Sejarah Perjalanan Kodifikasi Alqur’an


Penulis: Nurul Hidayati*

Pengumpulan Alqur’an adalah proses pengumpulan dan penyusunan ayat-ayat Alqur’an yang dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat. 

Proses pengumpulan Alqur’an ini dimulai pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Siddiq, yang merupakan khalifah pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. 

Pengumpulan Alqur’an menurut para ulama’ terbagi menjadi 2 macam yaitu:  

Pertama; pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Makna ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah (75):16-19; 

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Alqur’an karena hendak cepat-cepat (menguasa) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai), maka ikutilah bacaanya itu. Kemudian, sesunggguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya."

Kedua; kitabatuhu kullihi (penulisan Alqur’an semuanya). Pemeliharaan Alqur’an menggunakan cara menulis tidak lepas dari sejarah tulis menulis pada saat itu. 

Pandangan yang berkembang adalah bahwa bangsa Arab merupakan bangsa jahiliyah menutup hati terhadap sesuatu yang baru dan kebanyakan dari ummatnya itu buta aksara. 

Kondisi umat yang sedemikian rupa disebut ummi sebagaimana yang ada dalam QS Al-Jumu’ah (62): 2. Demikian juga Rasulullah SAW juga diindetifikasi oleh Alqur’an sebagai Nabi yang ummi, hal itu terekam dalam QS Al-A’raf (7):157. 

Kata ummi mempunyai beberapa makna salah satunya adalah jika merujuk pada Alqur’an, kata ummi digunakan sampai tujuh kali. 

Dari ayat-ayat yang telah disebutkan paling tidak kita bisa menggambarkan tiga keadaan Rasulullah SAW yaitu, 

  1. Kondisi Rasulullah SAW yang tidak dapat membaca teks tertulis. 
  2. Kondisi Rasulullah yang tidak menganut agama Hahudi maupun Nasrani.  
  3. Kondisi Rasulullah yang tidak tahu tentang kitab Injil dan Taurat. 

Ketiga kondisi tersebut bisa disimpulkan dan diambil hikmahnya bahwa Rasulullah terbebas-nya dari tuduhan bahwa yang disampaikannya itu adalah bacaan atau jiplakan dari kitab sebelumnya.

Keummian Rasulullah bukan berarti intelektual beliau rendah akan tetapi pada masa Rasulullah standar intelektual seseorang adalah didasarkan pada kemampuan di dalam mengungkap dan memaparkan ide secara lisan. 

Dalam hal ini kemampuan Rasulullah tidak diragukan lagi, beliau adalah orang yang fasih dan baligh dalam kalamnya. Karena itulah Rasulullah di juluki fathanah (cerdas). 

Perumpamaan-perumpamaan yang digunakan Alqur’an mengindikasikan bahwa bangsa Arab telah mengenal tulis menulis.

  1. Pengumpulan Alqur’an pada masa Nabi Muhammmad SAW.
  2. Pengumpulan Alqur’an pada masa Abu Bakar.
  3. Pengumpulan Alqur’an pada masa Utsman bin Affan.
  4. Pengumpulan Alqur’an pada masa Nabi Muhammad SAW.

Pengumpulan Alquran atau kodifikasi telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunya Alquran. Sebagaimana diketahui, Alquran diwahyukan secara berangsur-angsur. 

Setiap kali menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW lalu membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Alquran kepada mereka.

Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, pengumpulan dan penyatuan Alquran dilakukan dengan 2 cara, yaitu pengumpulan dalam dada (penghafalan) dan penulisan.

Pengumpulan Alquran dalam Konteks Hafalan Pada Masa Rasulullah SAW 

Pengumpulan dengan cara menghafal dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Penghafalan ini sangat penting mengingat Alquranul Karim diturunkan kepada Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang diutus di tengah kaum yang juga ummi. 

Allah SWT berfirman: Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan "sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al-Jumuah: 2).

Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu ketika datang wahyu, Rasulullah SAW langsung menghafal dan memahaminya. 

Dengan demikian Rasulullah SAW adalah orang pertama yang menghafal Alqur'an. Tindakan Rasulullah SAW merupakan suri tauladan bagi para sahabatnya. 

Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW mengumumkannya di hadapan para sahabat dan memerintahkan mereka untuk menghafalnya. 

Mengenai para penghafal Alquran pada masa Nabi ini, dalam kitab shahih-nya, Al-Bukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal Alquran dengan tiga riwayat. 

Mereka adalah Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Ma'qil maula Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda.

Pengumpulan Alquran dalam Konteks Penulisannya Pada Masa Rasulullah SAW 

Rasulullah SAW mangangkat para penulis wahyu Alquran (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali Muawiyah, Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, Ia memerintahkan menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. 

Sebagian sahabat juga menulis Alquran atas inisiatif sendiri pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang. 

Zaid bin Tsabit berkata, “kami menyusun Alquran di hadapan Rasulullah SAW pada kulit binatang.” Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam penulisan Alquran. 

Alat-alat yang digunakan tulis menulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain hanya sarana-sarana tersebut. Tetapi hikmahnya, penulisan Alquran ini semakin menambah kuat hafalan mereka.

Kegiatan penulisan ini didasarkan pada hadis Nabi –sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:

Artinya: “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Alquran. Barang siapa telah menulis dariku selain Alquran, hendaklah ia menghapusnya.”

Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu, antara lain adalah: Abu Bakar Al-Shiddiq, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Mu'awiyah bin Abi Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As. 

Tulisan ayat-ayat Alquran yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah SAW. Mereka pun masing-masing menulis untuk disimpan sendiri. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti sekarang ini), melainkan masih berserakan.

Az Zarkasi berkata, “Alquran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Alquran selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”

Penulisan Alquran dilakukan sesuai tartib (urutan) ayat sebagaimana ditunjukkan Nabi Muhammad SAW sesuai perintah Allah SWT. Jadi, tartib ayat Alquran adalah tauqifi (menurut ketentuan wahyu, bukan ijtihad). 

Artinya, susunan ayat dan surah dalam Alquran sebagaimana terlihat sekarang dalam mushaf-mushaf adalah sesuai dengan perintah dan wahyu dari Allah SWT melalui Rasulullah SAW.

Proses penulisan Alquran seperti itu berlangsung terus sampai Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah SAW wafat, Alquran telah sempurna dihafal oleh para sahabat dan lengkap tertulis di pelepah, kulit, kepingan batu, dan lain-lain. Inilah masa awal penulisan atau kodifikasi Alquran, yaitu terjadi pada zaman Nabi.

Pengumpulan Alqur’an Pada Masa Abu Bakar

Pada tahun pertama pemerintahannya, Abu Bakar RA dihadapkan pada sekelompok orang murtad melakukan kekisruhan yang mengantar pecahnya Perang Yamamah pada tahun 12 H. 

Perang tersebut pada akhirnya dapat dimenangkan oleh kaum Muslimin, meski tetap menimbulkan dampak negatif, yakni banyaknya penghafal Alquran dari kalangan sahabat yang gugur. Menurut riwayat yang masyhur, sekitar 70 orang pengahafal Alquran gugur dalam pertempuran tersebut.

Prihatin atas kondisi yang bila dibiarkan akan mengancam keberlangsungan Alquran, Umar bin Khattab segera menemui Abu Bakar selaku khalifah pada masa itu yang ketika itu sedang dalam keadaan sakit. 

Umar mengusulkan untuk segera menghimpun atau mengumpulkan Alquran yang sementara ini berserakan di sejumlah sahabat dan dihafal, karena khawatir akan lenyap seiring dengan banyaknya huffazh yang meninggal. 

Awalnya, Khalifah Abu Bakar merasa ragu, namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positifnya, ia menerima usul tersebut. Dan Allah SWT melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut. 

Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit dan menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf.

Zaid bin Tsabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra’ dan catatan yang ada pada para penulis wahyu. 

Kemudian lembaran-lembaran itu disimpan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ketangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafshah, putri Umar.

Ada beberapa hal yang mengantarkan pada pilihan Mumtaz mengembankan tugas kodifikasi ini pada Zaid bin Tsabit, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq mencatat kualifikasi dirinya (Zaid) sebagai berikut:

Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, “kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada Anda.‟ Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran. Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu.

Zaid salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabat yang sempat mendengar bacaan Alquran Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad dibulan Ramadan.

Pengumpulan Alqur’an Pada Masa Ustman bin Affan

Pengumpulan Alqur’an pada masa Utsman bin Affan punya motif berbeda dengan pengumpulan Alqur’an dimasa Abu Bakar, jika motif Abû Bakar mengumpulkan Alquran karena khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif Utsmân adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan. 

Pada masa Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at sahabat yang mengajarkan Alquran kepada penduduk setempat. 

Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas'ud, penduduk di wilayah lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy'ary. 

Tidak jarang terjadi pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut sahabat-sahabat tersebut, hingga kemudian pertentangan tersebut memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah mengetahui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau melaporkannya kepada Khalifah Utsman agar segera ditindak lanjuti. 

Setelah mendapatkan laporan tersebut, Utsman segera mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk memberikan Alquran yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk kemudian diperbanyak dan disebar luaskan ke seluruh penjuru.

Untuk membukukan Alquran tersebut. Ustman mengutus empat orang sahabat untuk membukukan Alquran, dari keempat orang tersebut tiga diantaranya adalah muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, Abdullâh bin Zubayr, Said bin al Ash, Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam. 

Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut berpegang pada arahan dari Utsman, yaitu: Musthofa Dhib Al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an. 

Kalangan sahabat dan mereka meyakini bahwa Alqur’an yang dikumpulkan oleh Utsman tersebut telah sesuai dan sama persis dengan Alquran yang ada pada masa Nabi Muhammad. Baik dari segi urutan ayat (tartibul ayat), maupun urutan surat (tartibus suwar), maupun Qira’atnya. 

Mushaf Utsman yang telah mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut kemudian disebarkan dan menjadi pegangan dalam penulisan Alquran hingga saat ini yang dikenal dengan Mushaf atau Rasm Ustmany.

Kesimpulan 

Kodifikasi (pengumpulan) Alqur’an dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap pertama pengumpulan Alquran pada zaman Rasulullah SAW, tahap kedua pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan yang ketiga adalah pada masa khalifah Utsman bin Affan. 

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, pengumpulan Alquran terjadi dengan dua cara, yaitu penghafalan (mengumpulkan Alquran dalam dada) dan penulisan (menulis Alquran pada alat tulis yang ada pada zaman itu). Keduanya ini dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. 

Pada zaman khalifah Abu Bakar, pengumpulan Alquran dilakukan karena banyaknya huffazd yang gugur di medan perang sehingga dikhawatirkan akan terjadi terus menerus hingga berdampak pada punahnya huffadz dan Alquran. 

Pengumpulan Alquran dilakukan dengan cara mengumpulkan tulisan/catatan-catatan Alquran para sahabat untuk dijadikan satu hingga menjadi mushaf.

Sedang pada zaman khalifah Utsman bin Affan, pengumpulan Alquran dilakukan dengan menyalin (copying) dari mushaf Abu Bakar pada satu mushaf dengan satu dialek (jenis bacaaa, yaitu Quraisy). Hal ini dilakukan karena banyaknya dialek yang ada menimbulkan konflik dan pertikaian.

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال