Kodifikasi Alqur’an Kedua: Tauqifi Atau Ijtihadi?


Oleh: Ainun Nabilah*

Setelah melalui tahap penulisan pada masa Nabi Muhammad SAW dan kodifikasi pada masa Khalifah Abu Bakar, Alqur’an kembali dilakukan kodifikasi untuk kedua kalinya. Pengodifikasian Alqur’an yang kedua ini dilakukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan dengan menugaskan sahabat yang sama saat pertama kali, yakni Zaid bin Tsabit. 

Alasan Khalifah Utsman mempercayakan tanggung jawab besar tersebut kepada Zaid bin Tsabit ialah karena pengetahuan, kemampuan, dan keahlian yang dimiliki Zaid sangat mumpuni di bidang tersebut. Selain itu, mengodifikasikan Alqur’an bukanlah suatu hal yang baru baginya. Sebab pada pengodifikasian sebelumnya, yakni di masa Khalifah Abu Bakar, Zaid telah menjabat sebagai ketua. 

Alasan Zaid bin Tsabit bisa menjadi ketua kodifikasi Alqur’an yang pertama ialah karena Zaid dianggap cakap dalam bidang tersebut. Terlebih lagi, sebelumnya Zaid sudah pernah dipercaya oleh Nabi menjadi salah satu juru tulis wahyu. Di mana setiap kali wahyu Alqur’an turun, juru tulis wahyu inilah yang akan mencatat keseluruhan ayat yang turun dengan pengawasan penuh dari Nabi. Bahkan Zaid dikenal sebagai juru tulis wahyu terbaik pada masa Nabi.

Selain Zaid bin Tsabit, terdapat beberapa nama sahabat Nabi yang ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan dalam membantu proses kodifikasi Alqur’an yang kedua ini. Mereka ialah Abdullah bin al-Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Keempat sahabat tersebut menjadi satu tim yang bertugas untuk mengodifikasikan ayat-ayat Alqur’an pada saat itu.

Adanya pengodifikasian Alqur’an pada masa Khalifah Utsman ini dilatar belakangi oleh adanya perbedaan bacaan (qiraat) antarumat. Kemudian terjadi pula perbedaan di antara orang-orang yang mengajarkan qiraat kepada anak-anak. Di mana hal itu dikhawatirkan mampu memicu terjadinya perpecahan antarumat Islam, atau bahkan lebih parahnya saling mengkafirkan satu sama lain. 

Oleh karenanya, Khalifah Utsman beserta para sahabat lainnya sepakat untuk menyalin mushaf yang sebelumnya sudah dikumpulkan oleh Khalifah Abu Bakar dan menyatukannya dalam satu mushaf. Adapun bahasa yang digunakan sebagai bahasa kesatuan dalam penyusunan Alqur’an ialah bahasa Quraisy. Alasannya sangatlah sederhana, yakni karena Alqur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy. Meskipun sebelumnya pernah ditoleransi dengan dengan bahasa selain Quraisy untuk mempermudah.

Setelah tim kodifikasi selesai menyalin mushaf Abu Bakar yang dipinjamnya pada Hafsah menjadi beberapa mushaf, dengan segera Khalifah Utsman menyebar luaskan mushaf tersebut ke berbagai daerah. Tak lupa juga untuk melenyapkan mushaf-mushaf lainnya dengan cara dibakar. Tujuannya ialah untuk menyatukan bacaan Alqur’an dari umat Islam sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman yang dapat memicu pertikaian dan perpecahan.

Nah, mushaf yang terbentuk pada Khalifah Utsman bin Affan ini biasa disebut dengan mushaf Utsmani. Hal ini karena mushaf tersebut ditulis atau disalin atas perintah Khalifah Utsman bin Affan. Kemudian mengenai sistem penulisan yang digunakan ialah sebisa mungkin mengakomodir tujuh qiraat dalam satu mushaf. Jadi, dalam mushaf Utsmani ini tidak menghapus satu pun dari sab’ah ahruf (tujuh huruf).

Seperti yang telah diketahui bahwa Alqur’an diturunkan langsung kepada Nabi melalui malaikat Jibril dengan sab’ah ahruf (tujuh huruf) dan kemudian disampaikan kepada para sahabat. Nah, maksud dari sab’ah ahruf ini ialah tujuh aspek perbedaan antara qiraat-qiraat mutawatirah. Sehingga bisa jadi para sahabat diajarkan Nabi versi A, dan sahabat yang lain diajarkan versi B atau bahkan lebih dari satu versi.

Kemudian kaidah yang digunakan dalam mushaf Utsmani ini pun sebenarnya murni tauqifi (berasal dari nabi) dan tanpa adanya unsur ijtihadi (hasil kesepakatan para sahabat). Sebab tujuh qiraat yang dijadikan satu dalam mushaf Utsmani ini semuanya sudah diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW secara mutawatir. Nabi sendiri mengajarkan ragam qiraat sesuai dengan kemampuan tutur baca dari sahabat. Nah, pernyataan ini sudah disepakati oleh para sahabat dan tidak ada yang menentang satu pun.

Bahkan terdapat satu riwayat yang bisa dijadikan dasar sekaligus jawaban bagi mereka yang meragukan mushaf Utsmani. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad yang sahih. Dari Suwaid bin Ghaflah, ia mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Janganlah kalian berbicara tentang Utsman kecuali yang baik. Demi Allah, dia tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan mushaf kecuali telah disampaikan (dimusyawarahkan) di tengah-tengah kita.”

*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال