KATA KITA: Perlukah Renaissance Sistem Pendidikan Islam di Indonesia?

Oleh: Achmad Puariesthaufani N












KULIAHALISLAM.COM - Dalam sebuah tulisan  bertajuk: "Upaya renaissance Of Islam, menyingkap dikotomi sistem pendidikan Islam di Indonesia," yang ditulis oleh adinda Sukma Wisnu dan terbit pada 31 Mei 2023, ia menjelaskan kegusarannya terhadap kejumudan para pemikir Islam dalam implementasi nilai ilmu keIslaman selaras dengan nilai ilmu sains kekinian.

Pandangan awalnya, menggambarkan fenomena dimana sebagian kecil pemikir dan cerdik cendekia Islam, menafikkan sains kekinian sebagai sebuah cabang ilmu bahkan cenderung mengharamkan. Ia juga menganggap bahwa masih banyak dari mereka yang menerapkan ilmu agama tidak selaras dengan kemajuan sains sehingga berdampak pada statisme peradaban Islam.

Diakhir tulisannya, ia seolah mempromosikan keberadaan Universitas Islam Negeri (UIN) yang dipandang dapat menjadi jembatan dari fenomena tersebut, sehingga berujung pada "pencerahan" kaum cendekia Islam terhadap implementasi ilmu agama selaras dengan kemajuan sains di Indonesia.

Sebelum membahas tulisan adinda Sukma wisnu tersebut, alangkah baiknya kita memahami  konsep pendidikan Islam mulai dari etimologi, sistem dan penerapannya selama ini. Namun penulis sadar, bahwa tulisan dibuat bukan bermaksud untuk menghakimi, melainkan sebagai "pencerahan" terhadap fenomena yang dibahas pada tulisan sebelumnya.

Syekh Yusuf Qardhawi (1980) mendefinisikan pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya, mencakup proses membentuk akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya guna mempersiapkan manusia untuk hidup baik, dalam keadaan damai maupun perang, serta untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya didalamnya. 

Oleh sebab itu tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan berbahagia di dunia dan akhirat (Azra, 2000).

Sementara, menurut Naquib Al-Attas (Dalam Mulkhan, 2002), pendidikan Islam erat kaitannya dengan pemaknaan ta'dib dibanding tarbiyah. Meski tarbiyah sendiri mengandung konotasi mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, menumbuhkan (membentuk) dan juga menjadikannya lebih matang, namun menurutnya ta'dib mempunyai makna yang lebih mengena dengan konsep pendidikan Islam dikarenakan filosofinya yang lebih mengarah pada proses pembelajaran, pengetahuan dan pengasuhan.

Adapun sistem pendidikan Islam adalah keseluruhan dari bagian-bagian yang saling bekerja sama atau unsur-unsur yang disusun secara teratur dan saling berkaitan, dalam rangka membentuk manusia yang berkepribadian muslim berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah (Abu Bakar, 2020). 

Masih menurut Abu Bakar (2020), operasional sistem pendidikan Islam mempunyai 3 ciri utama yaitu: Sistem ibadah, pembinaan rohani dan pembinaan intelektual. Dan semua ciri tersebut dipengaruhi oleh unsur situasional (mencakup pendidik, anak didik, tujuan pendidikan, alat pendidikan, kondisi sosiokultural) serta unsur non situasional (keluarga, lembaga pendidikan,masyarakat, kurikulum , dan administrasi).

Jika bertolak dari pemahaman diatas, laku upaya penyelarasan ilmu agama dan sains di sistem pendidikan Islam di Indonesia, sejatinya bukanlah hal yang baru. Jamiat al khair misalnya ditahun 1901, membuat sekolah dengan memadukan kurikulum Belanda dengan Agama. Langkah tersebut kemudian menghilhami K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan konsep serupa ditahun 1911.

Langkah K.H Ahmad Dahlan bahkan sempat ditentang keras oleh pemuka agama sekitarnya, karena dipandang berkiblat pada kafir (Belanda, ed) akibat usahanya dalam membuat sejajar paradigma pendidikan yang dibuat oleh umat Islam dan pemerintah Belanda ketika itu. Bahkan adapula yang melabeli beliau dengan sebutan "murtad", meskipun sampai saat ini kita tak tahu pasti bagaimana kelanjutan cerita tersebut.

Di kalangan pesantren yang dianggap sebagai ruh sistem pendidikan Islam di Indonesia, juga mengalami upaya tersebut. Pondok Modern Gontor Darussalam misalnya didirikan di tahun 1926 oleh K.H Ahmad Sahal, KH Fananie, dan KH Imam Zarkasy (dikenal sebagai trimurti dan ketiganya pernah berkecimpung di Muhammadiyah), mengadopsi serta mengkombinasi sistem kurikulum pendidikan Aligarh University India dan Al-Azhar University Mesir. 

Walhasil  terbukti banyak lulusan dari pesantren tersebut menyebar disegala lini hingga saat ini dan tidak sedikit yang berhasil menyelaraskan apa yang disebut implementasi nilai agama dan sains secara holistik.

Bahkan di era modern ini, bermunculan banyak lembaga pendidikan di Indonesia yang mengusung kombinasi sistem tersebut mulai dari sekolah berbasis Islam, sekolah Islam terpadu ataupun mahad. Begitupula dengan implementasi di Universitas yang tidak terbatas pada UIN, melainkan juga kampus yang didirikan Muhammadiyah dan Yayasan Pendidikan Islam lainnya (seperti UAI, UNISBA, YARSI,dsb).

Mereka semua jauh berbeda dari penerapan paradigma konsep lama sistem pendidikan islam di masa lampau yang terbatas pada pengajaran fiqh dan ibadan di Madrasah dan pesantren tradisional. Bahkan diantaranya berhasil diakui sistem pendidikannya secara internasional seperti kampus Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Melihat capaian itu semua, Renaissance Islam melalui sistem pendidikan Islam sejatinya tidaklah mempunyai nilai urgensi yang mendesak. Mengingat kata Renaissance lebih condong pada pencerahan filsafat barat yang sekuler dalam memisahkan nilai agama dalam aktivitas keseharian manusia. 

Terlebih bila dilihat dari sejarahnya, Renaissance Eropa ditujukan oleh pembaharuan pemikiran kaum cendekia Eropa terhadap ortodoksi konservatif agamawan yang digdaya mengkooptasi seluruh lini kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan. 

Sehingga dipandang perlu dilakukan "pencerahan" logika atas sesat pikir kaum agamawan yang "sekarepe dewe" atau "suka-suka gue" membuat pandangan fenomena sains kala itu. Justru malah Islam sendiri jualah yang menginspirasi Rennaissance tersebut, melalui karya-karya para cendekia dimasanya.

Maka dapatlah kita tarik sedikit simpulan bahwa sistem pendidikan Islam di Indonesia, sudah lebih maju dibandingkan negara Islam lainnya, bahkan termasuk di kawasan Asia Tenggara. 

Yang patut diingat adalah pembaharuan itu adalah sebuah keniscayaan, maka statisme sistem pendidikan Islam tidak bisa kita biarkan. Hanya saja tidak perlulah repot-repot menggunakan konsep Renaissance yang radikal mendobrak dasar nilai pondasi keagamaan, melainkan menggunakan konsep Tajdid (pembaharu) yang  memang sudah akrab dikenal oleh para cendekia Muslim. Wallahu alam bishawab

*) Aktivis Muhammadiyah PDM Asahan/ Redaktur Kuliahalislam.com

Referensi:

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000, cet.ke-2

Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002, cet.ke-1

Yusuf Al Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Prof. H. Bustami A. Ghani dan Drs. Zainal Arifin Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 157

Abu Bakar, Abdul Syukur. Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Kreatif-UIN Alaudin Makassar.Vol. 1 No. 1 (2020): Januari-Juni. pp: 52-61


Achmad Puariesthaufani Nugroho

Sulung dari 3 bersaudara. Lahir di Jakarta. Bapak sumatera, Ibu Jawa. Penikmat Sejarah dan Pemikiran Islam.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال