Jiwa Koruptor Yang Sakit dalam Perspektif Al Farabi


Penulis: Ahmad Syafi’Ullah Mu’ammar*

Kita semua tahu bahwa di negeri kita tercinta ini begitu banyak tikus-tikus berdasi yang berkeliaran disekitar kita. Pasti kita merasakan hal yang sama dengan ketidakadilan bangsa ini. 

Para tikus itu dibiarkan begitu saja melahap hak-hak masyarakat kecil, sedangkan masyarakat kecil yang meminta keadilan dipaksa untuk bungkam dengan alasan tidak memiliki hak.

Hal tersebut sangat tidak mencerminkan moto yang mereka punya dengan keadaan yang sedang terjadi. Mereka bilang di awal bahwa “dari masyarakat untuk masyarakat”, tetapi pada faktanya omongan tersebut hanyalah angin saja, tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 

Mereka hanya memanfaatkan kedudukan untuk menginjak masyarakat kecil. Mengapa mereka begitu keji, hingga mereka tega berbuat seperti itu.

Apakah harta melebihi segalanya? Apakah jabatan melebihi segalanya? Lalu apa yang harus kita lalukan. Akankah negara ini akan hancur begitu saja? 350 tahun kita dijajah oleh Belanda, 3,5 tahun kita dijajah oleh Jepang. Akankah kita akan hancur oleh manusia di negara kita sendiri? 

Lalu untuk apa para pejuang dan para pahlawan rela meneteskan darah demi bangsa kita? Semua akan sia-sia begitu saja. Mengapa hati mereka belum juga tergugah. Orang lain dirugikan karena hak mereka tidak seutuhnya didapatkan. 

Sedangkan mereka akan rugi terhadap kebahagiaan mereka kelak. Al Farabi pernah berkata bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri. Artinya seseorang melakukan kebaikan atas dasar kemauannya sendiri dan dapat menjadi kebiasaan dari orang tersebut. 

Kebahagiaan dapat muncul ketika kita melakukan suatu kebaikan, karena pada dasarnya segala hal yang membuat manusia merasa bahagia adalah hal yang baik, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Dari keterangan tersebut kita tahu bahwa pada dasarnya para koruptor tidak ada yang merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Mereka hanya memiliki rasa senang, dan itupun akan bertahan tidak lama. 

Tidak akan ada kebahagiaan yang murni bagi mereka, dan tidak akan ada rasa ketenangan dalam hatinya. Hati dan pikiran mereka telah dibutakan oleh harta duniawi, mereka tidak akan pernah bisa berfikir bahwa dunia ini bersifat sementara dan tidak akan dibawa mati.  Mereka akan seterusnya sengsara dalam kesenangan sementara itu.

Al Farabi pernah berkata ketika seseorang telah merasa bahagia, maka ia tidak akan mudah tergoda untuk mencari yang lainnya. 

Sebelum meraka dapat bertaubat dan merubah hal buruknya menjadi yang lebih baik, mereka tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mungkin bagi mereka harta dunia merupakan segalanya, sedangkan pada hakikatnya harta yang sesungguhnya adalah pahala. 

Hanya pahala lah yang dapat menolong kita diakhirat kelak dan karena pahala lah kita akan merasa bahagia dan cukup saat di dunia.

Salah satu penyebab munculnya suatu konflik, kekisruhan, konkurensi, kekacauan, dan gejolak sosial adalah karena kebahagiaan tidak hadir didalamnya. 

Bahagia disini bukan hanya sebatas terpuaskannya keinginan manusia, tetapi pada faktanya keinginan manusia akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. 

Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yang ditempuh melalui jalur Tuhan. Bukan dengan cara merampas hak orang lain tanpa memikirkan orang yang ada dibawahnya. 

Kesadaran para tikus berdasi akan hal ini sangatlah minim. Mereka hanya memikirkan diri mereka, kesenangan mereka, kebahagiaan sementara mereka tanpa memikirkan apa yang terjadi pada masyarakat dikarenakan ulah mereka. 

Kurangnya menjunjung tinggi masalah akhlak, etika, dan moral juga menjadi salah satu penyebab munculnya rasa memiliki hak dari orang lain.

Al Farabi menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh setiap tokoh. 

Jika jiwa manusia sakit, maka rasa kebahagiaan itu akan sirna dari kehidupan kita. Misalnya ketika seorang politikus mengidap penyakit gengsi, manusia tidak akan dapat merasakan kebahagiaan dikala teman kerjanya lebih beruntung darinya. 

Dari hal inilah akan buta mata, hati dan fikiran manusia sehingga akan menghalalkan berbagai macam cara tanpa memikirkan kesengsaraan atau dampak yang ditimbulkannya terhadap orang lain, hanya untuk bersaing dengan teman kerjanya.

Apakah jiwa yang sakit tidak bisa disembuhkan? Jawabannya bisa, tetapi dibutuhkan proses dan konsistensi dalam menggapainya. 

Bagaimana tahapannya? Tahapan untuk memperoleh kebahagiaan menurut Al Farabi yaitu dengan kehendak, niat, tekad, dan sikap bersedia untuk mengubah pola pikir serta akhlak, etika, dan moral manusia itu. 

Kebahagiaan dapat muncul ketika kita melakukan suatu kebaikan, karena pada dasarnya segala hal yang membuat manusia merasa bahagia adalah hal yang baik, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. 

Selain sebagai kunci untuk berbuat kebaikan, kebahagiaan juga merupakan tujuan hidup manusia. Seperti apa yang dikatakan Al Farabi yaitu kebahagiaan adalah tujuan hidup atau tujuan akhir dari segala yang dilakukan. 

Di dunia ini semua manusia pasti ingin merasakan bahagia. Siapa yang ingin merasakan kesengsaraan? Pasti semua orang akan serentak menjawab tidak. 

Oleh karena itu, jika kita ingin merasakan suatu kebahagiaan, maka kunci utamanya adalah berbuat baik. Bila tujuan akhir dari hidup ini adalah kebahagiaan, lalu apa lagi yang harus kita cari. 

Menghapa kita harus menunda-nunda lagi atas perbuatan baik? Kita hanya butuh melalukan kebaikan agar menjadi suatu unsur yang akan mendorong kita kedalam kebahagiaan yang abadi.

*) Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال