Tafsir YouTubi: Representasi Masa Depan Studi Tafsir Alqur’an


Oleh: Asyiq Billah Ali*

Dalam zaman modern ini, internet telah menciptakan inovasi teknologi digital yang mengubah secara fundamental dan mengubah cara manusia berkomunikasi dalam hampir semua aspek kehidupan. 

Salah satu buah dari penggunaan masif internet adalah sebagai media dan fasilitator dakwah. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan dari para pengguna media internet, khususnya pengguna jejaring sosial, dalam mengakses beberapa konten dakwah.

Trend saat ini dalam penggunaan internet telah memberikan peluang bagi beberapa ulama dan aktivis tafsir untuk memperluas pemahaman Alqur'an. Ini terbukti dengan kesuksesan YouTube dalam menciptakan bentuk tafsir yang baru, dikenal sebagai Tafsir Youtubi. Istilah ini terdiri dari dua kata yang sudah umum, yaitu tafsir dan youtubi. 

Sejauh ini, tafsir sering dianggap sebagai aktivitas dan produk dari seorang mufasir. Aktivitas tafsir berarti menjelaskan, mengungkap, dan mengungkapkan makna yang tersembunyi dari teks (ayat Alqur'an). Sementara itu, tafsir sebagai produk berarti pemahaman yang dihasilkan oleh mufasir tentang teks (ayat Alqur'an).

Awal pertemuan antara kajian tafsir dan teknologi ini ditandai dengan penggubahan kitab-kitab tafsir menjadi format e-book, yang kemudian melahirkan berbagai aplikasi terkait seperti Muktabah Syamilah, Mausu'ah, dan sejenisnya. Dari sinilah mulai muncul jaringan-jaringan yang membahas tafsir Alqur'an, terutama dalam komunitas yang terbentuk di platform-platform sosial seperti Facebook dan Twitter. 

Seiring dengan kemajuan teknologi, perkembangan kajian Islam dalam dunia maya juga semakin terlihat. Salah satu aspek yang sangat mencolok adalah munculnya majelis-majelis virtual yang dapat diakses melalui berbagai video tafsir di YouTube.

Dengan munculnya bentuk tafsir youtubi ini, tentunya terdapat aspek positif dan negatif. Di satu sisi, kita mendapatkan kemudahan dalam mengakses kajian-kajian mengenai Alqur'an, namun di sisi lain, timbul kekhawatiran terkait kompetensi dan kredibilitas para mufasir, apakah mereka telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh ulama sebelumnya.

Kekhawatiran tersebut tampaknya tidak relevan karena hingga saat ini, kajian tafsir di YouTube diisi oleh ulama dan cendekiawan yang memiliki latar belakang keilmuan yang sangat kompeten. Selain itu, kajian dalam bentuk audiovisual seperti ini, jika diadakan dalam majelis, dapat menunjukkan antusiasme audiens yang hadir untuk mengikuti kajian tersebut. 

Hal ini menjadi indikator sejauh mana tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi audiensnya. Sehingga sikap selektif masyarakat untuk memilah dan memilih Ulama’ di media sosial yang menentukan untuk mendapatkan kajian-kajian dan keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Gus Baha' merupakan salah satu ulama yang berhasil membuktikan hal-hal di atas. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang memanfaatkan media baru dengan optimal untuk menyebarkan dakwah agar mudah diakses oleh umat tanpa batasan-batasan tertentu, Gus Baha' berpendapat bahwa tugasnya hanya menyampaikan ilmu yang dikuasainya, dan Allahlah yang akan menyebarkannya. 

Inilah alasan mengapa Gus Baha' tidak memiliki akun media sosial resmi dan konten pengajian khusus seperti yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab. Mayoritas pengajian Gus Baha' adalah kajian tafsir dan pengajian umum yang sebenarnya diadakan secara offline, direkam oleh santri-santrinya, dan kemudian diunggah ke saluran YouTube. 

Bahkan banyak video pengajian Gus Baha' yang hanya berisi gambar statis dengan audio pengajian. Selain itu, saluran YouTube yang mengunggah pengajian Gus Baha' tidak selalu berasal dari pihak penyelenggara pengajian, tetapi banyak yang merupakan saluran pribadi individu.

Terkait syarat-syarat kualifikasi sebagai mufassir, para ulama’ memiliki beberapa pendapat yang berbeda. Menurut Manna’ Al-Qattan dalam kitabnya Mabahith fi Ulum Alqur’an seorang mufassir harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan mengikuti tata cara yang ketat pula dalam menafsirkan Alquran. 

Mereka harus bebas dari 1) pengaruh hawa nafsu, 2) memulai proses penafsiran dengan mengacu pada Alquran itu sendiri, 3) mencari pemahaman dari al-Sunnah, 4) memperoleh pengetahuan dari generasi tabi'in, 5) memiliki pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dan segala cabangnya, 6) menguasai prinsip-prinsip ilmu yang terkait dengan ilmu Alquran, serta 7) memiliki kemampuan berpikir yang tajam dan analitis.

Menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum Alqur’an, ada beberapa disiplin ilmu yang wajib dikuasai seorang mufassir sebelum menafsirkan Alqur’an. Antara lain: 1) Ilmu Lughat (bahasa), 2) Ilmu Nahwu, 3) Ilmu Sharaf, 4) Ilmu etimologi, 5) Ilmu Balaghah (retorika, metafora), 6) Ilmu Qira’at (cara-cara membaca Alquran), 7) Ilmu Ushuluddin, 8) Ilmu Ushul Fiqh, 9) Ilmu Asbab al-Nuzul. 9) Ilmu Nasikh dan Mansukh 10) Ilmu Hadis 11) Ilmu Mubhamah, 12) Ilmu Sains dan Teknologi.

Apabila melihat syarat-syarat kualifikasi mufassir yang dijelaskan al-Suyuthi, kita tidak diperbolehkan menafsirkan Alqur’an hanya sebatas membaca konteks yang ada dengan menafikan pemahaman teks Wahyu seperti yang dijelaskan Abdullah Saeed dalam bukunya Interpreting The Qur’an: Toward a contemporary approach. Sehingga Pemahaman tekstualis sangat menentukan kesuksesan seorang mufassir dalam menafsirkan Alqur’an.

Semoga kita senantiasa diberi motivasi dan petunjuk yang benar untuk mempelajari dan menyelami Ilmu-ilmu Alqur’an dan tafsirnya. Amiin.

*) Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال