Imam Ja'far Ash-Shadiq Dalam Pandangan Murthada Muthahari dari Iran

Murthada Muthahari lahir di Fariman, Khurasan tanggal 02 Februari 1919 dan wafat di Teheran 20 Mei 1979. Ia merupakan seorang ulama dan filsuf terkemuka Islam kontemporer berkebangsaan Iran yang mampu memadukan dua sisi pemikiran Islam yang sering dianggap saling bertentangan yaitu tradisionalisme dan rasionalisme dalam kemasan yang baik. 

Syahid Murthada Muthahari mencerminkan sosok ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama. Kekuataan analisisnya dan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai bidang ilmu agama dan filsafat Islam dan Barat membuat kajian-kajiannya menghadapi persoalan yang dihadapi kaum Muslimin dalam abad modren sangat mengikat semua lapisan masyarakat.

Imam Ja'far Ash-Shadiq Ulama Pemimpin Para Imam

Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib dilahirkan pada bulan Rabiul Awal tahun 83 Hijriah, pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Bani Umayyah dan wafat pada bulan Syawal atau bulan Rajab tahun 148 Hijriah pada masa kekhalifahan Abu Manshur dari Bani Abbas. Ia dimakamkan di perkuburan Baqi, Madinah dan berdekatan dengan makam Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib.


Dia lahir pada masa kekuasaan seorang Khalifah yang sering menumpahkan darah dari Bani Umayyah dan wafat pada masa kekuasaan seorang Khalifah yang kuat, lihai dan sering menumpahkan darah dari Bani Abbasiyah. Nasab Imam Ja’far Ash-Shadiq bersambung kepada Abu Bakar Ash-Sidiq. Ibunya keturunan Abu Bakar Ash-Siddiq.

Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq adalah sykeh para Imam. Ia berhasil menyebarluaskan hakikat-hakikat Islam sehingga setiap Ulama bermazhab Syiah dan Suni serta mazhab lainnya sering menyebut nama Imam Ja’far Ash-Shadiq dalam kitab mereka. Ada empat ribu orang yang pernah berguru kepadanya. Imam Muhammad bin Abdul Karim Asy-Syahrastani dalam kitabnya “Al-Milal Wa An-Nihal” berkata tentang Imam Ja’far Ash-Shadiq : “Dia adalah seseorang yang mempunyai ilmu yang banyak dan adab yang sempurna di dalam hikmah dan dia seorang yang mempunyai kezuhudan dan ketakawaan sempurna”.

Imam Ja’far Ash-Shadiq tidak menaruh perhatian pada kekuasaan karena ia berpedoman bahwa “Barangsiapa yang telah menyelam di kedalaman lautan pengetahuan maka dia tidak akan mau lagi naik ke atas daratan dan barangsiapa yang telah menyelam ke dalam lautan pengetahuan maka dia tidak akan mau lagi naik ke atas daratan dan barangsiapa yang telah mencapai puncak hakikat yang tertinggi maka dia tidak akan sedih dikarenakan hal-hal yang rendah”.

Filsafat Zuhud Imam Ja’far Ash-Shadiq

Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah Ulama yang terkenal zuhud pada zamannya tetapi hidup zuhud Imam Ja’far berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya. Ia tidak menjauhi makanan yang lezat, hidup makmur, pakaian yang bagus dan mewah, mempunyai rumah besar dan mewah, dan kendaraan yang terbaik. Padahal Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan Imam Ali bin Abu Thalib sangat sederhana. Hal ini membuat Ulama besar Imam Sufyan Ats-Tsauri pergi menemui Imam Ja’far dan protes akan kehidupannya.Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata : “ Wahai putra Rasulullah, tidaklah patut anda mengotori hidup anda dengan dunia”.

Imam Ja’far menjawab:“Mungkin sangkaan Anda ini dikarenakan kehidupan Rasulullah dan sahabatnya. Anda mengira bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi yang lain dari Allah dan kaum Muslimin harus menjaga kehidupan seperti ini dan harus hidup seperti itu hingga hari Qiamat. Akan tetapi ketauhilah, sesungguhnya tidak demikan. Rasulullah hidup pada masa kemiskinan tersebar  luas  dan masyarakat umum tidak memiliki kebutuhan dasar kehidupan. Jika suatu zaman kebutuhan itu telah tersedia maka tidak ada alasan lagi untuk hidup dengan cara demikian. Bahkan masyarakat yang berhak untuk memanfatkan anugerah Allah adalah kaum Muslimin dan bukan orang lain”.

Imam Ja’far Ash-Shadiq karena tuntutan zaman, dia melapangkan kehidupan bagi kelurganya. Pada saat muslim paceklik, Imam Ja’far memerintahkan kepada para pembantunya untuk memberikan roti gandum persediaan mereka selama empat bulan untuk masyarakat. Ia berkata :“Saya mampu memberikan roti gandum kepada anak-anak saya pada masa yang sulit ini namun saya ingin Allah melihat saya bersikap senasib sepenangguhan dengan masyarakat”.

Sikap zuhud merupakan sikap yang mengajarkan pada manusia agar tidak menempatkan dunia di atas segala-galanya, yang mengajarkan manusia untuk tidak menjual agamanya dengan dunia, harta dan kedudukan. Sikap zuhud mengajarkan manusia untuk melihat materi sebagai alat bukan sebagai tujuaan. Adapun seluruh perkara yang berhubungan dengan keluasan dan kesempitan sarana kehidupan bukanlah perkara yang tetap dan tidak mungkin berubah. Bisa saja pada suatu zaman menuntut demikian dan pada zaman lain menuntut sebaliknya.

Bangkit dan Diam

Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib bangkit melawan penguasa yang zalim dan beliau gugur syahid karenanya. Akan tetapi Imam Ja’far hanya diam tidak mau bangkit bergerak. Ia lebih memilih menyibukan dengan ilmu pengetahuan dan mendidik ummat Islam. Pada masa Imam Ja’far Ash-Shadiq terjadi pergantian kekuasaan dari Bani Ummayah ke Bani Abbasiyah. Saat kekuasaan Bani Umayyah hampir runtuh, terdapat dua kelompok yaitu Bani Abbas dan Bani Ali. Bani Ali terbagi atas dua bagian yaitu keturunan Imam Hasan dan keturunan Imam Husain.

Mayoritas keturunan Imam Husain yang dipimpin Imam Ja’far menolak gerakan propaganda politik dan tidak mau bekerjasama dengan Bani Abbas karena yang menjadi tujuaan mereka hanyalah dunia dan kekuasaan kekhalifahan. Penolakan Imam Ja’far bukan hanya dikarenakan dia mengetahui Bani Abbas suatu saat akan membunuhnya. Ia menyadari bahwa kesyahidannya tidak akan memberikan pengaruh lebih baik kepada umat Islam, berbeda dengan Imam Husain yang kesyahidannya memberikan pengaruh pada umat Islam.

Semua pekerjaan baik jihad, amar ma’ruf nahi mungkar maupun sikap diam harus mempertimbangkan pengaruh dan hasilnya pada umat. Kesalahan dalam mengambil sikap akan mendatangkan bahaya bagi umat Islam. Tuntutan zaman pada masa Imam Ja’far dengan masa Imam Husain sangat berbeda jauh.  Pada pertengahan abad pertama, bagi orang yang hendak berkhidmat pada Islam, di dalam negara Islam tidak lebih dari medan perlawanan untuk menentang kekuasaan kekahalifahan yang telah menyimpang dari kebenaran.

Akan tetapi setelah itu setahap demi setahap, timbulah berbagai macam aliran dan pemikiran dan kebudayaan yang besar dikalangan kaum muslimin. Muncul berbagai macam mazhab bidang Ushuluddin dan Furu’uddin. Kaum Muslimin mengarahkan perhatian mereka kepada medan keilmuan dan kebudayaan. Oleh karena itu yang diperlukan seorang Ulama seperti Imam Ja’far adalah memimpin gerakan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam serta menjawab permasalahan yang timbul.

Dalam sejarah kehidupan Imam Ja’far muncul tokoh-tokoh atheis seperti Ibnu Abil Ajwa, Abu Syakir ad-Daishani dan Ibnul Muqqafa’ dimana mereka berdebat habis-habisan dengan Imam Ja’far. Hasil dari dialog itu adalah Kitab Tauhid Al-Mufadhdhal yang ditulis Imam Ja’far. Kemudian, Imam Ja’far juga berhadapan dengan Mu’tazilah seperti Washil bin Atha’ dan Amar bin Ubaid, Imam Ja’far sering berdialog dengan mereka menyangkut masalah teologi dan sosial.

Tidak hanya itu, Imam Ja’far juga berdialog dan menjarkan Fiqih kepada Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Imam Malik sering belajar kepada Imam Ja’far. Imam Malik berkata : “ Ketika saya sampai dihadapannya, dia begitu menghormati saya. Saya sangat senang dan bersyukur kepada Allah karena dia menyukai saya”.

Imam Malik berkata : “ Imam Ja’far Ashadiq adalah pemimpin ahli ibadah, penghulu orang-orang zuhud dan orang yang sangat takut kepada Allah. Dia mengetahui sangat banyak hadis Nabi. Belum pernah mata melihat, telinga mendengar dan terlintas dalam hati manusia ada seorang yang lebih utama (zamannya) daripada Ja’far bin Muhammmad”.Imam Abu Hanifah berkata : “ Aku belum pernah melihat ada seorang yang lebih fakih dari Ja’far bin Muhammad”. 

Zaman Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah sebuah zaman di mana terjadi peperangan di dalam bidang pemikiran, pendapat dan keyakinan. Keadaan pada saat itu menuntut Imam Ja’far Ash-Shadiq masuk di dalam medan peperangan ini. Imam Husain mengetahui bahwa kesyahidannya akan memberikan pengaruh besar bagi umat Islam. Adapun Imam Ja’far melihat bahwa kesempatan yang cocok adalah membrikan ajaran dan mendirikan pusat ilmu pengetahuan.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال