Memaknai dan Aktualisasi Ibadah Dalam Kehidupan

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Istilah ibadah dalam khazanah keilmuan Islam telah lama dikenal seperti yang banyak terungkap dalam kitab-kitab fikih Islam. Bahkan di dalam kitab-kitab fikih tersebut, tema ibadah merupakan bagian awal pembahasannya. Selain kitab-kitab fikih, kitab-kitab tasawuf juga banyak membahas masalah ibadah, dan ibadah dalam pandangan sufi adalah al-a’māl al-batiniyah. Tema-tema ibadah dalam berbagai khazanah keislaman itu, pada dasarnya bersumber dari Alquran, karena dalam banyak ayatnya kitab suci ini memerintahkan kepada umat manusia untuk senantiasa beribadah sebagai manifestasi dari kehambaan mereka.

Manusia, bahkan seluruh makhluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah hamba Allah. Hamba yang dalam terminologi Alquran diistilahkan dengan ‘abd, adalah makhluk yang dimiliki dan dikuasai. Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutlak sempurna. Oleh karena itu, makhluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya. Atas dasar kepemilikan itu, maka lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya.

Alquran juga menegaskan bahwa tujuan utama diciptakannya manusia didunia ini, adalah untuk beribadah kepada Allah: Terjemahnya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(QS. al-Żāriyat/51: 56).

Menyembah kepada Allah sebagaimana dalam ayat di atas berarti mengabdikan diri kepada-Nya. Dengan demikian, tujuan manusia diciptakan untuk beribadah adalah untuk mengabdikan seluruh aktivitas kehidupannya dalam rangka beribadah kepada Allah. Dapatlah dipahami bahwa ibadah di sini, merupakan kebutuhan primer bagi manusia.

Seorang muslim yang taat, tentulah ingin menjalankan ibadah yang diperintahkan Allah, tapi kenyataannya pula banyak ditemukan sebagian orang muslim tidak menjalankan ibadah secara baik. Boleh jadi, kelompok yang terakhir ini, belum memahami hakikat ibadah sendiri, fungsi dan tujuannya. Dengan kenyataan seperti ini, maka sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang ibadah menurut perspektif Alquran.

Pengertian Ibadah

Secara etimologis, kata ibadah merupakan bentuk mashdar dari kata kata abada yang tersusun dari huruf ‘ain, ba, dan dal. Arti dari kata tersebut mempunyai dua makna pokok yang tampak bertentangan atau bertolak belakang. Pertama, mengandung pengertian lin wa zull yakni; kelemahan dan kerendahan. Kedua mengandung pengertian syiddat wa qilazh yakni; kekerasan dan kekasaran. Terkait dengan kedua makna ini, Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa, dari makna pertama diperoleh kata ‘abd yang bermakna mamlūk (yang dimiliki) dan mempunyai bentuk jamak ‘abid dan ‘ibad. Bentuk pertama menunjukkan makna budak-budak dan yang kedua untuk makna “hamba-hamba Tuhan”. Dari makna terakhir inilah bersumber kata abada, ya’budu, ’ibadatan yang secara leksikal bermakna “tunduk merendahkan, dan menghinakan diri kepada dan di hadapan Allah.

Lebih lanjut Guru Besar Tafsir UIN Alauddin ini dalam bukunya Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera menjelaskan, bahwa kata ibadah mengandung ke-mujmalan dan kemudahan. Ayat-ayat Alquran yang menggunakan kata ‘abd (عبد) dan yang serupa dan dekat maknanya adalah seperti khada’ (tunduk merendahkan diri); khasya’a (khusyuk); atha’a (mentaati), dan zal (menghinakan diri). Sejalan dengan pengertian tersebut, Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy juga menjelaskan bahwa ibadah dari segi bahasa adalah “taat, menurut, mengikut, tunduk, dan doa”.

Kemudian secara istislahi, para ulama tidak mempunyai formulasi yang disepakati tentang pengertian ibadah. Dengan demikian, ibadah secara terminologis ditemukan dalam ungkapan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengutip beberapa pendapat, ditemukan pengertian ibadah yang beragam, misalnya saja ; ulama tauhid mengartikan ibadah dengan :

توحيد هللا وتعظيمه غاية التعظيم مع التذلل والخضوع له

Meng Esakan Allah, menta’dhimkan-Nya dengan sepenuh-sepenuhnya ta’dhim serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya (menyembah Allah sendiri-Nya.

Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan :

العمل بالطاعة البدنية والقيام بالشرائع

Mengerjakan segala tha’at badaniyah dan menyelenggaran segala syariat (hukum).

Ulama tasawuf mengartikan ibadah dengan :

فعل المكلف على خالف هوى نفسه تعظيما لربه

Seorang mukallaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan ke-inginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.

Ulama fikih mengartikan ibadah dengan :

ما أديت ابتغاء لوجه هللا وطلبا لثوبه فى اآلخرة

Segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan meng-harap pahala-Nya di akhirat.

Selanjutnya ulama tafsir, misalnya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA menyatakan bahwa: Ibadah adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemai dalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa obyek yang kepadanya ditujukan ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya.

Masih dalam pengertian ibadah, ulama tafsir yakni Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim menyatakan bahwa: Ibadah dalam bahasa agama merupakan sebuah konsep yang berisi pengertian cinta yang sempurna, ketaatan dan khawatir. Artinya, dalam ibadah terkandung rasa cinta yang sempurna kepada Sang Pencipta disertai kepatuhan dan rasa khawatir hamba akan adanya penolakan sang Pencipta terhadapnya.

Pengertian-pengertian ibadah dalam ungkapan yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dikutip, pada dasarnya memiliki kesamaan esensial, yakni masing-masing bermuara pada pengabdian seorang hamba kepada Allah swt, dengan cara mengagungkan-Nya, taat kepada-Nya, tunduk kepada-Nya, dan cinta yang sempurna kepada-Nya.

Dengan merujuk pada pengertian-pengertian ini, maka tampak bahwa ada beberapa terma yang memiliki makna sama dengan ibadah itu sendiri yang ditemukan di dalam Alquran, yakni antara lain ;

1. Al-tha’ah (الطاعة), yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 128 kali dalam berbagai bentuk perubahan katanya. Pada dasarnya, kata al-tha’ah ini mengandung arti “senantiasa menurut, tunduk dan patuh kepada Allah dan rasul-Nya”.

2. Khada’a (خضع), yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 2 kali, yakni QS. al-Syu’ara (26): 4 dan QS. al-Ahzab (33): 32. Pada dasarnya, kata khada’a ini mengandung arti “merendahkan, dan menundukkan”.

3. al-Zulli/al-Zillat (الذل/الذلة), yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 24 kali.

Pada dasarnya, kata ini dapat pula berarti “kerendahan atau kehinaan”. Kesemua terma ini, dapat dikonotasikan kepada perilaku-perilaku hamba Allah yang beriman dan yang bertaqwa, karena mereka dalam hidupnya senantiasa tunduk dan patuh kepada semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Berdasar pada rumusan ini, maka ibadah menurut Muhammmad Abduh dalam tafsir al-Manar adalah: Dari kutipan di atas, dipahami bahwa ibadah adalah suatu keataatan hamba yang mencapai puncaknya dari kesadaran hati seseorang sebagai akibat pengagungan kepada Allah. Keagungan-Nya oleh karena tidak diketahui sampai dimana batas-batas kekuasan-Nya, dan hakekat keberadan-Nya.

Di sisi lain, dipahami bahwa ibadah adalah perbuatan manusia yang menunjukkan ketaatan kepada aturan atau perintah dan pengakuan kerendahan dirinya di hadapan yang memberi perintah. Adapun yang memberi perintah untuk beribadah, adalah tiada lain kecuali Allah sendiri, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 21, Terjemahnya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dari ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa sasaran ibadah hanya-lah kepada Allah swt. Dengan kata lain, bahwa manusia beribadah adalah untuk mengabdikan dirinya kepada Allah sebagai Tuhan yang telah men-ciptakan mereka.

Cara Beribadah

Dari segi turunnya ayat-ayat Alquran, istilah abdun yang merupakan akar kata ibadah, pertama kali ditemukan dalam QS. al-Alaq, selanjutnya dalam QS. al-fatihah. Pengungkapan ibadah dalam QS. al-Alaq, belum begitu jelas tentang cara beribadah, sementara dalam QS. al-Fatihah dikemukakan secara jelas obyek yang disembah yakni Allah. Penyebutan obyek, yakni Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah melahirkan berbagai interpretasi dalam berbagai ayat didalam Alquran tentang bagai-mana cara beribadah kepadaNya.

Di dalam Alquran, kata ibadah disebut sebanyak 277 kali. 154 dalam bentuk ism dan 13 kali dalam bentuk fi’il, 5 kali fi’il mādhi, 81 fi’il mudhāri’ dan 37 kali fi’il amr. Dari sejumlah ayat-ayat Alquran ini, ditemukan di antaranya yang berbicara tentang cara beribadah.

Cara ibadah pada dasarnya bermacam-macam menurut perbedaan agama dan waktu. Tetapi semuanya disyaratkan untuk mengingatkan manusia kepada kekuasaan Yang Maha Agung dan kepada kerajaan-Nya Yang Maha Tinggi. Juga untuk meluruskan akhlak yang tercela dan membersihkan jiwa manusia.

Ibadah dalam berbagai bentuknya telah dicontohkan oleh Nabi saw, walaupun dalam kenyataannya umat Islam dalam melaksanakan ibadah tersebut tampak sangat bervariasi. Misalnya saja, “ibadah shalat”. Tampak sekali bahwa kaum muslim dalam melaksanakan shalat tersebut, memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya, dan atau antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Mulai cara takbīratul ihrām, cara membaca surah al-fātihah (bismillah jahar-non jahar) dan seterusnya.

Perbedaan-perbedaan cara beribadah seperti yang telah dikemukakan, tidaklah berarti bahwa yang satu adalah benar dan selainnya adalah salah. Adanya perbedaan cara beribadah dalam prihal shalat yang dicontohkan, wajar terjadi karena masing-masing orang memiliki dalil tersendiri yang dapat dipertanggungjawabkannya, dan praktis bahwa dengan cara beribadah yang beragam ini dapat saja diterima di sisi-Nya asalkan saja sesuai dengan ketentuan syara’ sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab fikih.

Di samping yang telah dikemukakan, maka cara beribadah yang harus terpenuhi menurut Alquran adalah dengan cara “ikhlas”. Bagaimana pun bentuk ibadah dan ragamnya itu, harus didasari oleh keikhlasan. Ayat yang sangat terkait dengan masalah ini adalah QS. al-Bayyinat (98): 5, Terjemahnya: Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan penuh keikhlasan (kepada-Nya dalam menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Ayat serupa ditemukan pula dalam QS. al-Taubah (9): 31, namun dalam ayat tersebut tidak ditemukan keterangan tentang perintah shalat dan zakat sebagaimana dalam ayat di atas. Ayat lain yang juga masih terkait dengan firman Allah tersebut adalah QS. al-Zumar (39): 2. Dalam ayat-ayat ini, disebutkan bahwa dalam beribadah kepada-Nya harus dengan cara meng-ikhlaskan diri dalam arti ibadah tersebut dilaksanakan dengan penuh kecintaan kepada-Nya dan menghindarkan diri sari sikap riya’ dalam beribadah.

Muhammad Ali al-Shabūni memberi keterangan mengenai kata mukhlishin dalam QS. al-Bayyinah (98): 5 yang telah dikutip bahwa ikhlas adalah inti atau isi ibadah dan hanya dengan keikhlasan, amal ibadah akan diterima oleh Allah, karena ikhlas dimaksudkan sebagai pengabdian hanya semata kepada Allah. Di sisi lain,P rof. Dr. H. Muin Salim juga memberi keterangan bahwa ikhlas dalam menjalankan ibadah adalah konsisten dengan ajaran agama. 24 Dengan demikian, maka ibadah seorang muslim harus berdasar pada ajaran agama Islam. Hal ini terkait dengan firman Allah dalam QS. al-Kahfi (18): 110, Terjemahnya :…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mem-persekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Dari ayat tersebut, dipahami bahwa amal-amal yang dilaksanakan terutam aibadah, bila tercampur dengan syrik maka ia menjadi sia-sia. Jadi ikhlas di sini merupakan bentuk pengukuhan dari konsep ke-Esaan Allah sebagaimana yang tercermin dalam syahadat “Tiada Tuhan selain Allah”. Ungkapan inti dalam syahadat ini membuahkan pengingkaran terhadap syirik dalam jiwa seorang muslim sebagai syarat diterimanya ibadah.

Muhammad Abduh dalam menguraikan tentang cara beribadah, juga menekankan masalah keikhalasan, yakni khusyu’ dan terhindar dari sifat dan sikap riya’. Hal yang sama juga ditegaskan Ibn Kasir dalam menafsirkan klausa “ إياك ”نعبد" dalam QS. al-Fatihah bahwa beribadah meliputi gerakan jasmaniah seperti menundukkan badan dalam sembahyang, yakni rukuk, bersujud, duduk, tetapi yang terpenting juga adalah gerakan batiniyah, yakni menanamkan adanya kesadaran dalam jiwa tentang keagungan Allah, dan keikhalasan hati secara mendalam dari seorang hamba yang menjalankan ibadah kepada-Nya.

Berdasar dari uraian-uraian di atas, maka dalam cara beribadah terdapat bebarapa unsur yang menjadi skala perioritas, yakni ketaataan, keasadaran hati berupaya keikhlasan, dan keyakinan untuk mencapai hamba Allah yang taat. Unsur-unsur ini menunjukkan adanya hubungan dinamis antara hamba dengan Allah (hablun minallah) secara dinamis, yang nantinya juga diimplemntasikan dalam kehidupan sosial (hablun minanās).

 Fungsi dan Tujuan Ibadah

Apabila dilihat dari sisi urgensi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang ibadah, ditemukan konsep bahwa ibadah secara fungsional adalah menumbuh kembangkan nilai-nilai ketauhidan dan mengokohkannya dalam jiwa. Atau dalam beberapa kitab tafsir dibahasakan bahwa bahwa seseorang hamba yang dengan jiwa raganya beribadah laksana kebun, dan semakin banyak mendapat siraman melalui ibadah maka yang bersangkutan semakin subur yang selanjutnya nilai-nilai ketauhidan akan tumbuh dan berkembang semakin baik. Sebaliknya, semakin jarang orang melakukan ibadah maka semakin memberikan kesempatan bagi dirinya terjauh dari nilai-nilai ketauhidan.

Masalah tauhid dalam Islam adalah adalah rukun iman yang pertama, yakni meng-Esa-kan Allah dari segi zat dan sifat-Nya, dan oleh karena itu maka ibadah sebagai cara mentauhidkan Allah sangat urgen kedudukannya. Begitu urgennya ibadah ini, maka dengan sendirinya akan diketahui bahwa ibadah bagi setiap manusia memiliki fungsi dan tujuan.

Fungsi ibadah, terkait dengan fungsi dan kedudukan manusia sebagai ‘abdullāh (hamba Allah). Ada empat macam hamba Allah, sebagai berikut; (a) hamba karena hukum, yakni budak-budak; (b) hamba karena penciptaan, yakni manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan; (c) hamba karena pengabdian kepada Allah, yakni orang-orang beriman yang menunaikan hukum Tuhan dengan ikhlas; dan (d) hamba karena memburu dunia dan kesenangannya. Dari keempat tipe hamba Allah ini, diketahui bahwa ternyata diketahui bahwa ada diantaranya yang tidak menyembah kepada Allah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan fungsi unik yang dimiliki manusia melengkapi kodrat kejadiannya. Karena fungsi ini mencakup tugas-tugas peribadatan, maka ia dapat disebut sebagai fungsi ubudiyah. Keunikan fungsi ini mengandung makna bahwa keberadaan manusia di muka bumi ini hanyalah semata-mata untuk menjalankan ibadah kepada Allah swt. Oleh karena itu, manusia yang tidak beribadah kepada-Nya berada di luar fungsinya. Padahal, secara tegas Al-Qur'an menyatakan bahwa manusia juga jin diciptakan adalah semata-mata agar mereka beribadah kepada Allah swt.

Perintah beribadah dalam Alquran dikaitkan pula dengan sifat rubūbiyah (pemeliharaan) Allah sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 21 yang telah dikutip dalam bahasan terdahulu. Di samping itu, perintah beribadah dikaitkan juga dengan perintah berserah diri setelah upaya yang maksimal (tawakkal), sebagaimana dalam QS. Hūd (11): 123, yakni; (beribadahlah dan berserah dirilah kepada-Nya). Juga di dalam Alquran ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa keagungan dan kekuatan hanya milik Allah. 32 Ayat-ayat tersebut antara lain QS. al-Baqarah (2): 165, dan bahwa tuhan-tuhan yang disembah manusia, dan diduga dapat membantu, tidak lain adalah hamba-hamba Allah swt juga, sebagaimana halnya para penyembah mereka yang dijelaskan dalam QS. al-A’rāf (7): 194.

Dapat dipahami bahwa sekiranya fungsi ibadah yang telah dikemuka-kan tidak dapat dicapai oleh manusia, berarti nilai-nilai ibadahnya tidak membekas jiwanya dan ibadah yang dilakukannya tidak berfungsi sebagai mana mestinya.

Dalam hal ini, al-Maragi dalam tafsirnya memberikan contoh dalam melakukan shalat, di mana Allah memerintahkan hamba-Nya agar melakukan shalat secara lengkap dan sempurna, sebagai bukti lengkap dan sempurnanya adalah tujuan akhir shalat yang berfungsi untuk mencegah kemungkaran dapat terwujud bagi seorang hamba.

Dalam QS. al-Ankabut (29): 45 Allah berfirman : Terjemahnya: Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Jika ternyata shalat tidak mampu mencegah kemungkaran, dan atau tidak dapat diwujudkan oleh seorang hamba perilaku baik dalam kehidupannya, maka nilai ibadahnya menurut syariat akan sia-sia, dan hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam QS. al-Mā’ūn (107): 4-5.

فَ َويْ ٌل لِلْ ُم َصل ِي َن، الَّ ِذي َن هُ ْم عَ ْن َص َالتِ ِه ْم سَاهُو َن

Terjemahnya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.

Berkenaan dengan ayat tersebut, lebih lanjut al-Maragi berkomentar bahwa sekalipun seorang hamba dijuluki sebagai ahli ibadah atau ahli shalat lantaran mereka mengerjakan ibadah atau shalat tersebut, tetapi mereka telah kehilangan hakekat shalat sebenarnya. Mereka dinyatakan Allah sebagai orang yang lalai dan lupa terhadap hakekat ibadahnya itu. Jadi secara jelas bahwa ibadah shalat yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana seorang hamba mengarahkan dirinya pada perilaku yang ma’rūf (positif) dalam kehidupannya. Dalam Tafsir al-Maragi ditemukan riwayat yang menyatakan: 

من لم تنهه صالته عن الفخشاء والمنكر لم يزدد من هللا إَّل بعدا

Artinya: Barang siapa yang shalatnya tidak menjadi pencegah baginya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia akan semakin jauh dari rahmat Allah.

Setelah menjelaskan ayat-ayat yang terkait dengan fungsi ibadah, maka pada gilirannya akan diketahui tujuan ibadah itu sendiri, yakni taqwa. Pada bagian akhir dalam QS. al-Baqarah (2): 21 yang telah dikutip, tampak jelas ada kata “taqwa”, yakni “ نَ وُقَّتَت مْ ُكَّلَعَ ” ل. Dengan demikian, tujuan akhir dari ibadah itu sendiri adalah agar manusia bertaqwa kepada-Nya.

Terma tattaqūn secara gramatikal berasal dari kata “”وقى. Afiīf ‘Abd. al￾Fattah Tabbārah menjelaskan bahwa makna asal dari taqwa adalah “takut” dan “pemeliharaan diri”. Dari sini, dipahami bahwa inti dari pada makna taqwa adalah menjauhkan (memelihara) diri dari siksaan Allah dengan jalan mengikuti perintah￾Nya dan menjauhi larangan-Nya karena ada perasaan takut dari siksaan-Nya tersebut.

Dengan melaksanakan ibadah dengan baik dan tekun, maka seorang hamba akan mencapai derajat taqwa. Sebagaimana juga yang telah singgung bahwa Allah swt sebagai Tuhan satu-satunya yang Maha Pemelihara dan menciptakan manusia, maka wajar jika manusia tersebut akan menyembah dan mentaati aturan-aturannya.

Dengan demikian terma la’allakum tatyttaqūn dan ayat-ayat lain yang memerintahkan untuk bertaqwa, misalnya (QS. al-Nisā/4:1) adalah terkait dengan perintah beribadah kepada-Nya dalam arti luas.

Dalam QS. al-Baqarah (2): 2-4, ditemukan empat kriteria orang-orang yang bertaqwa, yakni : beriman kepada yang ghaib; mendirikan shalat; menafkahkan sebagian rezki yang diberikannya; beriman dengan kitab suci Alquran dan kitab-kitab suci lainnya yang telah diturunkan Allah; serta beriman kepada hari akhirat.

Dengan merujuk pada ayat ini, kelihatan bahwa taqwa dalam Alquran sering dihubungkan dengan iman. Itulah sebabnya, serangkaian ayat Alquran menyatakan; yā Ayyuhallazīna āmanū yang pada penghujung ayat ditutup dengan kata taqwa.

Setelah menjalankan ibadah dan posisi taqwa telah diraih, maka Allah swt dalam berbagai ayat-Nya memberi perdikat yang bersangkutan sebagai muttaqi (jamaknya muttaqīn), dan baginya berhak mendapatkan kecintaan dari Allah, serta di akhirat nanti akan diberi tempat yang paling baik, yakni surga seperti yang terungkap dalam beberatpa ayat misalnya; QS. Ali Imrān (3): 76, al-Zāriyat (51): 15 dan al-Dukhān (44): 51-52.

Ciri-ciri orang yang betaqwa menunjukkan suatu keperibadian yang benar￾benar utuh dan integral, sebagai yang dinyatakan dalam QS. al-Hujurat (49); 13,

ْم ; yakni Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu)إِ َّن أَ ْك َر َمكُ ْم ِعنْدَ ََّّللاِ أَتْقَاكُ

di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu). Penggunaan kata atqākum dalam ayat ini sekaligus me-nunjukkan bahwa taqwa mempunyai tingkatan-tingkatan, dan perbedaan tingkatan tersebut sangat ditentukan oleh kualitas ibadah seorang hamba. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin berkualitas ibadah seorang hamba, maka semakin tinggi derajat seorang hamba tersebut di sisi-Nya.

Makna Ibadah Dalam Kehidupan

Ibadah merupakan satu pola hubungan yang menghubungkan diri seorang hamba dengan Tuhannya (Thib Roya, 2003:141). Dengan beribadah, seseorang akan dekat dengan Allah. Hal ini bermakna bahwa Allah dengan segala keagungan dan kebesaran-Nya, akan terhubung dengan manusia. Memahami makna ibadah tersebut, seorang muslim dapat terhubung dengan kasih sayang Allah, karunia dan perlindungan Allah, pertolongan dan pemeliharaan-Nya yang maha luas.

Insan yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdi diri kepada Allah Swt. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai seorang muslim diragukan dan dipertanyakan. Apabila terjadi kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syari’at tentang kewajiban pengabdian kepada Allah Swt.

Muslim yang telah memiliki iman dalam hatinya masih bersifat abstrak belum sempurna sebelum direalisasikan dalam bentuk nyata yakni ibadah. Ibadah merupakan institusi dari iman.

Karena tidak terlihat, keimanan seseorang tak dapat diukur dan diperkirakan. Namun, kita dapat melihat realitas imannya dari ibadah yang dilakukannya. Kita sendiri dapat merasakan saat iman menurun, ibadah kita menurun, begitu pula sebaliknya.

Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu fitrah manusia. Fitrah keagamaan yang senantiasa memunculkan ketundukan dan pengagungan kepada Allah dan merupakan pembawaan dan pengetahuan asli manusia. Ia akan tetap hidup dalam jiwa manusia. Fitrah itu merupakan hakikat keberadaan manusia. Karena tujuan penciptaan manusia, jin dan makhluk lainnya tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah.

Pengamalan Ibadah Mahdhah

Pengamalan adalah dari kata amal, yang berarti perbuatan, pekerjaan, segala sesuatu yang dikerjakan dengan maksud berbuat kebaikan (Poerwadarminta, 2005:33).

Dari pengertian di atas, pengamalan berarti sesuatu yang dikerjakan dengan maksud berbuat kebaikan, dari hal diatas pengamalan masih butuh objek kegiatan.

Sedangkan pengertian ibadah menurut Hasby Ash Shiddieqy (2000:4) yaitu “segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat”.

Menurut kamus istilah fiqih (Abdul Majib: 2005:109) bahwa: Ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintahnya dan anjurannya, serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata, baik dalam bentuk kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah swt.

Sedangkan menurut ensiklopedi hukum Islam (2007:592); Ibadah berasal dari bahasa arab yaitu al-ibadah, yang artinya pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan/merendahkan diri dan do.a, secara istilah ibadah yaitu perbuatan yang dilakukan sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah swt sebagai tuhan yang disembah.

Menurut Yusuf (2010:109) berdasarkan definisi di atas, ulama fiqih menyatakan bahwa “ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah swt, tidak kepada yang lain”.

Dari uraian di atas, menggabungkan pengertian pengamalan dan pengertian ibadah, maka pengertian pengamalan ibadah yakni perbuatan yang dilakukan seorang hamba sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya serta menjauhi segala larangnnya.

Jika kita renungi hakikat ibadah, kita pun yakin bahwa perintah beribadah itu pada hakikatnya berupa peringatan, memperingatkan kita menunaikan kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS, Al Baqarah ayat 2 yang artinya sebagai berikut.

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (tim penerjemah Al Qur’an Kemenag RI, 2015:5).

Ibadah itulah ghayah (tujuan) dijadikannya jin, manusia dan makhluk selainnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam QS, adz Dzariyat ayat 56 yang artinya sebagai berikut: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (tim penerjemah Al Qur’an Kemenag RI, 2015:1015).

Dari ayat tersebut di atas, maka pelaksanaan ibadah harus dilaksanakan oleh setiap mahluk ciptaan Allah baik itu dari golongan manusia maupun jin dengan tujuan sebagai bahkti mahluk pada penciptanya.

Referensi:

KONTEKS IBADAH MENURUT AL-QURAN. Oleh: Abdul Kallang, Institut Agama Islam Negeri Bone. 


Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال