Karakter Politisi di Dalam Demokrasi Liberal


oleh : Rahman Saleh (Ketua Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jaksel/Ketua BP2AC Pemuda Pancasila Jaksel)

KULIAHALISLAM.COM-Pembukaan Masa Kampanye di warnai dengan perlombaan pemasangan APK (Alat Peraga Luar Ruang) di Pelosok Tanah Air. Sebagai kader Partai yang turut dalam kompetisi memang mengasyikan mengikuti masa kampanye sambil menunggu hari H Pencoblosan. Beberapa kandidat sharing terkait motivasi masing - masing dengan berbagai latar belakang dan faktor kausalitas mengapa turut serta dalam kompetisi pemilihan umum 2024. Dari mulai pemula yang lugu dan terbuka menyampaikan alasan di ikuti dengan sindrom selebriti politik (delusi kebesaran/delution of grandeur) sampai dengan politisi kawakan yang dapat menyimpan seluruh informasi motivasi, strategi, langkah operasional dan taktisnya.

Francis Fukuyama dalam bukunya Identity the Demand for Dignity and The Politics of Resentment membagi tipe aktor Politik berdasarkan motivasinya terkait dengan pengakuan terhadap martabat dirinya atau dignity. Hal ini di lepaskan dari Politisi yang memang bertarung dalam kompetisi demokrasi ala liberal memang ingin mewujudkan ideologi dengan menggunakan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Karena fenomena deviasi dalam bentuk kecurangan pemilu (election fraud) dan politik hitam mungkin saja terjadi karena 3 karakter politisi ini. 3 Bentuk tersebut merupakan 3 level motivasi para politisi ingin menduduki jabatan politik tertentu yaitu Thymos, Isothymia dan Megalothymia.

Thymos adalah bagian dari jiwa seorang politisi yang menginginkan dan bahkan mendambakan pengakuan terhadap martabat dalam dirinya. Sebagaimana kita ketahui bersama demokrasi Indonesia mengantarkan para kandidat (caleg, cakada dan capres) pada jabatan political official (Jabatan politik di eksekutif dan legislatif). Dalam jabatan tersebut melekat hak administrasi, keuangan, protokol, keamanan dan kedudukan sosial yang tinggi sebagai warga negara kelas atas. Negara sebenarnya menyediakan seluruh fasilitas tersebut untuk melancarkan seluruh tugas - tugas kenegaraannya dengan output dan outcome terselenggaranya legislasi, penganggaran, pengawasan, representasi dan eksekusi kebijakan publik. Hasil yang di inginkan secara idealis (result) adalah kebijakan publik yang membawa kesejahteraan dalam bentuk Human Development Indeks, Human Happines Indeks, serta maksimalnya pengadaan barang publik yang menciptakan eksternalitas sosial positif. Namun, secara Thymos kedudukan tersebut lebih di anggap sebagai pengakuan terhadap martabat pribadi sang calon di dalam ruang sosial. Karena hal tersebut di anggap sebagai pengakuan martabat maka kadang - kadang kemenangan pemilu dianggap sebagai harga diri yang di pertaruhkan. Sehingga sang kandidat mengerahkan logistik dan taktik yang mengarah kepada election fraud. Mungkin kita sering mendengar perang antar pendukung yang berujung pada kematian dari pendukung kandidat calon lurah yang kalah dan menang di daerah tertentu.  

Pada level berikutnya adalah Isothymia kandidat menginginkan kemenangan untuk merasa lebih terhormat daripada orang pada umumnya. Pada dasarnya wakil Rakyat atau pimpinan eksekutif pilihan rakyat adalah asas representatif. Dasar ini seharusnya menempatkan sebenarnya para pejabat publik (political official) yang di pilih adalah rakyat juga, tetapi karena kebijakan publik tidak mungkin di bahas oleh semua rakyat maka mereka mewakili rakyat untuk merumuskan dan menciptakan kebijakan. Tetapi karena masih ada kultur feodal dan sejarah kebebasan yang belum paripurna di tambah dengan segala hak administrasi dan protokol yang disebut di atas para pejabat publik belum move on secara historis. Sehingga Isothymia ini di wujudkan dalam bentuk penghargaan terhadap aktor yang memenangkan jabatan tersebut. Pada level ini, dapat membahayakan jika di ikuti dengan sifat non partisipasi dalam penyusunan kebijakan. Seorang pimpinan akan memaksanakan keputusan kebijakan publik tanpa memperhatikan nilai - nilai inklusi dan celah fiskal yang ada. Misalnya sebuah dengan dalih Proyek strategis nasional maka tergusur hak kaum marginal dan memaksakan proyek yang tidak tersedia anggaran negaranya, sehingga melakukan utang luar negeri dan rezim setelahnya yang bertanggung jawab membayar. Saya meng quote lagu Kesaksian dari Iwan Fals di Bait : Orang memanah rembulan, burung hilang sarangnya.

Level Ketiga dari jiwa politisi adalah Megalothymia adalah keinginan aktor politik untuk di akui memiliki kekuatan superior. Politisi ini mengarah kepada kediktaktor di dalam negeri dan agresif dalam kebijakan luar negerinya. Kebijakan - kebijakan yang di buat cenderung memawa resiko pembungkaman di dalam negeri dengan mengkonsolidasikan alat negara untuk menjadi pilar pelanggengan kekuasaan termasuk politik populis yang di wujudkan dengan dominasi dalam politik eletoral dan dukungan kepuasan mayoritas rakyat. Entitas politik dalam negeri yang kalah entah minoritas maupun marginal di lakukan pembungkaman sekalian tekanan pada pers. Kebijakan luar negeri yang ekspansif dan cenderung mendominasi percaturan global.

Penulis menyadari pemilih dalam Pemilu 2024 bukanlah masyarakat yang matang dan dewasa sehingga menyadari pilihan politiknya, serta mengenal secara detail kandidatnya. Kegagalan pasar dengan informasi yang tidak lengkap serta ketidak seimbangan kemampuan kandidat dan partai dalam memberikan informasi menyebabkan pemilih lebih bersifat patron client dan transaksional. Walaupun belum Ideal pemikiran tentang mencerdaskan pemilih harus di awali dengan equalitas pemilih dalam jenjang pendidikan. Dalam sebuah diskusi dengan mantan Anggota Dewan pendidikan Jaksel. Kebijakan pendidikan yang inklusif dan non rivalry merupakan cara langsung dalam menyehatkan demokrasi Indonesia sehingga benar - benar mematikan politik dengan thymos, isothymia dan megalothymia. kapasitas Universitas harus tersedia sejumlah bayi yang lahir di Republik dengan berbagai jurusan dan equalitas no rivalry.

Dengan memasuki universitas maupun pendidikan tinggi jiwa rakyat Indonesia akan di paksa memahami nilai berbangsa dan bernegara secara kolektif. Sehingga kesadaran akan kesehatan demokrasi di landaskan persamaan dalam level pendidikan. Situasi sekarang adalah disparitas pendidikan warga negara menciptakan kelas sosial dan penindasan dalam hak berseleksi dan eleksi dalam sistem seleksi kepemimpinan demokrasi melalui pemilihan umum. Jika semua orang pintar maka setiap mata akan menjadi pengawas dengan kesadarannya.

Dengan demikian walaupun sistem perwakilan kesamaan itu akan mendekati dengan situasi Demokrasi Athena dimana sistem itu Lahir. Demokrasi Athena yaitu bahwa orang tidak memiliki perwakilan untuk memberikan suara atas nama mereka melainkan langsung memberikan suara untuk anggota legislatif dan eksekutif. Partisipasinya dilaksanakan tertutup dan besar-besaran.

Wallahu Alam Bishawab

Achmad Puariesthaufani Nugroho

Sulung dari 3 bersaudara. Lahir di Jakarta. Bapak sumatera, Ibu Jawa. Penikmat Sejarah dan Pemikiran Islam.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال