Prinsip Syariat Islam Dalam Mengusung Nilai-nilai HAM


Penulis: Muhammad Ihza Fazrian*

HAM adalah segala hal yang berkaitan, mendasar, dan melekat pada diri manusia sejak ia lahir. Hak tersebut bersifat kodrati dan merupakan anugerah dari Tuhan dan berlaku untuk seluruh manusia. Memiliki esensi yang bertujuan agar menjaga martabat manusia dari segala yang dapat merusaknya.[¹] 

Dalam menjaga esensi HAM, seluruh manusia siapapun harus mengambil andil dan turut berperan.[²] Ini semua mencakup individu sampai struktur masyarakat yang ada.[³] 

Pertanyaannya, mengapa HAM harus dilindungi? Tentunya ini tidak terlepas dari adanya kejadian-kejadian yang merusak HAM itu sendiri.

Adanya praktik perbudakan manusia misalnya, merupakan sebuah contoh perlunya perjuangan atas HAM diberlakukan. Perlu diketahui berlangsungnya praktik tersebut tidak hanya sebatas dahulu, melainkan di zaman yang maju ini seakan perbudakan telah mengakar dan selalu ada. Misalnya, kasus jual beli manusia atau human trafficking.

Agama merupakan suatu hal yang memiliki pengaruh besar dalam melindungi HAM. Indikasi terletak pada pengertian HAM sendiri. Yaitu sebuah hak yang bersifat kodrati dan mendasar yang diberikan oleh Tuhan seperti yang telah dijelaskan di atas. 

Tentunya berangkatnya gagasan yang menjadi pengertian secara umum mengenai HAM juga tidak terlepas dari inspirasi yang bersifat ilahiah atau transenden. Yakni adanya peran Tuhan yang menganugerahi.

Menjuruk pada ajaran agama Abrahamik seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam. Secara mendasar, Nabi Ibrahim berposisi sebagai inisiator dari terbentuknya tiga sekte besar agama tersebut. 

Dalam kiprahnya, ia mengarahkan manusia pada zaman itu untuk tidak menyembah berhala-berhala seperti yang dilaksakan oleh Namrud dan rakyatnya. 

Dalam hal ini sepintas Nabi Ibrahim hanya membentuk sebuah pondai monoteistik atau agama tauhid saja. Namun hal tersebut sebenarnya juga merupakan bentuk perjuangan agar membebaskan manusia yang diberi akal agar dapat mengintrepetasikan Tuhan dengan baik. 

Begitu juga setelahnya, Yahudi oleh Nabi Musa yang memiliki Taurat sebagai kitab sucinya dan Nasrani oleh Nabi Isa yang syariat yang dibawanya juga menjalankan hal yang sama, namun lebih spesifik lagi yaitu mengusung nilai-nilai sosial yang berkaitan dengan kemasyarakatan.[⁴]

Sebagai agama Abrahamik yang terakhir hadir, Islam pun melestarikan, mewarnai, dan menambahkan syariat baru. Terlebih syariat tersebut ternyata mengandung nilai-nilai kemanusiaan. yang universal.[⁵] 

Patut diperhatikan bahwa Nabi Muhammad diutus dalam melaksanakan misi kemanusiaan terlihat jelas. Dari caranya dalam bergaul dengan masyarakat sebelum diutus menjadi Rasul seperti menjadi sosok al-Amin yang artinya “dapat dipercaya”.

Muhammad muda memiliki kejujuran dan integritas yang tinggi, seperti ketika ia menemani pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam. Padahal kejujuran merupakan etika yang sangat minim di Arab. Hal ini karena banyak kepentingan yang merusak seperti kecurangan dalam berdagang hingga konflik etnis yang berlarut-larut. 

Bahkan ketika Muhammad menginjak usia dewasa, ia menyatukan suku-suku yang pada saat itu merasa paling berhak dalam meletakan Hajar Aswad. Muhammad mengambil kain lalu meletakan Hajar Aswad di atasnya kemudian mengajak masing-masing dari pimpinan suku untuk mengangkat kain tersebut secara bersamaan.[⁶] 

Inilah bukti bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, ia sudah berperan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan maslahat kemanusiaan.

Dalam Islam, hal yang menjadi dasar dalam pembentukan syariat adalah kemaslahatan manusia. Yakni menciptakan stabilitas yang kondusif pada sebuah tatanan masyarakat seperti yang tercantum dalam hadis Nabi Muhammad bahwa visi Islam adalah mewujudkan rahmatan lil alamin. 

Dapat dilihat Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah yang pada saat itu masih bernama Yastrib. Dirubahnya nama Yastrib menjadi Madinah bukan karena hal sepele. Namun adanya mistaq al-madinah atau yang lebih dikenal dengan “Piagam Madinah”.

Dalam piagam tersebut Nabi Muhammad menyatukan berbagai agama, ras, dan suku yang ada untuk bersatu dalam melindungi kota Madinah. Semata-mata untuk menciptakan stabilitas yang aman dan kondusif.[⁷]  

Juga hal lainnya seperti memberantas perbudakan dan mengangkat martabat perempuan. Syariat yang dibawakan oleh Nabi Muhammad sangat mengangkat martabat kemanusiaan. 

Seperti wajibnya menghormati ibu yang artinya perempuan dalam Islam memiliki posisi yang tinggi, lalu dalam riwayat pula banyak dari ras kulit hitam yang secara umum diberlakukan sebagai budak oleh masyarakat Arab, mereka dibebaskan oleh Nabi Muhammad.

Namun pada era kontemporer, syariat Islam cenderung mengalami stagnansi. Terlihat dari beberapa hukum yang berlaku. Seperti adanya literatur fiqih dalam hukum Islam yang membahas tentang perbudakan masih dipelihara hingga sekarang. 

Padahal hukum memiliki konteks tertentu yang harus berkembang sesuai dengan zaman dan tempatnya. Meskipun praktek perbudakan era kontemporer tidak persis dengan yang ada di zaman Nabi Muhammad, namun hal ini menggambarkan bahwa hukum Islam masih berkecipung dalam permasalahan perbudakan yang mengganggu prinsip kemanusiaan.

Begitu juga mengenai kesetaraan gender, adanya berbagai literatur yang berlaku pada zaman ini seperti poligami harus dipahami secara jujur dan komprehensif. Sebab, poligami memanglah tercantum dalam teks formal agama Islam. 

Namun pemahaman yang mendalam atasnya lah yang perlu diperbaharui. Banyaknya nasib perempuan yang tertindas oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan syariat, namun berperilaku curang dengan memanfaatkan dalil-dalil poligami. Sehingga terjadilah penindasan terhadap kaum perempuan.

Studi paradigma seperti perbudakan dan gender ini sebenarnya merujuk dari syariat Islam itu sendiri. Yakni kemaslahatan atas manusia. 

Di era kontemporer ini, adanya praktik perbudakan yang banyak dilakukan secara transparan dan kasus merendahkan martabat perempuan seperti poligami yang tidak dilaksanakan dengan pemahaman yang komprehensif, menjadi bukti bahwa misi Islam terhadap kemanusiaan harus terus digaungkan. Sebab, hal tersebut terkandung dalam visi besar Islam, yakni rahmatan lil alamin.[⁸]

Daftar Pustaka

  1. Abdurrahman Kasdi. “Maqashid Syari’ah dan Hak Asasi Manusia (Implementasi Ham Dalam Pemikiran Islam).” Jurnal Penelitian 8, no. 2 (t.t.): 2014.
  2. al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fajr al-Islami, t.t.
  3. Dr. H. Syamruddin Nasution. M.Ag. Sejarah Peradaban Islam. Pekanbaru - Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2013.
  4. Ghazali, Abd Moqsith. Argumen pluralisme agama: membangun toleransi berbasis al-Qur’an. Cet. 1. Depok: Kata Kita, 2009.
  5. Triwahyuningsih, Susani. “PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA.” Legal Standing : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 2 (23 Oktober 2018): 113. https://doi.org/10.24269/ls.v2i2.1242.

*) Mahasiswa program studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat diskusi dalam forum Balai Sunyi. Minatnya berkutat di seputar isu-isu keislaman, filsafat, dan tasawwuf. 

[¹] Triwahyuningsih, “PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA,” 113.

[²] Abdurrahman Kasdi, “Maqashid Syari’ah dan Hak Asasi Manusia (Implementasi Ham Dalam Pemikiran Islam),” 258.

[³] Abdurrahman Kasdi, “Maqashid Syari’ah dan Hak Asasi Manusia (Implementasi Ham Dalam Pemikiran Islam),” 258.

[⁴] Ghazali, Argumen pluralisme agama, 134–49.

[⁵] Ghazali, 265–300.

[⁶] Dr. H. Syamruddin Nasution. M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, 30–33.

[⁷] Dr. H. Syamruddin Nasution. M.Ag, 44–45.

[⁸] Al-Qur’an al-Karim, al-anbiya :107.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال