Qiro’ah Sab’ah: Makna dari Sab’ata Ahrufin


Oleh: Azkia Musyaffak*

Alqur’an adalah kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dan diturunkan secara berangsur-angsur dan membacanya bernilai ibadah. Alqur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan “tujuh huruf” sebagai rahmat dan keringanan bagi umat muslim.

Keringanan dan rahmat ini merupakan hasil negosiasi Nabi Muhammad SAW karena pada saat itu umat Islam terdiri dari berbagai ras yang memiliki kebiasaan berbincang dengan dialek masing-masing. 

Dan muncul kekhawatiran apabila kaum-kaum tersebut diharuskan membaca dengan dialek tertentu maka akan berakibat keengganan untuk membaca Alqur’an. Nabi Muhammad juga berprasangka kalau nantinya pemeluk agama Islam akan terus bertambah dan meluas ke daerah-daerah non-Arab. 

Dengan kekhawatiran yang sama, Nabi Muhammad akhirnya mendapatkan keiringanan yang disampaikan oleh malaikat Jibril untuk menenangkan kehawatirannya.

Sebuah riwayat menyatakan:

لقي رسول الله ص.م. جبريل، فقال: "يا جبريل، إني بعثت إلى أمّة أميّة، منهم العجوز، والشيخ الكبير، والغلام، والجارية، والرجل الذي لا يقرء كتابا قطّ، فقال لي: يا محمد، إنّ القرآن أنزل على سبعة أحرف".

Rasulullah SAW mendatangi Jibril, lalu beliau berkata; “Wahai Jibril, sesungguhnya aku diutus kepada umat yang ummi, sebagian dari mereka adalah renta tua, pemuda, pemudi, dan orang yang sama sekali tidak pernah membaca” lalu Jibril menjawab “Wahai Muhammad, sesungguhnya Alqur’an diturunkan dengan tujuh huruf.”

Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan istilah “tujuh huruf” ini, pendapat mereka terpecah menjadi 35 pendapat. Sebagian dari pendapat tersebut akan dijelaskan dalam keterangan berikut ini:

Pendapat pertama, pendapat ini adalah pendapat yang paling banyak diikuti oleh para Ahlul ‘Ilm, seperti Sufyan bin ‘Uyaynah, Abdullah bin Wahb, At-Thabary, At-Thahawy, dan lain-lain. Pendapat pertama ini mengartikan “tujuh huruf” dengan tujuh sisi/aspek makna-makna yang berdekatan dari lafaz-lafaz yang berbeda.

Seperti lafaz aqbil yang berarti menghadaplah kepadaku, ta’al yang berarti kemarilah, dan halumma yang berarti mendekatlah. Ketiganya merupakan lafaz yang berbeda namun memiliki makna yang berdekatan atau mirip.

Pendapat kedua, yang dimaksud dengan sab’ata ahrufin adalah tujuh bahasa dalam Al-Qur’an menurut bahasa Arab, baik Bahasa Yaman ataupun Bahasa Nizar. Karena Rasulallah SAW mengetahui bahasa-bahasa tersebut. 

Dan Rasulullah SAW telah diberikan atau diwahyukan himpunan kalam yang maknanya bukanlah tujuh aspek atau sisi dalam satu hurufnya melainkan bahasa-bahasa ini merupakan tujuh bahasa yang berbeda dalam Alqur’an. 

Sebagian menggunakan bahasa Quraisy, sebagian menggunakan bahasa Hudzail, sebagian menggunakan bahasa Hawazin, dan sebagian menggunakan bahasa Yaman.

Pendapat ketiga, yang dikehendaki dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa yang tercakup dalam Mudlor. Pendapat ini menggunakan ucapan sahabat Utsman untuk berhujjah “Alqur’an diturunkan dengan bahasa Mudlor.”

Maka ulama yang mendukung pendapat ini beranggapan bahwa sebagian dari bahasa ini merupakan bahasa Quraisy, sebagian merupakan Kinanah, sebagian milik Asad, sebagian milik Hudzail, sebagian milik Tamim, sebagian milik Dlobbah, dan sebagian milik Qays.

Dikatakan pula bahwa kabilah-kabilah Mudlor inilah yang dimuat dalam tujuh bahasa tadi. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibn Mas’ud menyukai apabila yang menuliskan mushaf Alqur’an adalah orang-orang dari Mudlor.

Pendapat keempat, pendapat ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh pemilik kitab Dalail Al-Khayrat yang diriwayatkan oleh sebagian ulama. Beliau berkata: Aku bertadabbur tentang perbedaan-perbedaan dalam qiro’ah, maka aku menemukan tujuh perbedaan:

1. Yang berubah harakatnya namun tidak merubah maknanya dan bentuk penulisannya, seperti pada QS. Hud ayat 78 dan pada QS. As-Syu’ara ayat 13.

2. Yang tidak berubah bentuk penulisannya dan berubah maknanya karena i’rab. Seperti pada QS. Saba’ ayat 19.

3. Yang tetap bentuk penulisannya dan berubah maknanya karena perbedaan huruf. Seperti pada QS. Al-Baqaroh ayat 259.

4. Yang berubah bentuk penulisannya namun maknanya tetap sama. Seperti pada QS. Al-Qari’ah ayat 5.

5. Yang berubah bentuk penulisannya dan maknanya. Seperti pada QS. Al-Waqi’ah ayat 29.

6. Perbedaan antara lafaz yang didahulukan dan diakhirkan. Seperti pada QS. Qaf ayat 19.

7. Perbedaan ziyadah (penambahan) dan nuqshan (pengurangan). Seperti pada QS. Al-Kahfi.

Pendapat kelima, pendapat ini mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan “Sab’ata ahrufin” adalah makna-makna dari kitab Allah SWT yakni perintah dan larangan, janji dan ancaman, qashash, bantahan-bantahan dan contoh-contoh.

Namun Ibnu Athiyyah berpendapat bahwa pendapat yang kelima ini merupakan pendapat yang lemah, karena hal-hal tersebut tidak dapat disebut sebagai huruf. Dan telah disepakati pula bahwa kebebasan dan keleluasaan tidak termasuk dalam penghalal-an dan pengharam-an, dan tidak termasuk pula dalam mengubah sesuatu yang tergolong makna.

Lima pendapat diatas merupakan sedikit dari puluhan pendapat lain yang dikemukakan oleh ahlul ‘ilm dan ulama dalam memaknai ungkapan “Sab’ata ahrufin”. Dari hadis tersebut pula, terdapat banyak kisah dibalik qira’ah sab’ah dan perbedaan dalam mushaf-mushaf yang ada.

Dan masih banyak lagi pengetahuan yang dapat dipetik dari hadits tersebut, salah satu hikmahnya adalah kita bisa mengetahui besarnya kasih sayang Rasulullah kepada kita hingga beliau bernegoisasi untuk mendapatkan keringanan perihal dialek Al-Qur’an.

Wallahu a’lam bisshowab.

Sumber: Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an Wal Mubayyin Lima Tadlammanahu Min As-Sunnah Wa Aayi Ar-Ra’yi karya Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthuby.

*) Mahasiswi Prodi Ilmu Alqur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال