Kesatuan Manusia dan Tuhan: Konsep "Manunggaling Kawula Gusti" dalam Kejawen


Penulis: Muhammad Afrizal*Mhammad Afrizal

Pengertian

Mungkin ada yang tidak asing dengan kata-kata manunggaling kawula gusti. Kata kata ini mungkin pernah kita dengar melalui kisah Syekh Siti Jenar ataupun dari kisah kisah jawa lain-nya. istilah manunggaling kawula gusti dalam khasanah jawa merupakan kesatuan lahir batin antara makhluk dan tuhan. Konsep ini dalam Kejawen merupkan puncak daripada ajaran jawa. Tetapi pemahaman akan konsep “manungaling kawula gusti” sering kali disalah artikan. Dalam kejawen manunggal kawulo lan gusti memiliki dua arti yakni manunggal kawulo gusti antara raja dengan rakyatnya dan tuhan dengan manusia sebagai makhluknya. Seperti yang kita ketahui terdapat kontradiksi antara paham kejawen yang diwakili oleh orang jawa sebagai penganut manunggaling kawulo gusti dengan orang–orang Islam yang memegang teguh syari’at.

Pada dasarnya ajaran manunggaling kawulo gusti merupakan pengalih daripada ajaran wahdatul wujud. wahdatul wujud adalah pemahaman yang tidak mengakui adanya perbedaan antara Tuhan dengan makhluk. Manunggaling kawulo gusti dalam islam sendiri juga dikenal konsep Tasawuf. Tasawuf adalah perwujudan dari ihsan dalam syariat Islam. Tasawuf adalah ilmu yang berfokus pada membangun diri untuk menjauhi hal duniawi. Tasawuf atau yang juga dikenal dengan sufisme adalah ajaran bagaimana menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian abadi. 

Masyarakat kejawen beranggapan bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak tetapi keberadaan-Nya merupakan sesuatu yang mutlak sebagai pencipta alam seisinya. Karena itu mereka mengatakan Tuhan itu “tan kino kinayangan”, tidak bisa disimbolkan ataupun di bayangkan wujud-Nya. Meskipun begitu bagi mereka yang mampu untuk melepaskan diri dari keduniaan dan melakukan ritual-ritual akan mengalami sebuah puncak pengalaman religius yang oleh masyarakat Jawa.

Hadis Terkait 

Dari Umar bin Khattab ra., katanya : Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda :”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. (H.R. Al-Bukhari). 

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadis ini bersifat implisit, yakni menyampaikan informasi yang tidak mempunyai bentuk, tetapi merupakan bagian dari keseluruhan komunikasi yang dimaksud oleh yang meriwayatkan yakni Imam Bukhari 

Syarah Hadis

Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. 

Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah (dekat dengan Allah) dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.

Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara. 

Isu dan Konstekstualisasi Seperti yang kita ketahui terdapat kontradiksi antara paham kejawen yang diwakili oleh orang jawa dengan orang–orang Islam yang memegang teguh syari’at. Tak berbeda jauh dengan kontradiksi syari’at dan tasawuf. karena dipandangan orang yang memegang teguh syari’at menyangkal bahwa ajaran tasawuf itu tidak sesuai dengan syari’at. Dan dari sisi orang tasawuf sendiri juga mengemukakan bahwa tasawuf tidak melenceng dari Al-qur’an dan Hadist, dan ada dalilnya tersendiri. Tasawuf itu sendiri lebih tepat disebut sebagai aspek atau dimensi mistik dalam Islam. Sosok seorang sufi (tarekat) atau praktik tasawuf dapat ditemukandalam Sunni, Syiah, dan kelompok Islam lainnya sebagai satu entitas dalam mencari kebenaran hakiki.

Dalam kisah syekh siti jenar, beliau merupakan seorang syekh yang di dihukum mati oleh walisongo karena menyebarkan konsep wahdatul haq (manunggaling kawula gusti) kepada masyarakat yang waktu itu masih tergolong awam. Melalui kisah itu dari syekh siti jenar tidak dapat di anggap menyimpang dari ajaran islam. Ada yang beranggapan bahwa syekh siti jenar menganut pemahaman tasawuf falsafi, sehingga memungkinkan bahwa syekh siti jenar itu tidak salah karena dia menjadi wali madjzub. Begitu pula dengan kisah dari Syekh Abu Yazid (Subhanii), Al Hallaj(Ana Al-Haq). Jadi keberadaan tasawuf juga bukan merupakan ajaran yang salah. Namun apabila ajaran ini di sebarkan kepada orang awam maka ditakutkan akan menjadi penyelewengan terhadap tuhan. Maka dari itu walisongo mengambil jalan untuk menghukum mati syekh siti jenar.

Solusi

Kita sebagai umat muslim perlu membuka mata kita terhadap perbedaan perbedaan yang berlaku. Entah itu dalam keyakinan islam dengan kejawen, islam dengan non-islam, ataupun perbedaan paham sesama islam. Karena itu semua merupakan anugrah yang telah allah berikan kepada kita. Kita tidak bisa menolak bahwa kita hidup di kota a, kita tidak bisa menolak pemberian allah terhadap pola pikir kita, dan bahkan kita tidak bisa menolak bahwa rafatar dilahirkan dengan keadaan serba ada. karena itu semua sudah di takdirkan oleh tuhan. Kita hidup di dunia ini tak lain dan tak bukan hanya unuk menjadi abdi gusti allah. Dalam ajaran tasawuf juga banyak yang tidak lepas dalam syari’at. Salah satunya adalah thoriqot thoriqot yang merupakan perluasan dari pemahaman tasawuf amali. Bahkan dalam ajaran thoriqot menjelaskan bahwa tujuan kita bertaswuf adalah untuk menyempurnakan dari syari’at. Dalam konsep manunggaling kawula gusti juga merupakan pemikiran yang bagus. Hanya saja perlu kehati-hatian. Sehingga bisa kita susun ulang kalimatnya menjadi “manunggaling karsa kawula lan karsa gusti”. 

Kesimpulan

Bukan-nya manunggaling kawulo gusti akan tetapi, manunggaling karsa kawula lan karsa gusti. Sehingga tugas manusia sebagai abdi tuhan untuk mengatur alam raya ini sempurna dengan ridho tuhan di setiap tingkah lakunya. “opo wae keno, asalkan gusti allah ridho. Aku jengkel mergo gusti allah ridho aku jengkel, aku meneng mergo gusti allah ridho yen aku meneng, aku maju mergo gusti allah ridho yen aku maju”. Berkat menyelaraskan hidupnya dengan kehendak tuhan, maka akan menjadi manusia yang mendapat anugrah pantulan “wajahnya”.

*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال