KATA KITA: Tanpa Sesak, Kita Beragama Dengan Lapang Dada

Ada faktor sejarah dan budaya mengapa kita beragama, dan mengapa kita beragama tertentu Islam, atau Kristen, atau lainnya. Jika saya lahir di Betawi dan Banten sejak abad ke-14 ke atas, kemungkinan saya akan menjadi Muslim. 

Jika Anda lahir di tempat dimana Kristen datang dan berkembang, maka kemungkinan besar Anda Kristen. Sejarah Hindu-Buddha ke Nusantara sejak awal abad-1 Masehi, sejarah Islam sejak abad ke-14 (jika merujuk bukti historis dan arkeologis), sejarah agama Kristen sejak abad ke-16 dan seterusnya. 

Lalu artinya apa? Kita bisa tetap dan bahkan makin beragama, dengan kesadaran dan wawasan bahwa keberagamaan kita juga adalah kelanjutan dari agama orang tua dan lingkungan kita, karena kita belajar, bergaul, dan mengkondisikan dan dikondisikan diri kita dengan agama tertentu, bukan agama lainnya.

Apa yang kita yakini benar, sebagiannya karena kita menerima dari orang tua, bimbingan, pendidikan, bacaan, ceramah, pergaulan, dan lingkungan kita, masa lalu kita, dan hasil dakwah dan misi para pendahulu dan leluhur kita yang sebagian besarnya kita tidak kenal. 

Agama-agama seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, lahir dari tempat yang berbeda dan sejak berabad-abad lalu. Dan kita yang hidup di Nusantara, pada awalnya menerima agama-agama dari para pendatang yang mendahului kita. 

Kita semua, manusia berakal budi, berbudaya, dan ada dalam sejarah ruang dan waktu. Agama adalah bagian dari proses itu, terlepas dari keyakinan kita bahwa keIslaman, atau keKristenan, atau keHinduan kita, terjadi hanya karena Tuhan saja, yang memilih kita, dan bukan orang lain. Kita belajar agama setelah kita beragama. Kita jarang diberi pilihan lebih dari satu. 

Kesadaran historis dan kultural ini membuat kita rendah hati dan memahami perbedaan dan keragaman. Tidak ada alasan untuk membenci orang lain yang berbeda agama dengan kita, apalagi hanya aliran keagamaan dalam agama yang sama (yang justru lebih banyak menyita energi umat beragama saat ini). 

Juga apalagi antara NU, Muhammadiyah, atau bukan. Juga antara Kristen ortodoks, Protestan atau Katolik. Juga antara Buddha Teravada, Mahayana, atau Tantra. Awal dari semua itu karena tempat dan lingkungan yang berbeda.

Jika Anda lahir di Iran, kemungkinan besar Anda akan menjadi Syiah. Jika Anda lahir di Madura, kemungkinan besar Anda NU. Jika Anda dari Padang, kebanyakan Anda terkondisikan menjadi Muhammadiyah. 

Jika Anda lahir di Indonesia, atau Asia Tenggara, kemungkinan besar Anda menjadi Sunni. Jika Anda lahir di Malaysia dari orang tua Melayu Anda akan Muslim, dan masuk Melayu berarti menjadi Muslim. 

Jika Anda lahir di Amerika saat ini, Anda tidak tahu apakah Anda Sunni atau Syiah. Dan pasti bukan Muhammadiyah atau NU, kecuali karena Anda Muslim dari Indonesia. Tidak ada dasar bagi kita untuk memusuhi orang hanya karena mereka berbeda cara beragama atau berbeda cara memahami tuhan, hakikat manusia, alam, dan kehidupan.

Kita beragama, merujuk sejarah, teks, para ahli yang kita percaya, menggali inspirasi dari sumber-sumber itu, bagi langkah kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat. 

Pada saat yang sama, begitu banyak orang lain yang juga merujuk sejarah, teks, para ahli, dan menggali inspirasi dari tradisi mereka, bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, seperti yang mereka yakini dan pahami. Dan banyak lagi manusia yang mengikuti akal-budi mereka tanpa merujuk teks dan otoritas keagamaan tertentu dan mereka tetap merasa nyaman dan bahagia. 

Pada saat yang bersamaan juga, dalam perbedaan-perbedaan itu, dan misteri kehidupan, ada satu hal yang sama: setiap kita adalah manusia. Dan dalam kemanusiaan inilah kita saling mengenal dan bekerja sama. 

Karena banyak sekali masalah itu mengena kita tanpa mengenal agama kita apa dan dari mana kita berasal. Wabah Virus Corona adalah salah satu bukti nyata. Lingkungan hidup yang rusak juga bukti lainnya. Belum lagi ketimpangan sosial ekonomi, kekerasan rumah tangga, pembunuhan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya.

Dengan keluarga, atau komunitas sosial kita, ormas kita, jaringan kita, atau dalam kesendirian kita, kita beragama dengan lapang dada, tanpa sesak dada memusuhi identitas agama dan aliran lain, tanpa sempit pikir menyesat-nyesatkan orang yang memahami dan mendekati Yang Maha dan Alam Semesta, dengan cara mereka. 

Karena ketika kita memusuhi orang lain karena mereka berbeda, kita sedang mengizinkan mereka untuk memusuhi kita dan agama kita karena alasan yang sama. Wallahu a'lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال