Penerapan Living Qur’an di Era Kontemporer


Oleh: Iftitari Itsna Syayyidah*

Living Qur'an berasal dari dua kata yaitu living dan Qur'an. Menurut bahasa, Living artinya "hidup". Sedangkan, Qur'an adalah kitab suci yang diturunkan kepada umat Islam. Jadi, pengertian Living Qur'an adalah  kitab suci umat Islam yang hidup. 

Adanya living Qur'an sendiri disebabkan oleh fenomena Qur'an yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari (Qur’an in everyday live) di masyarakat. Hal ini juga disebabkan Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan.

Pada umumnya, masyarakat Islam dapat menerima ajaran Al-Qur’an sesuai dengan cara pandang masyarakat yang mengelilinginya. Bentuk penerimaan inilah yang disebut dengan Living Qur’an. 

Praktik penerimaan Al-Qur’an oleh masyarakat dalam memberi makna Al-Qur’an, tidak hanya mengacu pada pesan tekstual saja. Akan tetapi, melihat fadhilah-fadhilah pada suatu ayat tertentu. Kajian ini mengedepankan peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat sehari-hari sesuai berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. 

Sejarah Living Qur'an sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Beliau menggunakan ayat-ayat tertentu dari Al-Qur'an sebagai obat. 

Didasarkan pada hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Al-Bukhari. Dari Aisyah RA. Dia berkata bahwa Nabi SAW pernah membaca surat Mu'awwidzatain. Yaitu surat Al-Falaq dan An-Nas ketika beliau sakit dan sebelum beliau wafat.

Dalam pembagiannya, jenis Living Qur’an terbagi menjadi tiga bagian : 

Pertama, estetis atau kebendaan. Yaitu masyarakat muslim menerima benda-benda yang terinspirasi dari ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti : adanya seni kaligrafi, seni iluminasi Al-Qur’an, dan sebagainya.  

Kedua, fungsional atau kemanusiaan. Berkaitan dengan akhlak qur’ani para masyarakat. Seperti : praktik ruqyah, mujahadah yang berlaku di kehidupan masyarakat. 

Ketiga, eksgetis atau kemasyarakatan. Menerapkan ayat atau surat tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Seperti : perilaku penerapan Living Qur’an yaitu dengan adanya kegiatan khatamanAl-Qur’an, slametan, adanya walimah tujuh bulanan dengan membaca surat Yusuf agar diberi keturunan tampan seperti Nabi Yusuf. Dan membaca surat Maryam agar diberi keturunan cantik seperti ibu Maryam. 

Diantara tema kasus Living Qur’an di era kontemporer adalah :  

1. Narasi Al-Qur’an di masyarakat. 

Pandangan masyarakat menggunakan pandangan narasi tradisionalis. Dengan cara menganalisis dan menerapkan Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. 

2. Qur’an dan Nama. 

Yaitu mengambil salah satu ayat dari Al-Qur’an untuk dijadikan nama seseorang. Akan tetapi, tidak semua masyarakat memahami apa arti kata dalam ayat Al-Qur’an. Kejadian yang dapat ditemui adalah seseorang yang menggunakan nama Siti Ghasiyah. Padahal makna Ghasiyyah yang sesungguhnya adalah hari kiamat. 

3. Event yang berkaitan dengan Al-Qur’an.  

Seperti peringatan laliatul qadr, nuzulul Al-Qur’an (turunnya Al-Qur’an), dan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Event MTQ sendiri merupakan event perlombaan Al-Qur'an dari jenjang kecamatan sampai nasional. Tujuan diadakannya MTQ adalah  menjadikan Al-Qur’an agar semakin eksis dan dikenal oleh para masyarakat umum. 

4. Menjadikan Qur’an sebagai jimat. 

Seperti perilaku menulis ayat Al-Qur’an tertentu, lalu tulisan tersebut direndam dan di do’akan. Air yang telah di do’akan tadi, dipercaya masyarakat dapat terhindar dari bahaya dan bencana yang datang. 

Fenomena lain yang terjadi, seperti pada kasus menulis ayat dari surat Yusuf. Kemudian tersebut disimpan dalam dompet agar sang penulis terlihat tampan dan merasa lebih percaya diri. 

5. Fenomena one day one juz. 

Fenomena ini sangat popular di masyarakat khususnya bagi para penghafal Al-Qur’an. Metode ini digerakkan oleh Ustaz Yusuf Mansur. 

Salah satu penerapannya sesuai perkembangan zaman, program ini dapat dilakukan via online (WhatsApp). Seperti semua anggota khataman Al-Qur’an mengelist di grup, dan jika sudah selesai membaca, mencentang juz yang sudah dipilih. Jika, semua anggota sudah selesai membaca, maka kegiatan terakhir adalah membaca doa khatam Al-Qur’an secara virtual. 

6. Semaan Al-Qur’an. 

Mengadakan seaman Al-Qur’an, terutama dalam acara tertentu. Yaitu acara khitanan, tahlilan, dan sebagainya. Sebagai upaya untuk kirirm do’a kepada ahli kubur.

7. Menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa lokal. 

Seperti tradisi surat Yasin yang dikenal oleh orang Jawa dengan Yasinan, dan membaca surat Waqi’ah yang disebut dengan waqi’ahan. 

8. Menggunakan Qiro’ah lokal. 

Seperti dengan menggunakan langgam Jawa, atau mengaji seperti nyinden. Fenomena ini merupakan salah satu fenomena Living Qur'an yang perlu dipelajari lebih dalam. 

9. Bagaimana ayat Al-Qur’an diterjemahkan dalam suatu kajian agama. 

Seperti mengkaji ayat Al-Qur’an tertentu untuk dijadikan bahan kajian keIslaman, kultum, atau khutbah. 

10. Qur’an yang diyakini sebagai seorang imam. 

Menjaga potongan-potongan Al-Qur’an yang sudah sobek. Lebih baik membakar Al-Qur’an. 

11. Media Qur’an. 

Berbagai Tafsir Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 pada kasus Ahok.  

12. Qur’an sebagai tafsir politis. 

Terdapat pengajian al-Qur’an yang berfungsi untuk memupuk ideologi tafsir. Waqi’ah yang mendatangkan rizki, padahal ayatnya tentang hari kiamat. Berarti masyarakat tidak melihat teksnya. Tetapi fokus pada tindakan masyarakat. 

*) Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor : Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال