Makkiyah dan Madaniyah: Jejak Historis Klasifikasi Ayat Alquran Sebagai Produk Budaya


Penulis: Rahardian Ahmad Nur Mochtar*

Dalam kajian Alquran, ilmu ini sangat penting untuk mengetahui asbabun nuzul suatu ayat. Karena pada dasarnya ilmu ini membahas sejarah penempatan ayat-ayat yang dikategorikan, yaitu Makkiyah dan Madaniyah. 

Selain itu dapat dijadikan alat bantu yang berfungsi penting dalam alat analisis studi Alquran. Penafsiran Alquran disamping melihat makna kebahasaan, juga diperlukan memandang lebih luas tentang historis ayat Alquran, apakah turun di Mekkah, Madinah, atau ayat yang berkenaan dengan Mekkah atau Madinah. 

Dan juga ilmu ini digunakan para mufassir untuk mengetahui nasikh dan mansukh suatu ayat. Para pengkaji diharapkan untuk memahami ilmu ini karena sangat penting untuk mengetahui kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW.

Relevansi pembahasan Makki dan madani jika dianalogikan lebih mudah dipahami sama halnya ketika kita berada di lingkungan baru pastinya kita akan menyesuaikan. Berbeda dengan lingkungan kampung halaman yang telah kenal sedari kecil. 

Dalam kondisi tersebut kita akan menyesuaikan omongan kita terhadap orang lain. Begitupun, konsep Makki dan Madani yang membahas diksi tentang proses dakwah Rasulullah SAW menghadapi tantanngan umat pada waktu di Mekkah dan setelah hijrah ke Madinah.

Teori Makki dan Madani merupakan salah satu alat analisis historis yang sangat penting untuk dikembangkan dalam kaitannya dengan penafsiran Alqur’an. Makkiyah sendiri itu bermakna suatu ayat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW sebelum hijrah ke Madinah. 

Sedangkan Madaniyah yaitu ayat yang turun setelah Nabi hijrah ke Madinah. Dalam hal ini, terdapat problematika mengenai ayat yang turun diluar kedua kota tersebut. Pada dasarnya ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya termasuk ayat Makkiyah. Karena letak geografis atau sebelum Nabi hijrah ke Madinah begitupun sebaliknya.

Akan tetapi tidak berlaku dalam ayat tertentu, pendapat ini tidak dapat mengakomodir ayat yang turun tidak di Mekkah, Madinah, maupun sekitarnya. Seperti halnya pada surat At-Taubah ayat 42 yang turun di Tabuk sebagai berikut;

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيْبًا وَّسَفَرًا قَاصِدًا لَّاتَّبَعُوْكَ وَلٰكِنْۢ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُۗ وَسَيَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْۚ يُهْلِكُوْنَ اَنْفُسَهُمْۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ ࣖ 42. 

Artinya:

"Sekiranya (yang kamu serukan kepada mereka) ada keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu terasa sangat jauh bagi mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu.” Mereka membinasakan diri sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta."

Demikian halnya pada surat Az-Zukhruf ayat 45 yang turun di Baitul Maqdis Palestina pada saat Nabi Isra’ Mikraj.

وَسْٔـَلْ مَنْ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُّسُلِنَآ ۖ اَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِ اٰلِهَةً يُّعْبَدُوْنَ ࣖ 45. 

Artinya:

"Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau, “Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”

Kedua ayat tersebut turun selain di Mekkah dan Madinah, maupun sekitarnya. Oleh karena itu, pendapat pertama dianggap tidak valid dan tidak mencakup keseluruhan ayat Alquran. Pada dasarnya untuk membedakan ayat Makkiyah dan Madaniyah. 

Ulama Membagi Menjadi 3 Aspek

Tempat turun ayat (teori geografis). Tempat turun ayat itu berdasarkan ketika ayat Makkiyah berarti ayat tersebut turun di kota Mekkah atau sekitarnya. Sedangkan Madaniyah ketika turun di Madinah dan sekitarnya.

Waktu turun ayat ( teori subjektif). Waktu turun ayat berdasarkan pada waktu Rasulullah SAW hijrah. Dinamakan Makkiyah sebelum Nabi hijrah ke Madinah atau ayat yang turun di tengah perjalanan ke Madinah. Dan dinamakan Madaniyah sesudah Nabi hijrah ke Madinah.  

Khitob (teori historis). Dalam keterangan ini ayat Makkiyah menggunakan redaksi, “demikian halnya pada karakteristik khitab, bila Alqur’an itu ditujukan hanya kepada penduduk Makkah atau Madinah dengan gaya bahasanya yang khas “ya ayyuhan nas” atau ”ya bani adam” bagi penduduk Makkah dan “ya ayyuha al-lazina amanu” untuk penduduk Madinah.

Fase (teori analisis). Analisis mengenai isi yang berkaitan, yakni ayat yang berisi peringatan atau ketauhidan dikategorikan Makki. Sedangkan ayat yang berisi mengenai hukum atau syari’at dikategorikan Madani.

Perbedaan Makkiyan dan Madaniyah dapat di pandang dari segi tataran isi maupun struktur teks. Sebab Alquran merupakan respon terhadap realitas yang dinamis. 

Dalam fase Makkiyah dan Madaniyah sebenarnya bukan hanya mengenai tempat penurunan ayat tetapi pembedaan dua fase yang di telusuri pada aspek kandungan maupun struktur teks yang disesuaikan dengan masa itu. 

Sehingga para ulama mampu mengklasifikan antara ayat makki dan madani melalui karakteristik ayat tersebut.

Adapun pendapat dari Nasr Hamid Abu Zaid bahwa kriteria mengkategorikan ayat Makki dan Madani tidak cukup jika hanya di pahami berdasarkan tempat, waktu, dan khitob. 

Abu Zaid menegaskan adanya kejanggalan serta menilai cacat karena sasaran Alquran sangatlah bervariasi. Kriteria Makki dan Madani seharusnnya berdasarkan terhadap realitas atau kenyataan dari sisi yang berbeda dari ayat. 

Tidak hanya di lihat dari satu sisi kandungan dan struktur teks, sedangkan realitas secara historis turunnya suatu ayat tersebut merupakan hal yang harus dipahami. 

Pendapat Abu Zaid merupakan bentuk konsistensinya bahwa Alquran sebagai produk budaya dalam proses pematangan, teks akan menampilkan dalam berita yang berbeda sesuai kondisi waktu itu. Hal ini dapat di paham pada gaya bahasa Makki dan Madani.

Adapun asumsi mengenai ayat yang turun berulang-ulang, kedua riwayat yang sama jelas kesahihannya, terdapat kontradiksi dalam aspek materinya. 

Riwayat pertama menyebutkan bahwa ayat yang turun di Mekkah, pada riwayat lain menyebutnya turun di Madinah. Dalam kasus demikian, biasanya ulama menanggapi kedua riwayat tersebut dengan menyimpulkan jika ayat yang turun secara berulang-ulang memiliki hikmah di dalam pengulangan ayat, yaitu mengingatkan dan meneguhkan kandungan isi ayat terhadap umat waktu itu. 

Sementara asumsi kedua, menyatakan ayat yang turun di Mekkah akan tetapi berisi hukum syar’i dan hukum fikih berlaku di kemudian hari. Menurut pandangan Abu Zaid, menyebutkan ayat yang turun bisa lebih dari satu kali. 

Misalnya ayat yang membahas tentang tayammum dalam surah Al-Ma’idah ayat 6 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ 6. 

Artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."

Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut Madaniyah dikarenakan pada aspek kithob dan sebab-sebab turunnya. Tentunya hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa salat diwajibkan di Mekkah. 

Maka hasil kompromi riwayat yang sama sahih tersebut adalah teks turun di Mekkah hukum syar’i dan hukum fikih berlaku di Madinah. Dapat disimpulkan bahwa ayat yang turun di Mekkah akan tetapi memuat hukum, maka itu dikategorikan sebagai Madani. 

Alquran sendiri menurut Abu Zaid hadir untuk menjawab tantangan zaman dan dapat direpresentasikan sebagai solusi atas masa itu. 

Sumber Rujukan:

  1. Abu Zaid, Nasr Hamid , Tekstualis Al-Qur’an, kritik terhadap Ulumul Quran, terjemahan Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKis, 2001
  2. Halim, A. 2015 “Perkembangan teori makki dan madani dalam pandangan ulama klasik dan kontemporer” Jurnal syahadah, Vol 3 No 1
  3. Al-Qathan, Manna’, Pengantar studi ilmu Al-Qur’an, terjemahan Aunur Rafiq El-Mazni, Jakarta timur: Pustaka Al Kautsar, 2005
  4. Putri, Fitri S. 2022 “Makiyah dan Madaniyah”, Jurnal Kajian Al-Quran dan Tafsir, Vol 7 No 1

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال