Memaknai Konsep Halal dan Haram


Oleh: Ikromul Wafa As-Shidiqi

Sudah kita ketahui bersama bahwasannya halal dan haram adalah suatu kasus yang tidak dapat disatukan dan tidak dapat dipisahkan, tapi halal dan haram adalah kasus yang selalu beriringan. 

Halal dan haram begitu sentral dalam pandangan kaum muslimin, yang mana karena ia merupakan batas yang hak dan yang bathil, kasus ini akan selalu kita hadapi detik demi detik dalam kehidupan sehari-hari, itulah pentingnya bagaimana kita mengetahui batasan dari halal dan haram itu sendiri.

Halal adalah segala sesuatu yang di perbolehkan oleh Allah yang jika kita manfaatkan tidak mengakibatkan siksa atau dosa, sedangkan haram adalah sesuatu yang sangat dilarang oleh Allah yang mana jika kita melakukan hal ini Allah akan menyiksa kita di dunia ataupun di akhirat. 

Meski begitu, ternyata Islam memberikan kelonggaran akan hal ini dalam beberapa kondisi, status haram dan halal makanan memang mutlak, tetapi dalam keadaan darurat, muslim diperbolehkan makan makanan yang statusnya haram. 

Ketika dihadapkan dalam keadaan darurat antara kematian atau mengkonsumsi makanan terlarang, maka mengkonsumsi makanan terlarang menjadi diperbolehkan karena untuk menghindari kemudaratan yang lebih besar tetapi apabila ada rasa menyukai atau memakannya sampai kenyang maka hal tersebut dilarang dan diharamkan. 

Al-Quran tidak memberikan pengecualian selain atas dasar karena kepentingan yang mendesak atau keterpaksaan. Selain itu, tidak boleh ada keinginan sengaja atau niat untuk melakukan perbuatan tersebut. 

Dalam hukum Islam mengkonsumsi obat yang mengandung khamar hukumnya tidak boleh atau dilarang sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah SAW. Banyak atau sedikitnya khamar hukumnya tetap haram dan segala sesuatu yang memabukkan adalah haram. Dalam keadaan darurat khamar dapat dijadikan sebagai obat dengan syarat bahwa tidak ada obat yang halal selain khamr. 

Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu, keadaan darurat yang memaksa seseorang melakukannya karena berakibat kehilangan nyawa atau anggota badan, tidak untuk dinikmati tetapi harus dengan takaran yang dianjurkan oleh dokter dan dijadikan campuran dengan obat yang lain hal ini: 

"Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya." (QS. Al An'am: 119).

Seseorang merasa sangat haus namun yang bisa diminum hanyalah khamr. Tujuan ia minum khamr adalah untuk menghilangkan rasa haus, maka hal ini diperbolehkan. Keadaan darurat ini juga bukanlah berlandaskan asumsi blelaka namun benar-benar terjadi. Saat mengonsumsi makanan haram ini juga harus secukupnya dan tidak melampaui batas. 

Seperti dalil dalam Al-qur'an surat Al-Baqarah: "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (QS. Al Baqarah: 173).

Dari kutipan dalil-dalil tersebut para ulama menafsirkan, ayat ini tidak semata terpandang kepada konteks makanan dan minuman saja tetapi juga kasus yang mengaitkan perubahan dari haram menjadi halal dengan mengikuti syarat-syarat yang berlaku dalam syariat islam.

Begitu juga halnya mengkonsumsi babi, babi merupakan hewan yang haram. Untuk dimakan tetapi lain lagi ketika hal itu terjadi dalam keadaan darurat yang dimana jika tidak memakan babi maka nyawa kita akan terancam. 

Seperti sesorang yang sedang mendaki gunung dan tersesat dengan persediaan yang habis, orang itu sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mencari sesuatu yang bisa dikonsumsi tetapi dia hanya menemukan seekor babi yang mana apabila tidak memakan hewan itu nyawanya akan terancam, maka hukum memakan babi diperbolehkan sebagai mana dalam kaedah fiqih yang masyhur adalah  اَلضَّرُوْاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَات yang artinya; “keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang."

Keadaan darurat yang dimaksud di sini adalah keadaan mendesak dan sangatt dibutuhkan. Artinya, apabila seseorang tidak melakukan hal tersebut maka akan membahayakan keselamatan dan nyawanya. 

Syekh Yusuf Qardhawi juga menjelaskan perseorangan tidak boleh dianggap darurat kalau dia berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu yang dapat mengatasi keterpaksaannya dan tidak termasuk syarat darurat hanya karena seseorang itu tidak mempunyai makanan.

Bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakatnya itu ada orang, muslim atau kafir, yang masih mempunyai sisa makanan yang kiranya dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu.

Editor: Adis setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال