Memahami Pemikiran Aristoteles


Penulis: Dinur Rosyidah*

KULIAHALISLAM.COM - Aristoteles merupakan seorang filsuf yang namanya sangat familiar di dunia filsafat. Bagi yang baru mengenal filsafat, pemikiran Aristoteles dapat menginspirasi pemahaman filsafat lebih dalam. Aristoteles fasih dengan hampir semua istilah filosofis, termasuk epistemologi, ontologi, dan aksioma, oleh karena itu, Aristoteles sangat berpengaruh dalam upayanya mengubah cara berpikir orang. 

Pemikiran logis dan empiris yang dimiliki Aristoteles sangat relevan jika menjadi refleksi evaluasi pendidikan saat ini, khususnya bagi Pendidikan Agama Islam. Kondisi pendidikan saat ini terutama di Indonesia tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Kurikulum yang disusun sudah terkonsep sedimikian rupa demi terwujudnya pendidikan yang ideal.

Akan tetapi dalam praktiknya, belum bisa sepenuhnya mengaktualisasikan konsep-konsep yang tertera dalam kurikulum. Dalam proses pembelajaran, masih banyak guru yang hanya menggunakan satu metode pembelajaran. Metode yang biasa digunakan oleh guru adalah metode ceramah. 

Meskipun masih banyak metode pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk mencapai tujuan pendidikannya. Hakikat pengetahuan bagi Aristoteles adalah realitas pengalaman, sehingga Aristoteles termasuk dalam aliran realisme. Realisme meyakini bahwa pengetahuan merupakan gambaran tentang apa yang sebenarnya ada di dunia nyata. 

Pengetahuan adalah salinan dari realitas alam. Dengan demikian, pengetahuan dapat diumpamakan sebagai sebuah foto yang memiliki gambaran alam sebagai subjek fotonya. Jadi, realisme berpendapat bahwa pengetahuan dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan. 

Sebaliknya jika ilmu tidak sesuai dengan kenyataan (realitas) maka ilmu dikatakan palsu. Masalah realisme sebenarnya dipelajari oleh Aristoteles dan gurunya Plato. Kedua filosof ini menerima adanya sesuatu yang nyata meskipun keduanya mempunyai penjelasan yang berbeda. Plato percaya bahwa benar-benar metafisik, sempurna, dan tidak dapat diakses oleh indra. 

Menurut Plato, sesuatu yang nyata adalah suatu bentuk abstrak, penyebab yang tidak terhubung dari banyak bentuk alam (khusus). Bentuk sebenarnya yang disebutkan Plato pada tahun adalah bentuk murni. Manusia adalah tiruan dari bentuk nyata (murni) yang disebutkan oleh Plato. 

Manusia terputus dari wujud aslinya sehingga manusia tidak akan bisa memperoleh pengetahuan langsung tentang wujud asli. Manusia hanya bisa memperoleh pengetahuan bayangan wujud asli. Menurut pengetahuan manusia warna biru. Warna biru yang dirasakan manusia bukanlah sifat dari biru. 

Pengetahuan manusia tentang warna biru hanyalah hasil pantulan bayangan biru yang terekam oleh retina mata manusia. Biru benar-benar ada dalam dirinya dan tidak dapat disentuh oleh indra manusia. Aristoteles mempunyai pandangan yang berbeda tentang realitas dibandingkan Plato. 

Bagi Aristoteles, bentuk (benda universal) tidak dapat dipisahkan dari partikular. Setiap benda harus mempunyai ciri-ciri umum (jenis) dan ciri-ciri khusus (spesies). Atau bentuk dan bahannya. Bentuk tidak dapat dipisahkan dari materi, sehingga bentuk benar-benar ada. Keumuman selalu disertai dengan kekhususan, pemisahan antara materi dan wujud merupakan pemisahan yang logis, bukan pemisahan yang sebenarnya. 

Teori seperti ini disebut heteromorfisme. Teori morfologi merupakan penemuan Aristoteles. Hyle artinya materi dan morphe artinya bentuk. Melalui penemuannya tersebut, Aristoteles menjelaskan bahwa bentuk dan materi tidak dapat dipisahkan. Padahal, bentuk menjadi alasan mengapa suatu benda berbeda secara mendasar dengan benda lainnya. 

Materi dan bentuk muncul secara bersamaan dalam proses menjadi aktual yang disebut entelecheia. Jika keduanya adalah secara terpisah maka keduanya bukan apa-apa. Materi tanpa bentuk hanyalah potensi, dan bentuk tanpa materi hanyalah potensi. Perjumpaan antara wujud dan materi sehingga membuat benda nyata terlihat dan dapat dibedakan. 

Suatu potensi yang menjadi aktual (entelecheia) tentu mempunyai sebab. Menurut Aristoteles, ada empat macam sebab, yang pertama adalah sebab material (causa Materials), sebab-sebab tersebut menjelaskan keberadaan fisik suatu benda, misalnya kayu. Kedua, ada sebab formal (causa forma), karena menjelaskan keadaan suatu hal, misalnya bentuk kursi. 

Yang ketiga adalah penyebab efisien (causa effeciens), penyebab ini menjelaskan penyebab yang menjiwai peristiwa tersebut, misalnya pematung mengubah kayu menjadi kursi. Penyebab akhir yang keempat (causa Final) adalah tujuan dari sesuatu hal, misalnya tujuan dibuatnya sebuah kursi. 

Menariknya, ketika sesuatu menjadi aktual, maka menjadi potensial, dan seterusnya. Misal kursi merupakan realitas kayu, maka kursi menjadi potensi benda kayu, realitas benda kayu menjadi potensi realitas lain, dan dst. Jadi, untuk mengidentifikasi awal rangkaian entelecheia ini, pada tahun Aristoteles merumuskan konsep causa prima. 

Penyebab awal adalah penyebab awal, yang bukan merupakan penyebab dan dimaksudkan untuk menghilangkan penyebab yang tidak berakhir. Causa prima tidak memerlukan sebab lain untuk menjadi aktual, dan tidak memerlukan potensi lain untuk menjadi aktual, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Causa prima adalah realitas murni yang tidak memerlukan apa pun Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia. 

Aristoteles membagi pengetahuan menjadi 3. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan produktif, yaitu pengetahuan yang dapat menghasilkan perkembangan. Pengetahuan ini dikhususkan untuk teori seni. Kedua, pengetahuan teoretis, yaitu pengetahuan yang orientasinya hanya pada kebenaran konseptual. (Adet Tamula Anugrah, 2021)


Ilmu teori meliputi matematika, teologi dan sains alam. Ketiga, adanya pengetahuan praktis, yaitu pengetahuan yang mempunyai tujuan praktis. Sebagian pengetahuan praktis berasal dari ilmu politik. Logika menurut kritik Aristoteles termasuk dalam kategori pengetahuan.

Tuhan dalam peradaban Yunani dimaknai dengan kata deus yang berarti dewa Zeus. Lalu, dalam perkembangan selanjutnya, penyebutan kata deus diubah menjadi theosyang artinya Tuhan. Pengenalan kata Tuhan ini terus berlanjut hingga muncul filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. 

Aristoteles kemudian mengungkapkan pernyataan atau pendapatnya mengenai pengertian Tuhan itu sendiri. Bagi Aristoteles, Tuhan adalah penggerak pertama dalam kehidupan alam(Sumanto, 2018). Sebuah logika tentang Ketuhanan digunakan dalam hal ini, seperti halnya yang terjadi pada gerakan sebuah benda. Benda yang hanya diam tidak bergerak tidak mungkin bisa bergerak tanpa adanya penggerak disekitarnya. 

Contohnya saja sebuah buku, buku yang diletakkan di atas meja akan diam mematung hingga ada dorongan atau ketidaksesuaian bidang bawah yang bisa mengakibatkan buku jatuh. Maka dalam hal ini, penggerak pertama adalah Tuhan. Jika Tuhan tidak menggerakkan manusia dalam menjalankan aktivitas, maka manusia tidak akan bergerak. 

Logika yang dimainkan oleh Aristoteles adalah sistem berpikir secara deduktif. Deduktif adalah proses berpikir yang diawali dengan hal yang berbau umum, lalu berakhir dengan sebuah fungsi kesimpulan yang bersifat khusus dan juga diisi dengan fakta-fakta. Cara berpikir logika deduktif yang dimiliki Aristoteles telah dianggap sebagai dasar dari tingkatan pembelajaran yang ada pada saat ini. 

Akan tetapi, Aristoteles juga tidak sepenuhnya mengunakan logika deduktif karena ketika melakukan penelitian ilmiah, metode yang digunakannya adalah metide observasi, eksperimen, dan berpikir secara induktif. Tuhan menurut Aristoteles adalah qadim(kekal). Hal ini sesuai dengan pemikirannya yang mengungkapkan bahwa Tuhan adalah penggerak pertama. 

Jika manusia yang digerakkan ini tidak bersumber dari yang kekal, lalu bagaimana kehidupan manusia bisa berlanjut? Tentu semuanya akan diam, semua makhluk diam, bahkan yang paling buruk adalah hilangnya kesadaran manusia tentang keberadaan Tuhan. Manusia akan lupa atau hilang ingatan mengenai keberadaan penciptanya dan tujuannya diturunkan di Bumi. 

Waktu bukanlah gerak, ia akan terus berlanjut hingga pada yang tidak ditentukan. Waktu adalah pengukur gerak yang terdahulu dan yang akan datang. Sebuah keseimbangan dunia yang akan terus bergerak tanpa tahu kapan akan berhenti. Jika makhluk Bumi terhenti, maka waktu akan terus berlanjut sehingga pagi dan malam juga terus menghiasi langit. (Muhammad Mulana Yusron El- Yunuhi, 2023, hal. 44)

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال