Filsafat Perspektif Imam Al Ghazali


Penulis: Fristika Maulida Aminatuz Zuhria

Menurut Kholid Syamhudi (10/05/2008) Al Ghazali Menyusun buku yang berisi kritikan terhadap filsafat, seperti kitab At-Tahafut Al-Falasifah yang membongkar penyimpanan filsafat. Akan tetapi, Al Ghazali juga menyetujui beberapa perjanjian filsafat dalam beberapa hal yang dianggap benar. Namun, kehebatan Al Ghazali itu tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadis-hadis Nabi yang bisa secara efektif benar-benar meruntuhkan filsafat.

Dalam Tahafut al-Falasifah menjelaskan pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam kajian serta ajaran filsafat, baik filsafat pada masa klasik maupun filsafat yang dikembangkan oleh filsuf muslim seperti Ibnu Sina dan Al Farabi. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al Ghazali juga menjelaskan adanya ketidaksesuaian ajaran-ajaran filsafat dengan akal. Bahkan ia juga mengupas beberapa kekeliruan dalam ide-ide para filsuf Yunani, khususnya Aristoteles dan para pengikutnya, seperti Al Farabi dan Ibnu Sina. 

Menurut Sulaiman Dunya, melalui karya Tahafut al-Falaifah. Al Ghazali tetap berhak menyandang predikat sebagai filsuf Islam. Sebab, meskipun isi karyanya banyak menyerang para filsuf dan menjatuhkan wibawa mereka di mata umat Islam, namun cara yang Al Ghazali gunakan dalam mengkritik masih berada dalam lingkup kerja filsafat. Kata Syamhudi, Al Ghazali juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa (kelompok para sufi) dan kitab-kitab Ibnu Sina. Maka dari itu, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa berkata, “Al Ghazali itu dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy-Syifa’, Risalah Ikhwan ash-shafa dan karya Abu Hayan At-Tauhidi.”

Maqashid al-Falasifah, secara garis besar memuat tentang ringkasan ilmu-ilmu filsafat. Namun demikian, di dalamnya juga dibahas tentang ilmu-ilmu mantiq, fisika, dan ilmu alam. Dalam pandangan Sulaiman Dunya, kitab Maqashid al-Falasifah karya Al Ghazali ini menyajikan 3 persoalan pokok dalam filsafat Yunani, yakni logika, metafisika, dan fisika. 

Meskipun membicarakan filsafat, kitab ini disajikan menggunakan bahasa yang sedehana, sehingga Maqashid al-Falasifah terbilang cukup memudahkan para pemula dalam mempelajari filsafat Yunani. Kelebihan lain kitab ini ialah disajikan dengan susunan yang sistematis dan bahasanya mudah dipahami.

Kentalnya unsur-unsur filsafat dalam pemikiran Al Ghazali itu kata Ibnu Taimiyah, bukan hanya terdapat dalam buku-bukunya yang memang jelas berisi filsafat seperti Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah, melainkan di dalam kitabnya yang berisi tasawuf yaitu Ihya’ Ulumuddin. Ibnu Taimiyah menyebut, “perkataannya di Ihya’ Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadis-hadis palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54) 

Pendapat Ibnu Taimiyah seperti itu karena dia merasa tersinggung, memang kelompok-kelompok Wahhabi sangat anti dengan filsafat dan anti terhadap karya Al Ghazali, termasuk Ihya’ Ulumuddin. Konon pemerintah Arab Saudi, pernah melarang filsafat untuk diajarkan di kampus-kampus yang ada di negeri itu. Padahal pemikiran filsafat Al Ghazali dalam dunia filsafat sendiri masih sangat moderat.

Al Ghazali menyatakan bahwa memaksa akal untuk membahas tema-tema yang dibawa para filsuf adalah sebuah tindakan yang memberatkan dan tidak mampu dilaksanakan oleh akal itu sendiri. Dia menegaskan bahwa cara akal dalam memahami teori matematika berbeda dengan cara akal dalam memahami keTuhanan. 

Menurut Al Ghazali para filsuf masih tidak mempunyai standar acuan yang pasti sebagaimana yang dimiliki oleh para ahli ilmu hitung. Mereka juga tidak mempunyai alat bukti yang bisa mengantarkan mereka pada keyakinan dalam masalah-masalah keTuhanan agar bisa menandingi keyakinan akan keshahihan konsep matematika. 

Pengakuan mereka adalah bahwa kaum rasionalis yang bisa memahami segala sesuatu dengan akal, termasuk masalah keTuhanan, dan bahwa pengetahuan mereka bersifat yaqini adalah pengakuan yang tak berdasar. Melihat kenyataan ini, Al Ghazali membantah bahwa filsafat adalah alat untuk mencapai keyakinan dalam memahami pengetahuan tentang Tuhan.

Al Ghazali menjadikan pandangan pakar dan pendukung filsafat (bukan pandangan orang yang menolak filsafat) sebagai referensi kajiannya ini. Al Ghazali pernah merasa putus asa dalam mengkaji filsafat, tetapi dia tidak terburu-buru mengeluarkan pendapat tentang filsafat. Ia tidak mudah menyebut filsafat sebagai kajian sesat. Tetapi sebaliknya, ia menganalisa dan mengklasifikasi filsafat serta mengelompokkan para filsuf serta jasa sekaligus kesalahan yang mereka lakukan. Mengelompokkan pandangan-pandangan filsuf yang berkaitan atau tidak berkaitan dengan agama dalam rangka layak tidaknya untuk dikaji.         

Penerimaan Al Ghazali terhadap tasawuf juga tidak menunjukkan bahwa ia menafikan peranan akal. Bahkan ia menggunakan akalnya dalam meneliti perilaku tasawuf. Ia mempelajari tasawuf, dan setelah mengetahui kebenarannya, baru ia laksanakan ajarannya. Al Ghazali menentang sebagian sufi yang merendahkan kedudukan akal. Ia mengatakan, “Sebagian orang yang merendahkan akal dan sesuatu yang masuk akal, karena sebagian orang ada yang menggunakan akal dan sesuatu yang masuk akal untuk bedebat dimana ini adalah karakter ilmu kalam.” 

Tidak hanya sampai di sini, Al Ghazali bahkan menempatkan akal sebagai alat untuk menilai kebenaran pengalaman para sufi. Menurut-Nya, pengalaman sufi tidak boleh bertentangan dengan logika akal jika pengalaman itu ingin dilihat sebagai sebuah kebenaran. 

Dengan demikian, Al Ghazali adalah orang yang sangat menghargai peranan akal. Sosok Al Ghazali selamanya tidak pernah berubah menjadi sosok manusia yang memusuhi akal. Bahkan ia memahami tasawuf secara rasional. Oleh karena itu, salah jika orang mengatakan bahwa Al Ghazali adalah sosok sufi yang mengingkari peranan akal.

Kelebihan Filsafat Menurut Al Ghazali:

1. Pemahaman Mendalam: Al Ghazali mengakui bahwa filsafat bisa membantu seseorang memahami konsep-konsep yang kompleks dan mendalam. Ia melihat nilai dalam penggunaan akal untuk menjelaskan aspek-aspek tertentu dari realitas.

2. Penggunaan Bijaksana: Al Ghazali memandang filsafat sebagai alat yang bisa digunakan dengan bijaksana untuk mendukung dan memperdalam pemahaman ajaran agama. Dalam konteks ini, filsafat dapat berperan sebagai alat bantu dalam merumuskan argumen keagamaan.

3. Diskusi dan Dialog: Filsafat dapat membuka pintu untuk diskusi dan dialog antara berbagai pemikiran dan keyakinan, termasuk antara Islam dan tradisi-tradisi pemikiran lainnya. Ini bisa memunculkan pemahaman lintas budaya.

Kekurangan Filsafat Menurut Al Ghazali:

1. Keterbatasan Akal Manusia: Al Ghazali berpendapat bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami realitas metafisik dan hakikat Ilahi. Ini dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan akal untuk mencapai pemahaman tentang Tuhan.

2. Kurangnya Rasa Iman: Al Ghazali khawatir bahwa terlalu banyak ketergantungan pada filsafat dapat mengurangi rasa iman dan ketaatan kepada agama. Ia berpandangan bahwa orang bisa tergoda untuk menggantikan keyakinan agama dengan pemikiran rasional semata.

3. Kritik terhadap Konsep Kausalitas: Al Ghazali menolak pandangan kausalitas dalam pemikiran Aristotelian, yang dianggapnya bertentangan dengan keyakinan tentang kekuasaan mutlak Allah. Ini bisa dianggap sebagai kekurangan dalam pandangan ilmiah.

4. Keterbatasan dalam Menjelaskan Metafisika: Al Ghazali berpendapat bahwa filsafat tidak mampu sepenuhnya menjelaskan realitas metafisik dan aspek-aspek keagamaan yang lebih mendalam. Ia melihat bahwa pemahaman tersebut lebih baik dicapai melalui pengalaman mistik dan wahyu.

Penting untuk diingat bahwa pandangan Al Ghazali tentang filsafat adalah subjektif dan tercermin dalam konteks Islam dan keyakinan pribadinya. Beberapa ulama Islam dan pemikir lain mungkin memiliki pendapat yang berbeda tentang hubungan antara filsafat dan agama.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال