Mengenal Air Mutanajjis



Hakikatnya, air tergolong zat yang dipandang urgen bagi kelangsungan hidup manusia, karena Allah SWT telah menjadikan benda ini memiliki manfaat yang sangat banyak sehingga kugunaannya tidak dapat dipisahkan dengan makhluk hidup khususnya manusia, hewan,dan tumbuhan pada umumnya. Salah satu kegunaannya adalah untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats atau menghilangkan najis.

Dalam disiplin ilmu fikih, fuqaha mengklasifikasikan air menjadi empat macam,yakni: air mutlak, air musta’mal, air muqayyad dan air mutanajjis. Sehubungan dengan pembahasan air, oleh ulama mazhab menempatkan uraianya dalam bab taharah (bersuci). Ini sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman al-Jaziri, dalam Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, Jilid ke-1, (Istanbul: Maktabah Haqiqat, 2010), hal. 31.

Sementara itu, dalam mazhab Syafi’i, pembagian air juga empat dengan istilah yang agak berbeda, yakni; pertama, suci menyucikan (tahirun mutahhir) dan tidak makruh menggunakan, itulah yang disebut air mutlak. Kedua, suci menyucikan dan makruh menggunakkannya, yakni air musyammas (air yang terjemur matahari yang wadahnya bukan emas dan perak).

Ketiga, suci tidak menyucikan (tahirun ghayru mutahhir) disebut dengan air musta’mal. Keempat, air najis (ma’un najisun atau mutanajjis) yaitu air yang jatuh atau bersentuh dengan benda najis. Dan air mutanajjis inilah yang akan menjadi fokus penulis.

Air Mutanajjis

Kita tahu, bahwa air mutanajjis adalah bukan air yang dihukumi najis secara zatnya sebagaimana air kencing atau air liur anjing, melainkan air awalnya suci namun telah berubah hukumnya menjadi najis karena tercampur dengan sesuatu yang najis seperti darah, kotoran cicak dan lainnya.

Ketika air tersebut telah mencapai 2 qullah (kurang lebih 270 liter) kemudian terkena najis, maka air itu akan dihukumi mutanajjis tatkala telah berubah salah satu dari sifatnya baik bau, warna ataupun rasa. Namun, jika air itu kurang dari 2 qullah, maka akan tetap dihukumi mutanajjis ketika terkena sesuatu yang najis meskipun salah satu dari sifatnya tidak berubah. Dalam kitab Fathul al-Qorib dikatakan:

وَالْقِسْمُ الرَّاِبعُ (مَاءُ نَجْسٍ) اَيْ الْمُتَنَجِّسِ، وَهُوَ قِسْمَانِ : اَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (هُوَالَّذِي خَلَّتْ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ اَمْ لاَ. (وَهُوَ) اَيْ وَالْحَالُ اَنَّهُ مَاءُ (دُوْنَ الْقُلَتَيْنِ). وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا الْقِسْمِ الْمَيْتَةُ الَّتِيْ لاَدَامَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا اَوْ شَقِ عُضْوٍ مِنْهَا كَالذُّبَابِ اِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ يُغَيِّرْهُ، وَكَذَا النَّجَاسَةُ لاَيُدْرِكُهَا الطَّرْفُ فَكُلُّ مِنْهُمَا لاَيُنَجِّسُ الْمَائِعَ

“Air najis tersebut ada dua bagian: pertama: air kurang dari dua qulah yang terkena najis baik air itu berubah ataupun tidak, terkecuali air tersebut terkena najis yang dimaafkan. Air sedikit tersebut seperti terjatuhi bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya (semisal semut, lalat dan sebagainya). Dan, selama bangkai tersebut tidak disengaja dimasukkan kedalam air itu dan tidak menyebabkan berubahnya air, maka hukum air seperti ini adalah suci. Demikian juga bila najis tersebut tidak dapat dilihat mata dan pula tidak membuat air najis, maka hukumnya tetap suci.”

Syahdan, jumhur Ulama Fiqih mengatakan, bahwa Air yang suci mensucikan yang telah terkena najis atau mutanajis menjelaskan: air suci yang terkena najis, bila air tersebut kurang dari 2 qulah, maka air tersebut hukumnya menjadi najis hal ini baik tetap berlaku baik sifat dari air berubah atau tidak.

Akan tetapi, dari pendapat Imana Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan, mengecualikan bila air itu lebih dari 2 qullah dan tidak merubah ketiga sifatnya maka tetap air tersebut suci.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ : وَهُوَ يُسْأَلُ عَنِ الْمَاءِ يَكُونُ فِي الْفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ وَمَا يَنُوْبُهُ مِنَ السِّبَاعِ وَالدَّوَابِّ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ قَالَ عَبْدَةُ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْقُلَّةُ هِيَ الْجِرَارُ وَالْقُلَّةُ الَّتِي يُسْتَقَى فِيهَا قَالَ أَبُو عِيسَى وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ قَالُوا إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ وَقَالُوا يَكُونُ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ (رَواهُ التِّرْمِذِيُّ)

Artinya: “Dari Ibn Umar Ra ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. ditanya tentang air yang ada di tanah tandus dan air yang berulangkali didatangi binatang buas dan binatang ternak. Kata Ibn Umar ra. Rasulullah Saw. menjawab: “Bila air sebanyak dua qullah, maka tidak membawa najis.” Berkata Abdah: “Muhammad bin Ishaq berkata: “Satu qullah sama dengan satu tempayan, dan (ukuran) yang diambil untuk air minum.” Berkata Abu Isa (Tirmidzi): “Itu pendapat al-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat: “Bila air mencapai dua qullah, maka ia tidak menjadi najis oleh apapun, selama bau atau rasanya tidak berubah. Mereka juga menyatakan: “Satu qullah itu sekira-kira lima girbah air.” (HR Tirmidzi).

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

(رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ)

Artinya: “Dari Abu Umamah al-Bahily RA ia berkata: “Rasululah SAW telah bersabda: “Sesungguhnya air tidak bisa ternajisi oleh apapun, kecuali yang mempengaruhi bau, rasa dan warnanya.” (HR Ibn Majah).

Hukum Menggunakan Air Mutanajjis

Dengan demikian, maka hukum menggunakan air yang mutanajis dapat dikategorikan menjadi dua bagian: pertama, air suci dan mensucikan dalam jumlah sedikit volumenya yang terkena najis, maka hukumnya tidak diperbolehkan untuk membersihkan najis maupun hadats. Hukum ini juga berlaku secara umum, baik sifat-sifat air yang terkena najis berubah atau atau tidak berubah.

Kedua, air suci dan mensucikan dalam jumlah lebih dari dua qullah terkena najis yang tidak berubah salah satu dari ketiga sifat-sifatnya, maka hukumnya adalah tidak najis, sehingga dapat dipergunakan membersihkan najis dan hadats.

Sebagai penutup, sederhananya, air mutanajjis adalah air yang terkena barang najis yang volumenya kurang dari dua qullah atau volumenya mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya (warna, bau, atau rasa) karena terkena najis tersebut. Air sedikit apabila terkena najis, maka secara otomatis air tersebut menjadi mutanajis meskipun tidak ada sifatnya yang berubah.

Sedangkan air banyak bila terkena najis tidak menjadi mutanajjis bila ia tetap pada kemutlakannya, tidak ada sifat yang berubah. Tetapi, bila karena terkena najis ada satu atau lebih sifatnya yang berubah, maka air banyak tersebut menjadi air mutanajis. Jelasnya, air mutanajjis ini tidak bisa digunakan untuk bersuci, karena dzatnya air itu sendiri tidak suci sehingga tidak bisa dipakai untuk menyucikan.

Berbeda halnya dengan sementara air kategori muqayyad. Ulama mazhab menilai apabila berubah karena bercampur dengan benda suci, seperti: kopi, teh dan lainnya, maka status hukumnya adalah suci, akan tapi air itu tidak menyucikan (tahirun ghairu mutahhir). Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال