Implikasi Hukum Poligami dalam Perspektif Hukum Islam

Penulis: Siti Naila Nahdliyah*

KULIAHALISLAM.COM - Poligami memiliki sejarah diberbagai budaya, poligami sudah ada sejak dulu kala pada kehidupan kelompok masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia masa itu. Bahkan di antara para nabi, poligami bukanlah sesuatu yang asing. Dalam Islam, poligami tidak diharamkan secara mutlak, namun dikenakan batasan dan syarat tertentu. 

Batasan tersebut melibatkan jumlah maksimal empat wanita yang dapat dinikahi oleh seorang lelaki, dengan syarat bahwa ia mampu memberikan nafkah dan bersikap adil terhadap istri-istrinya. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam keturunan dan memastikan kesiapan para lelaki yang terlibat. 

Sejarah poligami mencakup berbagai peradaban, baik kuno maupun modern, di mana nilai-nilai agama dan budaya sering kali memainkan peran kunci dalam membentuk pandangan terhadap praktik ini. Beberapa agama, seperti Islam, mengizinkan poligami dengan persyaratan tertentu, sementara agama lain menolaknya.

Perspektif hukum terhadap poligami bervariasi di berbagai pengakuan, dengan beberapa negara yang mengizinkannya dengan peraturan yang ketat, sedangkan yang lain melarangnya sepenuhnya. Adapun juga hukum terkait diperbolehkannya poligami dalam islam dengan ketentuan berbagai syarat tertentu sebagai berikut: 

  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Hukum poligami merupakan suatu perdebatan dalam konteks norma sosial dan agama. Di banyak masyarakat, praktik poligami dianggap sebagai aspek yang kompleks dan akhirnya memicu perdebatan mengenai keadilan, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia. Sebagai bentuk pernikahan di mana seorang pria memiliki lebih dari satu istri secara bersamaan, poligami telah menjadi subjek diskusi yang mendalam di berbagai negara dan budaya.

Kritik terhadap poligami sering kali berkisar pada isu-isu hak asasi manusia, terutama dalam konteks ketidaksetaraan gender. Perdebatan mengenai kebebasan individu, hak perempuan, dan dampak psikologis pada anak-anak dalam keluarga poligami menjadi pokok utama. Namun, ada beberapa orang yang mendukung gerakan poligami dan menganggap hal tersebut sah-sah saja dilakukan yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan hak privat individu.

Dalam mengeksplorasi berbagai perspektif hukum, agama, dan sosial terhadap poligami, menyajikan analisis mendalam tentang dampaknya terhadap masyarakat dan individu. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh tentang hukum poligami dalam konteks global saat ini.

Menurut Al Ghazali, poligami diperbolehkan asalkan dapat dilakukan secara adil. Namun bagaimana seseorang yang hidupnya sulit menafkahi satu istri saja bisa bersikap adil jika ia berpoligami? Selanjutnya, syarat lain yang harus diperhatikan adalah: Apakah istri pertama berniat menikah dengan suaminya. Hal ini karena pernikahan dalam Islam tidak bisa dipaksakan. 

Dari sini juga dapat kita simpulkan bahwa hadis-hadis yang melarang poligami yang penulis sebutkan diawal, sebenarnya tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang membenarkan poligami. 

Bila dikaji secara cermat terhadap hadis larangan poligami, terungkap bahwa larangan poligami yang ditujukan kepada Ali Ibnu Abi Thalib didasarkan pada pernikahan Fathimah, sebagaimana tercantum dalam teks hadits: Jelas sekali bahwa hal itu disebabkan oleh kurangnya motivasi. 

Dengan demikian, Hadis ini tidak dapat dipahami sebagai dalil pelarangan poligami  secara mutlak yang terdapat dalam surat An-Nisa: 3 sebagai berikut:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟

Artinya: "Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." 

Adapun salah satu hadis nabi yang memperbolehkan berpoligami versi Qais bin Al-Harits sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِي قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنِ ابْن أبي ليلى، عَنْ حُمَيْضَةَ بنتِ الشَّمَرْدَلِ، عن قيس بن الحارث، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ ذَلِكَ له، فَقَالَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا.

Artinya: "Ahmad ibn Ibrahim al-Dauraqi telah meriwayatkan hadits kepada kami, ia berkata: Husyaim telah meriwayatkan hadis kepada kami dari Ibn Abi Layla, dari Humaydhah bint al-Syamardal, dari Qais ibn al-Hārits, ia berkata: aku telah masuk Islam dan aku memiliki delapan istri. Lalu, aku mendatangi Nabi saw. dan menyampaikan perihal itu, Nabi pun menjawab, pilihlah empat orang saja di antara mereka." (Hadis Ibnu Majjah No. 1942)

Hadis diatas menceritakan tentang salah satu sahabat nabi yang mempunyai delapan istri sebelum beliau masuk Islam. Ketika Rasulullah SAW datang membawa ajaran Islam, mereka diperintahkan menceraikan istri-istri mereka kecuali empat orang saja untuk dipertahankan. 

Artinya secara tekstual hadis ini memperbolehkan berpoligami dengan maksimal empat istri. Namun diantara hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Sebagian riwayat memperbolehkan poligami sebagian yang lain juga ada yang melarangnya. 

Berikut hadis yang melarang berpoligami :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَن المِسْوَرِ بن مَحْرَمَةَ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ عَلَى المُنْبَرِ: إِنَّ بَنِي هِشَامٍ بن المغيرة اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَلَا اذن ، ثُمَّ لَا أَذَنُ، ثُمَّ لَا أَذَنُ، إِلَّا أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلَّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ، فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي، يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا، وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا.

Artinya :"Qutaibah meriwayatkan hadis kepada kami, al-Laits meriwayatkan hadis kepada kami dari Ibn Abi Mulaikah, dari al-Miswar ibn Makhramah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar: "sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam ibn al-Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan 'Ali ibn Abi Thalib, maka aku tak akan mengizinkan, sekali lagi aku tak akan mengizinkan, sungguh aku tak akan mengizinkan, kecuali kalau 'Ali mau menceraikan putriku, lalu menikahi putri mereka. Putriku itu adalah bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya berarti mengganggu perasaanku juga, apa yang menyakiti hatinya berarti menyakiti hatiku pula." (HR. Bukhori)

Hadis diatas yang ditujukan kepada 'Ali bin Abi Thalib tidak dapat diartikan sebagai larangan poligami secara mutlak. Hadis tersebut menekankan pentingnya berlaku adil dan memperhatikan kerelaan istri atau walinya sebelum melakukan poligami, seperti yang tergambar dalam keinginan Nabi SAW. 

Untuk menghindari kesedihan dalam konteks poligami. Oleh karena itu, hadis-hadis yang pada awalnya terlihat menyimpang sebenarnya tidak demikian.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال