Ekspresi Kemuliaan Manusia Dalam Islam (4)

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Islam adalah agama yang menyerukan atau menugaskan pada umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmatan-lil ‘alamin. Selain itu, Islam juga dapat menjamin akan terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan, dan pada dasarnya ajaran Islam dapat dijadikan sebagai pedoman hidup umat Islam yang dilaksanakan secara konsisten serta konsekuen (Muriah, 2000).

Hakikat manusia adalah manusia mempunyai potensi berpikir dan kebijaksanaan. Dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan pikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Sedangkan kemuliaan itu adalah mampu menjaga dan memelihara mahkluk Allah SWT dengan melindungi hak eksistensinya. Dengan unsur-unsur kemuliaannya sebagai berikut; (1) Otoritas Pengelolaan Alam (Darat dan Laut), (2) Hak Mendapatkan Rezeki Yang Baik, (3) Keutamaan Manusia Dengan Makhluk lain.

Manusia memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya di muka bumi ini. Keistimewaan itu bisa kita lihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas karakternya. Karena keistimewaan itu manusia memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda dengan makhluk yang lain. Al-Qur’an memberikan tinjauan yang jelas mengenai kedudukan dan tugas manusia di muka bumi. Tinjauan al-Qur’an terhadap konsep manusia bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang hubungan manusia dengan Allah SWT. dan hubungan manusia dengan lingkungannya.

Dengan demikian, makna manusia mencerminkan karakteristik dan kesempurnaan penciptaan Allah terhadap makhluk manusia, bukan saja sebagai makhluk biologis dan psikologis melainkan juga sebagai makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk bermoral serta makhluk kultural yang kesemuanya mencerminkan kelebihan dan keistimewaan manusia daripada makhluk-makhluk Tuhan lainnya.

Dengan memahami makna kemuliaan manusia, maka diharapkan setiap individu, kelompok merealisasikan dalam kehidupannya. Kemuliaan yang dimaksud di sini adalah mensyukuri segala potensi yang ada pada diri dengan mempergunakannya dengan tujuan yang baik, menciptakan perdamaian dalam, bermasyarakat dan saling menghormati antar sesama mahkluk Tuhan. Dengan merealisasikan kemuliaan dalam kehidupan manusia, diharapkan untuk mempertahankannya dan memelihara dengan baik, sehingga hubungan kepada Sang Khalid dan sesama makhluknya tetap erat agar tercipta tatanan masyarakat sejahtera dan mampu bersahabat dengan alam sekitar.

Makna Kemuliaan Manusia

Kemuliaan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al 'izzah bermakna al syarof wa al man 'ah (kemuliaan dan kekuatan). Kemuliaan merupakan hasil dari sebuah proses yang bertahap dan berkesinambungan. Demikian halnya dengan 'izzu al Islam wa al muslimin (kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum muslimin) bukanlah suatu hal yang mudah diraih. Semudah orang mengatakannya, semudah orang membolak-balikkan lidah dan nama itu sudah terucapkan. Namun 'izzu al lslam wa al muslimin sebagai kata kerja merupakan proses panjang dan berkesinambungan yang memerlukan banyak tahapan dan kesepakatan. Allah Swt. telah berfirman, "Padahal kekuatan itu hanya bagi Allah, bagi Rosul-Nya dan bagi orang-orang mukmin," (QS. AI Munaafiquun: 8).

Dari pengertian ini kita hendaknya sepakat, menyatukan persepsi, yang semula mungkin tidak seluruhnya sama, tentang apa dan bagaimana 'izzu al Islam wa al muslimin. Bahwa kemuliaan dan kekuatan itu hanyalah bagi Allah Swt, bagi Rosulullah saw. dan kaum muslimin. Maka kembalikanlah makna kemuliaan dan kekuatan itu juga pada ajaran Allah Swt. yang disampaikan melalui Rosul-Nya dan menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh kaum muslimin.

Kriteria Kemuliaan Manusia

1. Aqidah Sebagai Kerangka Berpikir

Langkah awal kenabian adalah dakwah yang menyentuh manhaj (metode) pembinaan individu, Di mana baginda Nabi saw. memulai mendakwahkan ajarannya kepada istri, keponakan, sahabat karib, dan kemudian kepada beberapa sanak keluarga serta sahabat beliau yang lain. Ketika setiap individu dengan kelengkapan hidup yang meliputi raga, ras, rasio dan rukun tersebut mulai bergerak ke satu titik, membentuk pola pikir dan prilaku yang sama sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (tawhid al fikroh), Maka rukun atau hidup sosial yang dilakukan dengan sesama individu secara harmonis, damai dan saling melengkapi (al-shuhbah) itupun berjalan sebagai fungsi perangkat (al tathbiq) yang dapat mempengaruhi individu lain untuk membentuk suatu kelompok sosial dengan harapan dan tujuan (al hadf) yang telah menyesuaikan diri dalam norma dan tata nilai kelompok tersebut (tatsqif al jama 'ah). Disinilah kemudian terbangunnya masyarakat Islam yang memiliki kemuliaan dan kekuatan mempesona.

Prinsip-prinsip ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. tak lepas dari tiga hal sebagaimana telah dijelaskan AI Qur'an, "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka AI Kitab dan AI Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rosul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata"(QS. AIi-'Imron: 164).

Abdullah bin 'Abbas ra, bercerita, ketika suatu hari ia berada di belakang Nabi saw bersama para sahabat yang lain, beliau bersabda, "Wahai anak muda, aku hendak mengajarimu beberapa kata; jagalah AlIoh, maka Dia akan menjagamu; jagalah AlIah, maka kamu akan menjumpaiNya memberi jalan terang padamu; jika ingin meminta (sesuatu), mintalah kepada Allah; dan jika ingin memohon pertotongan, mohonlah pertolongan kepada Allah ... ..,(HR. Tirmidzi).

Kata demi kata, pelan dan mantap disampaikan oleb Nabi saw. sebagai nasihat. Bila kita mengikatnya menjadi suatu keyakinan, pengertian, dan kesadaran agama, maka ini akan menjadi aqidah yang kokoh tersimpan dibalik dada seorang muslim. Ketika aqidah dijalani dengan baik, teratur, sebagaimana sabda Nabi saw., "ihfadhillaha yahfadhka,” (jagalah AlIah, maka Dia akan menjagamu), menjaga segala perintah Allah, larangan-Nya, dan batasanbatasan serta setiap hak-Nya, maka sebenarnya kita telah melaksanakan syariat-Nya.

Menjaga segala perintah artinya melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul Nya, seperti sholat yang lima waktu, puasa di bulan Romadlan, membayar zakat, berhaji ke baitullah, dan lain sebagainya. Menjaga segala larangan artinya menjauhi segala sesutu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti kufur, membunuh, berzina, mencuri, berjudi, dan seterusnya. Siapa yang mampu menjalaninya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka Allah Swt, membanggakan dan memuji, serta menempatkannya sebagai golongan awwabin (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah) dan hafidzin (orang-orang yang selalu memelihara syariat) dan disinilah letak keimanan itu berada.

Dengan 'aqidah yang membangun kesatuan pemikiran (tawhid al fikrah), pembinaan umatpun dimulai. Sejak awal umat telah dikenalkan kepada Allah Swt. dan ditanamkan pula kebenaran syariat lslam sebagai satu-satunya ajaran yang layak untuk dipergunakan. Berangkat dari 'aqidah yang menancap kuat (‘aqidah rasikhah) inilah akan muncul kemudian pribadi-pribdi yang tangguh, yang bertingkah laku sesuai dengan akhlak Islam, dan dihiasi dengan tutur kata yang baik serta amal shaleh sebagai hasil dari bentuk pembinaan tazkiyah. Kemudian dari dua pembinaan tersebut disempurnakan lagi dengan sistem pembinaan yang ketiga, yaitu tsaqofah. Pembinaan yang menambah wawasan keilmuan dalam upaya pengejewantahan Islam totalitas (kaffah) sesuai manhaj Al Kitab dan As Sunnah. Mengajarkan isi kandungannya sebagai disiplin ilmu, baik keagamaan maupun iptek, seperti tafsir, hadits, ushul fiqhi, bahasa (lughah), ekonomi (iqtishadi), politik (siyasah) dan lain sebagainya.

Kemuliaan dan kekuatan yang kita cita-citakan bukanlah dinilai dari sisi besarnya jumlah (kuantitas) semata, atau dari sisi kekuatan dan kestabilan ekonomi saja. Namun kemulian dan kekuatan Islam yang menjadi milik kaum muslimin itu 'dilahirkan' dari sekian banyak 'keringat' yang berbentuk ikhtiar melalui perkataan-perkataan baik dan amaI shaleh. Maka pendidikan yang berorientasikan pembinaan terhadap generasigenerasi berikut (takwin al rijal) dengan mengedepankan hasil terbaik (kualitas) merupakan kunci dari pintu bangunan Islam dan mulia. Jangan sampai kita memahaminya dari manhaj selain AI Kitab dan As Sunnah, karena kebenaran yang diperoleh darinya masih akan menjadi tanda tanya besar di balik dada kita, Allab Swt. berfirman, "Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah," (QS. An Nisaa' : 139).

2. Prinsip-Prinsip Kemuliaan dan Persaudaraan

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (Q.S, t Taubah: 119). Termasuk program individu masyarakat beriman adalah selalu meningkatkan semangat untuk mencapai kemuliaan di setiap waktunya. Dan dengan bergantinya detik ke menit. menit ke jam, kemudian dari jam ke hari, dari hari ke pekan, diteruskan dari pekan ke bulan. Dan sampai dari bulan ke tahun mestinya kita memiliki capaian tahapan menuju kepada pribadi muslim yang terbaik, Dimulai dari penempatan semangat diri yang baik, hendaknya kita pada bulan-bulan haji yang penuh berkah ini yakni syawwal, dzul qa'dah, sampai dzul hijjah, membenahi diri dengan semangat taqwa yang dibentuk dari sistem shuhbah (pertemanan). Tentunya sistem ini adalah bersumber dari nash yang benar lagi nyata. Dalam surat At Taubah ayat 119 di atas tersirat makna pesan yang sangat dalam tentang adanya proses ma'iyah atau kebersamaan dengan orang-orang yang memiliki pribadi agung seperti para nabi dan kaum shalihin. Pribadi agung itu oleh Al Qur'an disebut Ash Shiddiq, pribadi yang menghargai kejujuran dan kebenaran dengan melaksanakannya sebagai perbuatan sehari-hari.

Untuk mengatasi kesembronoan atau ketidaktahuan kita, siapa yang mestinya menjadi teman dalam ma'iyah yang dilaksanakan nantinya, maka perlu dipahami sifat yang menjadi syarat pertemanan menuju taqwa sebagaimana uraian yang disampaikan oleh Imam lbnu Qudamah dalam kitabnya Minhaj al Qashidin. Perlu kita ketahui, bahwa persahabatan itu dilakukan tidak harus kepada setiap orang, begitupun seharusnya sahabat yang kita dekati dapat dibedakan dengan sifat dan karakter yang menyebabkan kebahagiaan hakiki bukan kesengsaraan yang menipu diri. Perhatikanlah syarat mutlak untuk mencapai kebersamaan dalam shuhbah, dengan melihat faedah yang perlu dicari darinya. Bedakan apakah kepentingan itu bersifat keduniaan yang kita dapat mengambil manfaat harta dan kewibawaan yang hanya untuk tujuan pribadi dan golongan –misalkan. Atau kepentingan itu bersifat keagamaan, di mana terkumpul di dalamnya beberapa tujuan yang bermacam-macam.

Antara lain: pertama, mengambil faedah ilmu dan amal yang jelas murni tujuannya, atau kedua, Kewibawaan seseorang juga lembaga yang dapat menjaga kita dari adanya penganiayaan serta tekanan yang meresahkan hati dalam beribadah, Kemudian ketiga, mengambil faedah harta agar tercukupi kebutuhan pokok kita, dan terhindar dari menyianyiakan waktu hanya untuk mencari bahan pangan pokok saja. Keempat, meminta bantuan dalam hal yang dinilai sangat butuh dan penting, karena yang demikian itu bisa menjadikan kita lebih waspada, bersiap terhadap segala kejadian yang mungkin menimpa diri, dan kitapun mampu menanganinya dalam setiap keadaan. Kelima, menanti datangnya pertolongan atau syafa'ah kelak di akhirat, sebagaimana perkataan sebagian Ulama' salaf, "Perbanyaklah mencari kawan, karena sesungguhnya pada setiap mu'min ada syafa'ah pertolongan

3. Aplikasi Iman dan Istiqomah secara Integratif

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mercka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (Q.S. Fushshilat : 30)
Berangkat dari ayat di atas tersebut, Istiqomah (konsisten) yang berarti teguh dalam berpendirian, teguh dalam berkeyakinan, teguh dalam berperilaku, teguh dalam berbuat, serta teguh dalam rutinitas peribadatan. Bila lebih cermat lagi kita pahami. maka sebenarnya ada satu hubungan (korelasi) iman terhadap pemaknaan istiqomah itu sendiri. Kita dapat memulai memahami korelasi lman terhadap pemaknaan Istiqomah tersebut dengan melihat pada kalimat yang berbunyi: "...kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka", dimana kalimat ini didahului oleh kalimat lain yang bcrbunyi: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah". Keduanya memberi kesan kepada kita bahwa adanya sikap meneguhkan pendirian itu berhubungan erat dengan adanya satu sifat keimanan yang menyatakan keyakinan tentang Allah Ta’ala sebagai Tuhan. Sikap meneguhkan pendirian itu merupakan penjelasan tentang istiqomah, dan sikap meyakini bahwa Allah Ta'ala sebagai Tuhan merupakan penjelasan tentang keimanan. Dua hubungan makna yang bersama saling memberi satu pengertian.

Allah juga berfirman: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.. Hud : 112). Ayat ini adalah penegasan ulang tentang adanya korelasi antara iman dan istiqamah dengan konotasi taubat sebagai proses pencapaian diri kepada keimanan yang sempurna.

Sehingga pada tahapan selanjutnya, kita juga membaca satu karakter yang menunjukkan maqom seseorang di hadapan Allah Ta'ala, berkenaan dengan ayat sebelumnya : "...maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan: "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang Allah janjikan kepadamu." Sebagaimana Firmannya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Yunus: 62). lman yang sempurna disertai dengan istiqamah penuh makna, adalah umpama pohonan yang tumbuh subur dengan akar nan kokoh dan kuat. Bila pohon Iman telah tumbuh subur dengan akar istiqomah dan kuat dalam sanubari; dan bila musim-musim telah berganti; satu hari, ketika matahari terang benderang, maka petiklah buahnya dengan penuh suka cita.

Buah yang dahulu pernah menjadi santapan jiwa-jiwa mulia, jiwa para nabi, jiwa para rasul, jiwa para wali, serta jiwa para shalihin. Buah yang dapat dinikmati setiap saat kita mencapai suasana rohani nan terhormat dalam kekhusyukan, sebagai anugerah yang tiada tara. Buah iman tersebut adalah: pertama, Membenarkan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulillah– Shallallahu 'Alaihy Wa Sallam. Kedua, Khudlu' atau tunduk atas hukum-hukum Syar'i yang diturunkan Allah Ta'ala kepadanya untuk seluruh manusia. Ketiga, Pengaruh yang kokoh sebab kemuliaan Allah Ta'ala dan segala keutamaanNya. Keempat, Totalitas pembenaran (ats Tsiqoh al Tammah) berupa keyakinan pada ke-Maha Pengaturan Allah Ta'ala, baik berupa rahmat (kasih sayang) ataupun berupa keadilanNya.

Kemuliaan merupakan hasil dari sebuah proses yang bertahap dan berkesinambungan. Demikian halnya dengan 'izzu al Islam wa al muslimin (kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum muslimin) bukanlah suatu hal yang mudah diraih. Namun 'izzu al lslam wa al muslimin sebagai kata kerja merupakan proses panjang dan berkesinambungan. Bahwa kemuliaan dan kekuatan itu hanyalah bagi Allah Swt, pada ajaran Allah yang disampaikan melalui Rosul-Nya dan menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh kaum muslimin. Kekuatan Aqidah menjadi penentu dalam seluruh aktifitas penghambaan dan pensucian jiwa, sehingga akhirnya menjadi pribadipribadi muslim yang mencapai kemuliaan di hadapan Allah Swt .

Setidaknya terdapat enam kategori yang bisa digunakan untuk menjelaskan konsep kemuliaan manusia di dalam al-qur'an. Kategori-kategori tersebut ialah kemuliaan berbasis ketakwaan, kemuliaan berbasis ilmu, kemuliaan berbasis harta, kemuliaan karena keturunan, jabatan dan pemberian (given from god). Dalam perspektif maqasid Jasser Auda, semua manusia asalkan bertakwa, bisa memiliki kemampuan untuk menambah ilmu, harta, kekuatan dan kedudukan. Karena manusia sendiri diciptakan dengan mulia serta banyak potensi dan kemampuan. Sedangkan dalam maqasid Abdul Mustaqim ditemukan bahwa maqasid dari ketakwaan merupakan adalah memelihara (penjagaan agama), memiliki ilmu (penjagaan akal), memiliki kekayaan hakiki (penjagaan harta). Mulia karena keturunan (penjagaan keluarga), menjagaan kemuliaan (penjagan kehormatan).

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال