Toleransi dalam Kehidupan Masyarakat Jawa



Penulis: Satrio Dwi Haryono*

Orang Jawa merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami wilayah Jawa di Indonesia. Masyarakat Jawa memiliki warisan budaya dan tradisi yang kaya, termasuk nilai-nilai toleransi yang kuat. Toleransi merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. 

Mengacu pada gagasan Suseno (1984), Darmanto (1997), dan Mulder (1996) melalui karya-karya mereka yang menunjukkan bahwa masyarakat etnik Jawa secara umum memandang bahwa dunia dapat dikatakan baik ketika keadaan tidak kacau dan tidak saling berselisih antara satu dengan lainnya: hal tersebut dapat sebagai tujuan yang sama dalam konsep toleransi.

Budaya Toleransi dalam Warisan Orang Jawa

Toleransi telah menjadi bagian integral dalam budaya orang Jawa selama berabad-abad. Akar budaya toleransi ini berasal dari berbagai sumber, termasuk ajaran agama, kearifan lokal, dan tradisi leluhur. Agama Islam, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan animisme turut mempengaruhi pemahaman tentang toleransi di kalangan masyarakat Jawa. Salah satu konsep yang sering muncul adalah ajaran Javanese Islam atau Islam Jawa, yang menempatkan penekanan pada nilai-nilai kedamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap sesama.

Toleransi dalam masyarakat Jawa juga tercermin dalam adat istiadat dan tradisi-tradisi sosial. Misalnya, upacara adat dalam berbagai peristiwa, seperti pernikahan dan kematian, seringkali melibatkan partisipasi dari berbagai latar belakang agama dan etnis. Ini menunjukkan kemampuan masyarakat Jawa untuk mengintegrasikan perbedaan dan menciptakan ruang bagi setiap kelompok untuk menghormati dan menghargai identitas masing-masing.

Gotong Royong dan Solidaritas dalam Toleransi

Salah satu kunci keberhasilan toleransi dalam masyarakat Jawa adalah filosofi gotong royong. Gotong royong adalah konsep kolaborasi dan kerja sama, di mana semua anggota masyarakat saling membantu dan mendukung dalam kehidupan sehari-hari. Sikap gotong royong menciptakan ikatan sosial yang kuat antara individu dan kelompok, dan mendorong terciptanya hubungan saling percaya dan menghormati.

Dalam gotong royong, tidak hanya terdapat toleransi terhadap perbedaan keyakinan agama, tetapi juga terhadap perbedaan status sosial dan ekonomi. Semua orang dihargai atas sumbangan dan peran mereka dalam masyarakat, sehingga tidak ada ruang untuk diskriminasi atau penindasan. Konsep gotong royong ini membangun landasan yang solid untuk toleransi dan harmoni dalam masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal yang turut berperan dalam mempertahankan harmoni sosial dan toleransi. Salah satu konsep kearifan ini adalah "adil luhung" yang mengandung makna keadilan tinggi. Prinsip adil luhung ini menekankan pentingnya berbuat baik, menghormati, dan membantu sesama, serta menjaga keselarasan dan keseimbangan dalam hubungan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa sering menggunakan ungkapan seperti "sapa asih, sapa ora asih" yang berarti "siapa yang memberi cinta, dialah yang tidak kehilangan cinta". Ungkapan ini menunjukkan bahwa dengan memberikan cinta dan kasih sayang kepada sesama, kita juga akan mendapatkan cinta dan kasih sayang yang sama.

Budaya seni, seperti wayang kulit, tari Jawa, dan musik gamelan, juga berperan dalam meningkatkan toleransi dalam masyarakat Jawa. Seni tradisional ini sering memainkan cerita-cerita tentang kebajikan, moralitas, dan konflik manusia. Melalui kisah-kisah ini, masyarakat Jawa belajar untuk menghargai dan memahami berbagai karakter dan nilai-nilai yang berbeda.

Budaya seni juga menjadi platform di mana masyarakat dari beragam latar belakang dapat berinteraksi dan berbagi pengalaman, menguatkan hubungan sosial dan memperkuat rasa persatuan di antara mereka. Selain itu, seni juga bisa menjadi cara untuk menyampaikan pesan toleransi dan perdamaian, mendorong orang untuk hidup berdampingan dengan penuh rasa saling pengertian dan penghargaan.

Meskipun toleransi telah menjadi ciri khas masyarakat Jawa, tantangan-tantangan modern menghadang untuk mempertahankan nilai-nilai ini. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial dapat mengancam harmoni sosial dan mengikis nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, pendidikan dan kesadaran akan pentingnya toleransi menjadi kunci untuk menjaga warisan budaya yang berharga ini.

Harapan di masa depan adalah agar masyarakat Jawa tetap berpegang teguh pada nilai-nilai toleransi dan gotong royong sebagai landasan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis. Dengan mempertahankan akar budaya dan tradisi yang kaya, serta melibatkan generasi muda dalam proses pewarisan nilai-nilai toleransi ini, masyarakat Jawa dapat terus menjadi contoh bagi dunia tentang pentingnya hidup bersama dengan rasa saling menghormati dan saling mencintai.

*) Santri Pondok Ngeboran, Boyolali

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال