Humanisme dalam Islam

Penulis: M. Ichya' Nurush Shobach*

KULIAHALISLAM.COM - Perkembagan ilmu pengetahuan sangat begitu cepat meluas, dengan ciri-ciri dimana manusia semakin berkembang untuk mengembagkan pemikiran-pemikirannya; termasuk dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang humanisme. Beberapa kasus saya menemukan isu-isu yag merendahkan kemanusiaan itu sendiri atau dinodai dengan perilaku-perilaku yang memburuk citra pengautnya.

Pada realitanya banyak manusia yang belum menerapkan isi dari penerapan humanisme. Ilmu yang telah berkembang masih belum banyak diterapkan. Sangat miris sekali melihat hal tersebut terjadi. Banyaknya perbedaan pendapat memunculkan sebuah ilmu-ilmu baru, tugas kita adalah agar dapat memilah ilmu-ilmu yang hadir itu, atau mungkin tugas kita adalah yang mensintesiskan ilmu-ilmu baru tersebut; agar ilmu tersebut dapat diterima secara benar.

Manusia dalam prespektif Islam adalah sebagai tokoh utama, sering kali disebutkan dalam ayat-ayat Alqur’an. Dalam kitab suci selain sebagai sebuah petunjuk hidup manusia, kitab suci juga sebagai penjelasan bagi manusia, hal ini sama persis dijelaskan dalam : (QS. Al- Baqoroh : 185)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alqur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…. (Qs. Al- Baqoroh : 185)

Dalam pandangan ini menggambarkan bahwa agama Islam sangat betapa besar perhatian dengan manusia. Dalam kenyataannya kita dapat melihat bukti-bukti yang jelas bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Oleh karena itu manusia disebut sebagai khalifah Allah, sudah tentu bahwa manusia dituntut untuk memiliki berbagai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang memadahi dalam rangka untuk memakmurkan bumi serta mengolah berbagai kekayaan dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya. 

Akan tetapi disamping beberapa potensi positif dan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, manusia juga punya potensi negatif dan kelemahan-kelemahan. Kebebasan berkehendak dan bertindak yang dimiliki manusia memungkinkan dirinya untuk memilih potensi mana yang akan dikembangkannya. 

Jika ia lebih suka mengembangkan potensi negatifnya, maka derajat kemuliaannya sebagai kholifah Allah akan bisa terhempas hingga level terbawah. Dalam posisi ini yang berkembang pada diri manusia bukanlah karakter kemanusiaan melainkan watak kebinatangan, bahkan bisa lebih hina dari itu.

Dalam prespektif saya, manusia akan lengkap dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya menjadikannya memiliki obsebsi-obsebsi yang ingin dicapainya, baik itu bersifat primer atau sekunder dan negative atau positif. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa manusia mempunyai tiga obsesi utama, yaitu;

Pertama, manusia adalah pencari kebebasan; sebab beberapa desakan atau kebutuhan manusia itu sendiri, seperti halnya kebutuhan ontologis, kosmologis, kebutuhan fisik dan kebutuhan politis. Kebebasan akan kebutuhan ontologis dikarenakan dalam pikiran manusia ada dorongan untuk mencari dan mencari yang mengantarkan sampai penyebab pertama (Causa-Prima). 

Kebebasan akan kebutuhan kosmologis telah menyebarkan berbagai kekerasan dan paksaan tertentu bagi eksistensi manusia. Dalam Islam, jenis kebebasan ini lebih dikendalikan oleh prinsip-prinsip etis, bukan bebas tanpa kendali. Manusia dalam wilayah kosmologi Islam tetap sebagai hamba Allah dan “wakil”Nya (khalifatullah). Ia harus bisa menyeimbangkan mikrokosmos dan makrokosmos.

Kedua, manusia adalah pencari kebahagiaan. Makna kebahagiaan dalam model penelitian filsafat, di mana posisi individu ditampilkan secara progresif (kearah kemajuan) dengan disertai argumentasi asli yang tidak pernah kehilangan makna dan lepas dari kenyataan hidup. 

Pendekatan ide tentang kebahagiaan membutuhkan pengetahuan yang memadahi mengenai kebajikan mutlak (al-khair almuthlaq) dan kesenangan atau kenikmatan mutlak (al-ladzdzah al-muthlaq). Dengan kedua pendekatan ini, bagaimana keduanya bisa dipadukan secara praksis dalam wujud harmonisasi. 

Kebajikan mutlak, bagi para mukmin, digambarkan bukan bersifat material tetapi lebih merupakan nilai-nilai simbolik. Kebahagiaan dalam wilayah ini bersifat ukhrawi (mengenai akhirat). Namun demikian, kebahagiaan duniawi adalah sama pentingnya dengan kebahagiaan ukhrawi. Oleh karena itu, di antara faktor pendukung bagi kebahagiaan duniawi adalah kesehatan, kekayaan, kemasyhuran dan kehormatan, keberhasilan, dan pemikiran yang baik.

Ketiga; manusia adalah pencari kebenaran. Obsesi lain dalam sejarah manusia adalah kecenderungannya untuk selalu mencari kebenaran. Cara-cara untuk mencari sebuah kebenaran telah ditunjukkan oleh para filsuf, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya sebelum datangnya wahyu samawi atau kitab-kitab Suci. 

Lantas datanglah masa turunnya wahyu-wahyu Tuhan melalui para nabi dan rasul-Nya dengan kitab suci masing-masing. Kitab-kitab suci itu juga memberikan bahan yang lain bagi akal (akal religius). Baik akal filosofis maupun akal religius sebenarnya sama-sama ingin membimbing manusia menuju kebenaran realitas, meski cara dan bahannya berbeda. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka jaminan kebenaran itu harus bisa dibuktikan dalam realitas sejarah. Oleh karena itu kebenaran-kebenaran dapat dilihat dari sebuah sejarah-sejarah.

Dalam hal ini manusia membutuhkan sebuah watak atau tipologi humanisme manusia, dengan memahami tipologi-tipologi inilah manusia dapat mempertebal iman atau mengembangkan ilmu pengetahuan dengan bermoral dan beretika. Pemikiran-pemikiran ini saya meminjam dari salah satu tokoh yaitu Arkoun. Arkoun membagi humanisme Islam menjadi tiga model, yaitu: (1) humanisme literer, (2) humanisme religius, dan (3) humanisme filosofis.

Pertama, Humanisme Literer. Arkoun menggambarkan humanisme literer era Islam klasik (abad III-IV/IXX) sebagai semangat aristokrasi, uang dan kekuasaan. Pada masa itu orang yang berbakat tidak bisa mengerjakan keinginan bakat-bakat mereka kecuali di lingkungan istana raja-raja dan di lingkungan orang-orang kaya. 

Dengan dukungan kekuasaan dan dana, kita tahu bahwa tipe humanisme ini menjadi menguasai dan mendominasi di setiap masanya dalam sejarah budaya. Epistimologi humanisme literer membangun pola pikirnya hanya melalui dan berdasar literatur atau teks. Para humanis literer juga banyak bergantung pada dan banyak ditopang oleh fasilitas para penguasa (raja, aristocrat, penyandang dana dan sebagainya) sehingga sulit untuk bersikap objektif. 

Terhadap wacana humanisme literer, Arkoun banyak mempertanyakan (mengritik) bangunan epistemologinya. Misalnya, bagaimana dan mengapa wacana Keislaman atau diskursus Alqur'an yang telah termaktub dan terbentuk dalam berbagai khazanah keilmuan Islam bisa menjadi wacana yang tertutup, rigid, garang, ahistoris dan lebih bersifat ideologis? Padahal wacana itu aslinya, sebelum termuati beban ideologis, lebih bersifat historis, terbuka, luwes, toleran, penuh nuansa spiritual yang humanis, ramah dan santun dalam spiritual keagamaan

Kedua. Humanisme Religius. Humanisme religius, dalam kualitas yang berbeda-beda, adalah sebuah konsepsi yang hendak mengatur keataatan keberagamaan atau kesalehan seseorang lewat pintu masuk dunia mistik (tasawuf). Sisi positif yang perlu diperhatikan dari humanisme religius ialah dalam aspek moralitas dan spiritualitas. 

Hal ini biasanya terbentuk melalui ajaran sufisme. Sedangkan yang perlu dicatat dalam sisi negatif pada humanisme religius dari aspek moralitas dan spiritualitas adalah bahwa aspek ini dalam sejarah pemikiran ortodoksi sering menjadi eskapisme dari kenyataan politis yang cenderung mendukung paham determinisme dalam teologi, sampai akhirnya sufisme dianggap sebagai agama massa atau ordo-ordo sufirme.

Ketiga; Humanisme Filosofis. Humanisme ini dalam gambaran Arkoun dilukiskan sebagai menyatunya elemen-elemen dari kedua humanisme di atas (humanism literer dan humanisme religius), tanpa dibedakan oleh disiplin keilmuan yang lebih jelas, dengan ketenangan yang lebih menghanyutkan dan mencemaskan, lebih metodis, dan lebih solider terhadap kebenaran antara dunia, manusia dan Tuhan. 

Ia mengetengahkan seluruh pertanggungjawaban yang dapat dinalar dan seluruh kecerdasan manusia secara otonom. Meski humanisme filosofis hendak menyeimbangkan antara humanism literer dan humanis-me religius, ia tampaknya telah memberi otonomi kebebasan yang besar kepada manusia untuk mengoptimalkan kecerdasannya. Otonomi kebebasan inilah tampaknya yang sering menjadi masalah bagi manusia bila tanpa didasari rasa pertanggungan jawab terhadap Tuhan.

*) Mahasiswa Filsafat

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال