Perjalanan Nabi Muhammad dari Pengembala Sampai Berdagang

Penulis: Tri Buana Eka Nur Rahmawati*

KULIAHALISLAM.COM - Sebelum mencapai kerasulan, para nabi biasanya menjalani setengah usianya sebagai gembala, yang memungkinkan mereka melewati waktu dipadang pasir, memelihara domba dan ternak. Dengan begitu, mereka menjadi sadar dan tabah dalam menuntun manusia, dan mudah memikul kesulitan dan penderitaan. 

Karena jika seseorang mampu menanggung kesulitan dalam mengurus hewan, yang tidak punya akal dan kearifan, maka ia dapat menerima tanggung jawab menuntun orang sesat, yang hakikatnya siap beriman kepada Allah. Yang diatas dikatakan berdasarkan pada hadis, “Allah tidak mengutus seorang nabi pun sebelumnya tidak dijadikan gembala domba supaya ia dapat belajar membimbing masyarakat.”

Seperti yang kita ketahui bahwa Nabi Muhammad dulu adalah seorang gembala kambing, beliau mengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dia sangat menikmati pekerjaannya sebagai gembala kambing, dia juga berkata, “setiap Nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan dia berkata lagi, “Musa diutus dan dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” 

Beliau mengembala dengan hati tenang, sehingga Nabi Muhammad terhindar dari keinginan untuk hidup bermewah-mewahan seperti penduduk Makkah pada umumnya. Orang bertanya kepada Nabi, “apakah anda juga pernah menjadi gembala?” Beliau menjawab, “Ya. Selama beberapa waktu saya menggembalakan orang Makkah di daerah Qarait.” 

Alasan lain Nabi memilih pekerjaan gembala. Cara hidup yang yang tidak masuk akal dan kebejatan para pemuka Quraisy sangat mempengaruhi pikiran orang yang berani dan bebas yang berbudi luhur. Selain itu, sikap masyarakat Makkah yang tidak menyembah yang Mahakuasa tetapi menyembah berhala yang tidak bernyawa itu membuat orang yang berakal tidak tenang. 

Karena itu Nabi memisahkan diri dari masyarakat dan menjalani hidupnya dipadang belantara dan dilereng pegunungan, yang secara alami terpisah dari masyarakat yang sudah tercemar, sehingga paling tidak selama beberapa waktu, beliau dapat bebas dari siksaan mental oleh kondisi memperhatikan pada zaman itu.

Kondisi keuangan keponakannya yang sulit, Abu Thalib berinisiatif, yang mana beliau juga salah satu sesepuh Makkah, bangsawan Quraisy, yang terkenal dengan dermawan, berani, dan murah hati, mencari lapangan pekerjaan pekerjaan untuk beliau. 

Ia berkata kepada keponakannya, “Khadijah putri Khawailid termasuk kalangan orang kaya dikalangan Quraisy. Kegiatan dagangannya sampai Mesir dan Etiopia. Ia sedang mencari orang yang jujur untuk melaksanakan usaha dagangannya, membawa barang dagangannya dalam kafilah Quraisy untuk dijual di Suriah. Wahai Muhammad! Alangkah bagusnya bila engkau melamar pekerjaan padanya.” 

Keluhuran budi dan kemuliaan rohani Nabi mencegahnya untuk melamar langsung, tanpa permintaan dari Khadijah. Maka ia menjawab, “Tidak ada salahnya apabila Khadijah menyuruh menghubungi saya.” Beliau berkata demikian karena tahu bahwa dirinya cukup terkenal dikalangan masyarakat sebagai “orang jujur” (Al-Amin). 

Ketika Khadijah mengetahui percakapan mereka, segera ia mengirim orang untuk menjumpai Nabi dan menyampaikan, “Yang mengilhami penghormatan saya kepada anda adalah kelurusan, kejujuran, dan keunggulan akhlak Anda. Saya memberi Anda dua kali lipat dari yang biasa saya berikan kepada orang lain, dan akan mengirim dua budak yang akan menuruti segala perintah Anda.” Lalu Nabi menceritakan tawaran ini kepada pamannya, lalu berkomentar, “tawaran ini merupakan sumber nafkah yang dilimpahkan Allah SWT kepadamu.”

Kafilah Quraisy, termasuk dagangan Khadijah, siap bertolak. Khadijah menyerahkan seekor unta cekatan, sejumlah barang mahal, dan dua orang budak kepada agennya itu dengan memerintahakan mereka mematuhi beliau dalam segala hal, tidak boleh membantah dan harus benar-benar tunduk kepadanya. 

Lalu kafilah tiba ditempat tujuan. Seluruh anggotanya mengambil laba. Tapi laba yang diperoleh Nabi lebih banyak daripada yang lain. Beliau akhirnya membeli barang tertentu untuk dijual di bazar Tahamah. Kemudian kafilah kembali ke Makkah. Dalam perjalanan, sekali lagi Nabi melewati negeri ‘Ad dan Tsamud. Keheningan kematian yang menimpa lingkungan kaum pembangkang yang semakin mengundang perhatian Nabi kedunia lain. 

Apalagi kenangan atas perjalanan sebelumnya kembali lagi, beliau teringat pada saat bersam pamannya melintasi gurun pasir. Ketika kafilah Quraisy mendekati Makkah, seorang budak maisarah berkata pada Nabi, “Alangkah baiknya jika Anda memasuki Makkah mendahului kami dan mengabarkan kepada Khadijah tentang perdagangan dan keuntungan besar yang kita dapat tahun ini.” 

Nabi tiba di Makkah ketika Khadijah sedang duduk dikamar atasnya. Ia berlari turun dan mengajak Nabi keruangannya. Kemudian Nabi menyampaikan dengan menyenangkan, hal-hal yang menyenangkan barang dagangan. 

Hingga pada saat waktu itu, kondisi keuangan dan ekonomi Nabi belum membaik. Beliau masih membutuhkan pertolongan finansial dari pamannya, Abu Thalib. Urusan bisnisnya belum mantap untuk memilih pasangan dan mendirikan rumah tangga. Lalu perjalanan terakhirnya ke Suriah, dalam kapasitasnya sebagai pelaksana, wakil wanita yang kaya dan terkenal tadi, sampai tingkat tertentu untuk menguatkan kondisi keuangan dan ekonominya.

*) Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال