem perbudakan pemerintah yang menerapkan “sekolah-kerja” tanpa memperhatikan “karya-pikiran,” karena secara transparan pendidikan dipegang secara non struktural oleh kaum elit yang hanya memikirkan golonganya lewat tangan menteri pendidikan, kaum kecil hanyalah sebuah objek bagi kaum elit untuk memutar roda pemerintahan yang katanya demokrasi. 

Pendidikan yang mencerahkan masyarakat. Sehubungan dengan masa depan, anggota masyarakat harus diberikan pencerahan (Djoko Marihandono, 2017). Pencerahan yang suci adalah pencerahan yang berasal dari diri sendiri tanpa ada unsur pengaruh dan manipulasi dari pihak lain.

Pencerahan yang suci dapat dicapai dengan petunjuk guru yang kompeten dalam menjalankan pendidikan dan pengajaran, sayangnya tanpa disadari guru-guru pada saat ini sudah terpengaruh manipulasi kaum elit, faktanya banyak sekali ditemukan pihak guru yang keluar dari pasal-pasal pendidikan seperti mengajar murid-murid demi bayaran saja tanpa mempertimbangkan perkembangan kreativitas murid-muridnya.

Pendidikan yang telah disusun oleh Ki Hajar Dewantara yang seharusnya dipraktekan justru ditinggalkan seperti sistem yang digagas beliau yaitu sistem “among,” artinya guru-guru meski di belakang tetapi mempengaruhi dan memberi jalan kepada anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang kemudian terkenal dengan istilah “Tut wuri handayani.” Selain itu, seharusnya guru bisa memotivasi dan menginovasi pikiran murid dan sekaligus memberi contoh (Ki Hajar Dewantara dalam Suahartono Wiryopranoto, 2017).

Pengalokasian keuangan negara sebagian besar sudah teralirkan ke dalam dunia pendidikan, dana abadi pendidikan sebesar Rp 99,107 triliun ditambah dengan alokasi dana pendidikan (LPDP) sebesar Rp 20 triliun, maka tahun ini akan terkumpul sekitar Rp 120 triliun (Agust Hartono, 2022). 

Walaupun sudah banyak beasiswa, tapi besar kemugkinan beasiswa hanyalah drama kepedulian pemerintah terhadap objek kecilnya, karena sejatinya beasiswa hanyalah sebuah pemantapan atau penyemangat supaya yakin dengan pendidikan yang bobrok dan tragis, memang beasiswa meruapakan simbol kebahagiaan, tetapi lebih baik membuat sistem yang baru dan terintegrasi dahulu, percuma jika sekolah itu gratis tapi lulusanya hanya sebatas bekerja bukan berkarya dan berfikir.

Pengalokasian dana pendidikan merupakan efek dari suatu perbedaan yang seharusnya menjadi indah jika indikator perbedaan tersebut dapat memenuhi satu sama lain, sayangnya di Indonesia indikator tersebut bertransformasi menjadi sebuah kontradiksi terhadap nilai keadilan yang terdapat pada ideologi bangsa yaitu pancasila.

Ketidakadilan tersebut terwujudkan dalam bentuk objektivitas pendidikan oleh politik yang penuh dengan visi dan misi palsu yang dipercantik dengan beasiswa, menurut survei political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia, ini disebabkan karena ulah para politikus yang menerapkan “sekolah-kerja” sehingga akan membentuk karakter yang kognitif tetapi tidak kreatif.

Perusahaan raksasa seperti Google justru lebih memilih anggota baru yang kreatif dan inovatif daripada anggota yang bergelar S1 bahkan S3, fakta pendidikan yang miris seharusnya dilawan dengan gagasan dan gerakan justru dibuntu dan dikekang oleh hukum yang bersifat membenarkan pada pihak yang mempunyai uang.

Media sosial juga sangat besar dampaknya terhadap meluasnya informasi pendidikan yang valid, sayangnya informasi pendidikan yang menyebar sudah terkalahkan oleh informasi politik yang bersifat miring sebelah, tak mengherankan jika opini rakyat Indonesia dikendalikan oleh media sosial, sehingga tak dapat dipungkiri bahwa rakyat Indonesia sangat miskin mengenai informasi perkembangan pendidikan, justru informasi yang meledak adalah kabar politik dan dunia hiburan. 

Dampaknya adalah karakter orang tua yang lebih menuntut daripada menuntun, karena orang tua telah dicekoki oleh informasi yang kurang mendidik, hal inilah yang membuat seorang anak menjadi frustasi karena tekanan yang diberikan orang tua terhadap anaknya, tak heran jika angka bunuh diri di Indonesia semakin hari semakin meningkat terutama kalangan remaja. 

Semakin kaya dan berkuasa, orang tua semakin “menguasai” anak-anaknya. Pasangan diatur dan dipilih orang tua, jurusan dan mata kuliah, bahkan siapa dosenya, juga dimana bekerja pun dipilihkan orang tua (Renald Kasali, 2017). Memang lingkungan adalah kunci untuk membentuk karakter seseorang, tapi inti dari lingkungan yang baik adalah linkungan yang berisi informasi yang positif.

Sikap yang terbaik dalam menyikapi pendidikan yang tercampakan ada ditangan orang tua, orang tua harus sadar secara penuh bagaimana mendidik dan mengajar anak yang baik, rujukan yang paling mudah bagi orang tua adalah pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam tiga butir dasar pendidikan yaitu “Ing ngarsa sung tuladaha” artinya seorang pendidik harus mampu menjadi contoh yang baik terhadap anak didiknya sebelum menuntunya.

“Ing madya mangun karsa” artinya yang di tengah harus memberiikan ide dan gagasan. Sebagai seorang pendidik yang berada di tengah-tengah muridnya harus merangsang terciptanya ide dan gagasan murid-muridnya. “Tut wuri handayani” artinya yang di belakang harus memberi dorongan (Ki Hajar Dewantara dalam Edward Ridwan, 2023). 

Politik telah memanas, sekolah hanyalah objektivitas pemerintah, melawan pemerintah adalah hal yang sia-sia, didikan sepenuhnya ada ditangan orang tua untuk menuntun bukan menuntut anaknya. 

*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Alumnus SMA Darul Ulum 2 Jombang sekarang bermukim di ponpes Mambaul Maarif.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال