Mengusut Perbedaan Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah


Oleh: Diana Salwa Nafila*

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) memiliki tugas utama dalam melakukan pentashihan atau perbaikan teks Al-Qur’an, termasuk mengoreksi dan menstandarisasi mushaf-mushaf Al-Qur’an yang ada. 

LPMQ berupaya menjaga agar terjemahan Al-Qur’an yang disebar luaskan kepada masyarakat tidak menimbulkan penafsiran yang salah atau kontroversial. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi keinginan masyarakat Muslim Indonesia yang ingin memiliki akses yang terjamin terhadap teks Al-Qur’an yang autentik dan akurat.

Dalam beberapa tahun terakhir, mushaf Madinah terbitan Mujammā al-Mālik Fāhd yang diterbitkan oleh Kerajaan Saudi Arabia menjadi populer di Indonesia. Hal ini karena jamaah Indonesia yang menunaikan ibadah haji membawa pulang Mushaf Madinah sebagai hadiah dan memenuhi pasaran lokal.

Salah satu alasan di balik pembentukan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) dan penetapan Mushaf Standar Indonesia adalah untuk memudahkan masyarakat Indonesia yang tidak fasih dalam dalam bahasa Arab, baik dari segi membaca, mengucapkan, dan memahami lafadz dan ayat Al-Qur’an. Mushaf Standar Indonesia dirumuskan untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat Indonesia yang tidak memiliki latar belakang bahasa Arab sebagai bahasa ibu.

Hal ini dilakukan LPMQ agar masyarakat Indonesia lebih mudah dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an serta diharapkan dapat mengamalkan ajaran-ajaran sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Dalam merumuskan Mushaf Standar Indonesia, LPMQ bekerja sama dengan ulama dan cendekiawan Muslim yang ahli dalam bidang bahasa Arab dan Al-Qur’an.

Alasan untuk memudahkan masyarakat Indonesia dalam membaca Al-Qur’an seperti dijelaskan sebelumnya bukan sekadar diperkirakan atau diduga semata-mata, tetapi dikukuhkan berdasarkan riset yang dilakukan peneliti LPMQ tahun 2013. Dalam penelitian tersebut terungkap, bahwa kecenderungan masyarakat dalam menggunakan Mushaf Standar Indonesia diantaranya adalah karena faktor kemudahan dalam membacanya.

Kemudahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan membaca sesuai dengan kaidah tajwid, seperti ketika terjadi bacaan idgam, ikhfa, iqlab, bacaan panjang, dan beberapa kaidah bacaan tajwid lainnya.

Di Mushaf Madinah, ketika terjadi beberapa hukum bacaan tajwid pada ayat Al-Qur’an tidak ada tanda yang membantu bagaimana membaca dan membunyikannya. Sebagai contoh, pada lafdzul jalalah (lafadz Allah), Mushaf Madinah tidak mencantumkan fathah berdiri (fathah qaimah) pada lam yang memang harus dibaca panjang (dua harakat), sementara di Mushaf Standar Indoensia, lam pada lafadz Allah dibuat fathah berdiri (fathah qaimah) agar dibaca panjang dua harakat.

Tanda tersebut diberikan agar masyarakat Indonesia tidak salah dalam mengucapkan lafadz Allah. Orang Arab kiranya tidak memerlukan tanda tersebut karena mereka sudah terbiasa membunyikan lafdz tersebut dengan lam yang dibaca panjang. Demikian halnya dengan hukum bacaan idgam, ikhfa, dan beberapa bacaan tajwid lainnya.

Mushaf Standar Indonesia, yang dirumuskan oleh LPMQ memiliki sejumlah tanda baca tambahan yang tidak ada pada Mushaf Madinah. Penambahan tanda baca ini didasarkan pada pertimbangan para ulama dan ahli Al-Qur’an yang tergabung dalam Muskernas Ulama Al-Qur’an.

Namun, penting untuk diketahui bahwa penambahan tanda baca pada Mushaf Standar Indonesia sama sekali tidak mengubah teks Al-Qur’an itu sendiri. Teks Al-Qur’an yang terdapat dalam Mushaf Standar Indonesia tetap sama dengan teks Al-Qur’an aslinya. Penambahan tanda baca tersebut hanya bertujuan untuk memudahkan pemahaman dan pengucapan, tanpa mengubah makna atau isi Al-Qur’an.

Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya perbedaan penempatan tanda waqaf: 

Pertama, faktor yang menyebabkan adanya perbedaan penempatan waqaf yaitu adanya perbedaan dalam memahami susunan redaksi al-Qur’an dari segi ilmu Balaghah dalam ketiga cabangnya yaitu Ilm al-Bayan, ‘Ilm al-Ma’ani, dan Ilm al-Badi’.

Kedua, tanda waqaf banyak ditetapkan dalam Mushaf Indonesia karena menyesuaikan Masyarakat Indonesia yang nafasnya lebih pendek dan untuk menuntun masyarakat Indonesia yang kesehariannya bukan menggunakan bahasa Arab.

Ketiga, Mushaf Madinah lebih memilih menetapkan sedikit tanda waqaf pada setiap ayat, karena Masyarakat Arab kesehariannya meggunakan bahasa Arab dan Masyarakat Arab memiliki nafas yang panjang ketika membaca Al-Qur’an. oleh karena itu, Mushaf Madinah lebih sedikit menempatkan tanda waqaf dibandingkan Mushaf Standar Indonesia.

Metode untuk membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar adalah dengan menggunakan metode talaqi musyafahah atau bertatap muka langsung dengan guru. Melalui metode ini, seorang murid dapat belajar bagaimana mengucapkan huruf-huruf Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan kaidahnya.

Namun, tulisan juga memiliki peran yang signifikan dalam membantu seseorang dalam mengucapkan lafadz Al-Qur’an sesuai dengan kaidah yang ada. Mushaf Standar Indonesia menetapkan aturan-aturan penulisan dengan konsisten dan jelas, termasuk tanda baca dan penanda yang memudahkan pemahaman dan pengucapan.

Dalam konteks ini, Mushaf Standar Indonesia menjadi acuan bagi para penerbit dalam menerbitkan dan mencetak Mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan keseragaman dan kesesuaian dalam penulisan Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia. Dengan adanya acuan tersebut, diharapkan umat Muslim Indonesia dapat membaca dan mengamalkan Al- Qur’an secara konsisten dan sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan.

*) Mahasiswa S1 UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال