Calonarang, Seni Tari Bali Berlatar Sejarah di Jawa

Penulis: M Iqbal Ulil Absor

KULIAHALISLAM.COM - Calonarang merupakan seni drama tari yang sering dipentaskan di Bali. Tari Bali satu ini termasuk dalam seni tari sakral. Pementasan Calonarang tidak setiap saat dipentaskan, hanya pada saat acara-acara dan pemujaan di Bali.

Drama Tari Calonarang mengisahkan tentang pertarungan Mpu Baradah dengan Calonarang, disimbolkan dengan barong sebagai simbol kebajikan dan rangda sebagai simbol kejahatan. Seorang janda penganut ilmu hitam yang mengerikan. Pementasan ini diperkirakan pertama kali ada pada masa kerajaan Klungkung tahun 1825.  

Tari Calonarang biasanya dipentaskan di dekat kuburan sebagai salah satu ritual pemanggilan ilmu hitam atau biasa dikenal dengan sebutan ilmu leak. Dalam pementasannya, pantang pulang sebelum benar-benar selesai, konon katanya orang-orang dengan ilmu leak malam itu berkeliaran disekitaran pentas Calonarang. 

Dalam pentas Calonarang akan ada satu orang relawan yang sebelumnya sudah benar-benar siap untuk dijadikan sarana pemanggilan ilmu leak, ini dinamakan “Bangke Matah”. Orang yang menjadi Bangke Matah akan dibuat mati suri dan orang tersebut diupacarai seperti halnya orang yang meninggal, kemudian diletakkan di kuburan dan ditinggal.

Namun, ternyata sejarah seni Tari ini berlatar tempat di Jawa Timur, di daerah Kediri. Yang konon kemudian dibawa oleh orang-orang Hindu yang bermigrasi ke Bali saat kerajaan Majapahit di Jawa hancur.

Sejarah Calonarang

Calonarang dikisahkan sebagai seorang penganut ilmu hitam yang hidup di masa pemerintahan Raja Airlangga di Kerajaan Daha, Kediri sekitar tahun 1006-1042 M. Ia dijuluki sebagai Walu Nateng Girah yang berarti janda dari desa Girah. 

Calonarang merupakan pemimpin aliran ilmu hitam di desa Gira, pinggiran kerajaan Daha. Aliran ini menyembah Dewi Durga sebagai objek ilmunya. Calonarang memiliki seorang putri yang cantik jelita bernama Diah Ratna Manggali. 

Namun kecantikannya tidak membuat dirinya disukai oleh para laki-laki saat itu, justru sebaliknya orang-orang takut ingin menikahinya karena takut dengan ibunya, Calonarang yang terkenal sebagai Juru Teluh. 

Akhirnya tak ada seorang pun yang berani menyatakan cinta pada Ratna Manggali. Calonarang pun murka merasa putrinya ditolak oleh orang-orang. Sang janda kemudian melakukan ritual memuja Dewi Durga dengan maksud untuk memperoleh kekuatan supaya mampu membalaskan dendamnya kepada orang orang Daha. 

Kemarahan calonarang mendatangkan wabah penyakit keseluruh wilayah Daha tanpa terkecuali. Calonarang mengirim leak ke seluruh wilayah kerajaan Kediri, di malam hari angin terasa panas, anjing menggonggong bersahutan dan burung gagak saling berteriak. Rupanya dendam yang dikirim oleh Calonarang berhasil.

Mendengar wabah yang dikirim oleh Calonarang ini, membuat Airlangga merasa cemas. Ia meminta bantuan kepada Mpu Barada, seorang pendeta suci beraliran tantra kanan. Kemudian Mpu Barada mengirim Mpu Bahula untuk datang ke Girah dan melamar Ratna Manggali. 

Namun setelah pernikahan ini berjalan, justru membuat Calonarang menjadi murka, ia mengetahui bahwa Mpu Bahula menikahi anaknya untuk meredamkan dendam dirinya. Calonarang pun melanjutkan teluhnya, kini jangkauannya menjadi sangat luas. Hal ini membuat Mpu Barada turun tangan dan berencana menemui Calonarang. 

Mula-mula Mpu Barada pergi ke orang-orang yang terkena santet dan mengobatinya. Bahkan murid-murid Calonarang pun bertobat ketika bertemu Mpu Barada. Fenomena ini membuat Calonarang makin menjadi. Ia mempersembahkan mayat manusia untuk meminta ilmu ke Dewi Durga agar menjadikan dirinya setara dengan ilmu Dewi Durga. 

Ritualnya pun berhasil dan Dewi Durga berpesan bahwa dia akan mati di tangan Mpu Barada. Kemudian terjadilah pertarungan antara mereka berdua. Tatapan Calonarang mampu membuat tumbang pohon beringin. Namun Mpu Barada tak sedikitpun kesaktian, ia justru menantang Calonarang untuk mengeluarkan segala ilmunya. Amukan Calonarang pun semakin menjadi. Kemudian dengan ilmunya, Mpu Barada berhasil membuat Calonarang mati ditempat ia berdiri.

Situs Calonarang (Nateng Girah) di Kediri

Di Bali, cerita tentang Calonarang ditulis pada sebuah naskah geguritan bernama Serat Calon Arang. Kidung itu ditulis di atas 51 lembar daun lontar menggunakan aksara Bali tahun 1462 Saka atau tahun 1540 Masehi. 

Bukti tertulis keberadaan Calon Arang tersebut saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional. Selain dari naskah, kehidupan Calonarang di Jawa diperkuat dengan adanya Situs Calonarang di Sukorejo, Kec. Gurah, Kediri. Situs ini dilinndungi Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 2010.

Saat pertama ditemukan, situs ini hanya berupa batu umpak,dorpel dan batu-batu dengan artefak kuno yang tercerai belai. Tempat ini diyakini sebagai tempat petilasan Calonarang. Terkadang setiap bulan terdapat banyak orang-orang dari Bali yang berziarah ke petilasan calonarang ini. Mengenai bentuk asli tentang situs Calonarang ini masih menjadi misteri. Namun menurut warga setempat, umpak-umpak yang berada di situs ini kemungkinan dulunya merupakan pendopo kecil.

Namun sayang, situs mengenai salah satu sejarah kesenian yang mendunia ini belum begitu layak, akses menuju situs ini harus diperbaiki mengingat banyaknya peziarah dari pulau dewata, serta penelitian mengenai kebenaran situs ini harus segera dilakukan.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال