Keselarasan Filsafat dan Agama dalam Perspektif Islam

Penulis: Indina Ulin*

Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, banyak filsuf-filsuf muslim yang menyumbangkan pemikirannya, baik itu tentang penciptaan alam semesta, keTuhanan, ilmu pengetahuan, bahkan mencoba menyelarasakan antara filsafat dan agama. Dan berikut ini akan membahas tentang pemikiran dua tokoh filsuf Islam tentang keselarasan filsafat dan agama.

Pemikiran Al-Kindi 

Al-Kindi adalah filsuf Islam pertama yang menyelaraskan antara filsafat dan agama. Al-Kindi berperan dalam mengembangkan filsafat sinkretis atau sinkritisme yang memang memiliki keistimewaan karakter. Tujuan Al-Kindi menyelaraskan filsafat dan agama untuk menunjukkan bahwa filsafat dapat memberikan dukungan rasional terhadap keyakinan agama, dan sebaliknya. Dengan pendekatan ini, Al-Kindi berusaha memperkaya pemahaman terhadap kebenaran yang dapat ditemukan, baik melalui akal budi maupun wahyu agama.

Al-Kindi menyelaraskan filsafat dan agama melalui penafsiran rasional. Menurutnya antara filsafat dan agama tidak bertentangan, bahkan saling menunjang. Namun dalam risalah “Jumlah Karya Aristoteles” al-Kindi membedakan secara tajam antara agama dan filsafat. 

Dalam risalahnya tersebut lebih bersifat membandingkan antara agama Islam dengan filsafat Aristoteles, dengan tujuan menegaskan bahwa antara agama dan filsafat meskipun tidak bertentangan namun keduanya tetap berbeda, dan filsafat berada di bawah kedudukan agama. Berikut ini merupakan pendapat-pendapat al-Kindi:

  1. Kedudukan teologi lebih tinggi dari filsafat.
  2. Agama merupakan ilmu ilahiah, sedangkan filsafat ilmu insani.
  3. Agama adalah keimanan, sedangkan jalur filsafat adalah akal.

Menurut al-Kindi “Bila seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang bermutu dan banyak, maka ia tak memiliki pengetahuan yang hakiki dan tak hakiki. Dengan demikian, orang tidak dapat mengharapkannya memiliki sesuatu pengetahuan tantang ilmu insani yang diperoleh orang melalui riset upaya ketekunan dan waktu. Ilmu-ilmu ini berada di bawah ilmu-ilmu ilahiah yang diperoleh tanpa melalui riset, upaya ketekunan dan waktu pengetahuan ini adalah pengetahuan para Nabi, suatu pengetahuan yang dianugerahkan oleh Allah tidak seperti matematika dan logika. Ia diperoleh tanpa mengetahui riset, upaya studi, ketekunan, dan tidak membutuhkan waktu. Ia diperoleh melalui kehendak-Nya, penyucian dan pencerahan jiwa, sehingga mereka berpaling kepada kebenaran.” (Muhammad sholikhin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam (Yogyakarta: Narasi, 2008), 65–67.)

Meskipun al-Kindi telah berupaya untuk menyelaraskan filsafat dan agama serta menjelaskan pula tentang perbedaan diantara keduanaya, tetap saja pemikirannya sering kali menciptakan ketegangan dengan kalangan konservatif di dunia islam. Bahkan beberapa kelompok tertentu tidak mempercayai filsafat dan tokoh filsafat. Bahkan mereka dituduh sebagai pembuat bid’ah.

Pemikiran Al-Farabi

Al-Farabi, seorang filsuf Muslim abad ke-9 dan ke-10, memiliki pemikiran yang menarik tentang hubungan antara filsafat dan agama. Ia mengembangkan konsep tentang "keselarasan antara kedua kebijaksanaan" (harmonization of the two wisdoms), yang merujuk pada harmoni antara filsafat (hikmah falsafiyyah) dan kebijaksanaan agama (hikmah ilahiyyah).

Al-Farabi mengakui keberadaan dua bentuk kebijaksanaan ini dan percaya bahwa keduanya dapat saling melengkapi. Ia menekankan pentingnya filsafat sebagai sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kebenaran dan alam semesta. Namun, Al-Farabi juga menilai agama sebagai sumber pedoman moral dan etika yang penting untuk menjaga tatanan sosial.

Dalam visinya, pemimpin yang ideal adalah seorang filsuf-raja (philosopher-king) yang menggabungkan kebijaksanaan filsafat dengan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai agama. Baginya, filsafat dan agama dapat bersatu dalam pemahaman yang benar, di mana pengetahuan rasional dan spiritual bersatu untuk membentuk kebijaksanaan yang komprehensif.

Pendekatan Al-Farabi terhadap keselarasan filsafat dan agama memperlihatkan upayanya untuk mencapai keseimbangan antara pemikiran rasional dan spiritual, dengan harapan bahwa ini akan membawa masyarakat menuju keadilan dan kebahagiaan.

Pemikiran Ibnu Sina

Ibnu Sina, atau yang dikenal di Barat sebagai Avicenna, adalah seorang filsuf dan ilmuwan Muslim terkemuka dari abad ke-11. Pemikirannya juga mencakup pertimbangan tentang hubungan antara filsafat dan agama.

Ibnu Sina menyuarakan konsep harmoni antara akal (reason) dan wahyu (revelation). Baginya, akal adalah alat yang penting untuk memahami realitas dan kebenaran, sementara wahyu (dalam konteks pemikirannya, Islam) memberikan pedoman moral dan spiritual. Ibnu Sina percaya bahwa akal dan agama, ketika dipahami dengan benar, tidak akan saling bertentangan, tetapi seharusnya saling melengkapi.

Dalam karyanya yang terkenal, "Kitab al-Isharat wa al-Tanbihat" (The Book of Directives and Remarks), Ibnu Sina mengembangkan pemikiran tentang hakikat Tuhan, alam semesta, dan hakikat manusia dengan mencampurkan unsur-unsur rasional dan spiritual. Baginya, akal seharusnya tidak bertentangan dengan wahyu; sebaliknya, keduanya seharusnya membimbing manusia menuju pemahaman yang lebih utuh tentang kebenaran.

Ibnu Sina juga memberikan penekanan pada peran etika dan moralitas dalam agama, yang sejalan dengan konsep filsafatnya tentang akal sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan. Dengan demikian, keselarasan filsafat dan agama menurut Ibnu Sina terletak pada pemahaman yang benar terhadap keduanya, di mana akal dan wahyu bekerja bersama untuk membimbing manusia ke arah kebijaksanaan dan kebenaran.

Pemikiran Ibnu Rusyd 

Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf muslim yang populer pada abad pertengahan. Di era Ibnu Rusyd, filsafat mencapai puncaknya berkat prestasi Ibnu Rusyd yang luar biasa. Ide Ibnu Rusyd untuk menyelaraskan filsafat dan agama tidak muncul begitu saja, akan tetapi terikat dengan sosio-historical sesuai dengan keadaan pada saat itu.

Menurut Ibnu Rusyd titik temu filsafat dan agama merupakan keniscayaan. Ada beberapa asumsi yang mendasari Ibnu Rusyd untuk mengintegrasikan kedua hal tersebut, yakni:

  1. Ad Din Yujibu At-Tafalsuf yakni agama mendorong dan mengendalikan untuk berfilsafat.
  2. Anna Syara Fihi Dhahirun wa Batinun bahwasannya syariat itu terdiri dari dua dimensi, yakni dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir untuk dikonsumsi para fuqoha, sedangkan dimensi batin untuk dikonsumsi para filsuf.
  3. Anna At-Takwil Dharuriyyun Likhairi Asy Syariah aa Al Hikmah au Ad Din wal Fahafah, yang berarti takwil merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan untuk kebaikan syariat dan filsafat.

Ibnu Rusyd menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama. Ia menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan syar’i dan pendekatan rasional. Usaha Ibnu Rusyd untuk menyelaraskan filsafat dan agama adalah keyakinan kuat. Karena upaya terbaik untuk mempertahankan eksistensi filsafat dari para pemimpin Islam yaitu dengan cara menyelaraskan filsafat dan agama.

Jadi secara epsitimologi, Ibnu Rusyd menggunakan metode qiyas dan ta’wil untuk menyelaraskan filsafat dan agama. Filsafat dan agama tidak bertentangan satu sama lain, tetapi saling menguatkan, sebagaimana kebenaran itu sejalan dengan kebenaran-kebenaran lainnya. Dengan kata lain, filsafat adalah teman dekat agama yang saling berhubungan dalam mencari esensi kebenaran. (Dhaoul Ngazizah, Kholid Mawardi, Integrasi Filsafat Dan Agama Dalam Perspektif Ibnu Rusyd, (Purwokwrto: UIN Prof. K.H Saifuddin Zuhri, 2022,) 592–93.)

Kesimpulan

Pemikiran para tokoh filsuf muslim tentang keselarasan filsafat dan agama sangat beragam, namun tetap satu tujuan, yaitu bertujuan untuk mencari kebenaran entah itu melalui pemikiran rasional maupun melalui wahyu Tuhan. 

Penting untuk diingat bahwa setiap filsuf mengembangkan pemikiran berdasarkan konteksnya sendiri, dan ada variasi dalam cara mereka memandang hubungan antara filsafat dan agama. Dan pemahaman tentang keselarasan ini terus berkembang dan mencerminkan keragaman tradisi pemikiran Islam.

*) Mahasiswa di salah satu universitas di kota Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال