Historisitas Lahirnya Paham-paham Keislaman Pasca Wafatnya Nabi


Penulis: Alfaenawan*

Munculnya paham-paham Keislaman secara implisit sudah pernah diramalkan oleh Nabi meskipun belum menyebut aliran-alirannya secara tekstual, hal ini didasarkan pada hadis Nabi:

Hadist dari Abdullah bin Amr berkata: Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya umat Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Keseluruhan tersebut akan masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat,” Para sahabat bertanya: “Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang mengikuti ajaranku (sunnah) dan ajaran sahabat-sahabatku.”

Didasarkan atas hadis tersebut, sebagian ulama mengemukakan beberapa firqoh yang dianggap sesat terdiri dari: kaum Syi’ah (22 aliran), kaum Khawarij (20 aliran), kaum Mu’tazilah (20 aliran), kaum Murji’ah (5 aliran), kaum Najjariyah (3 aliran), kaum Jabariyah (1 aliran), dan kaum Musyabihah (1 aliran). Secara keseluruhan berarti 73 aliran ditambah dengan aliran Ahlussunah Wal-Jama’ah.

Paska Nabi wafat, kepemimpinan Islam digantikan oleh Khulafa Ar-Rasyidin, yang terdiri dari Abu-Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan terakhir Ali bin Abi Thalib. 

Adapun pecahnya Islam menjadi beberapa golongan terutama terjadi setelah wafatnya sahabat Ustman bin Affan RA diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib telah menimbulkan pro dan kontra dan muncul protes keras dari dua golongan. 

Pertama, golongan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai Gubernur Damaskus. Kedua, protes yang digencarkan oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai dalang dari peristiwa terbunuhnya Ustman bin Affan. Dua kelompok ini kemudian pecah menjadi perang terbuka, yaitu perang Shiffin dan disusul dengan pecahnya perang Jamal.

Islam pecah menjadi beberapa golongan bermula pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sofyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi 2 kelompok. 

Kelompok pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah. Hal ini dikarenakan dalam Alqur’an terdapat ayat yang menyatakan: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir.” 

Kelompok ini dikenal dengan aliran Khawarij. Ali akhirnya dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. 

Menyedihkan, Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Alquran, sering puasa, ahli ibadah, namun fanatisme dan terbatasnya ilmu telah menyeretnya menjadi seseorang yang kejam.

Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal-‘aqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya, yaitu al-Hasan. Namun al-Hasan hanya 2 tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan yang terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. 

Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelomok Syiah dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Pertikaian memanas ketika Muawiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Sedangkan kelompok kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali merupakan imam yang diwasiyatkan oleh Nabi, sekaligus menjadi menantu Nabi. Keputusan yang dilakukan Ali sama dengan keputusan Nabi, kelompok ini disebut dengan aliran Syiah. 

Belakangan, golongan ekstrem (Rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa 3 khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut dengan “ghulat” mengkafirkan seluruh sahabat Nabi kecuali beberapa orang yang mendukung Ali. 

Sementara kelompok Sunni mengambil jalan moderat, artinya tidak condong pada aliran Syiah maupun Khawarij. Pemahaman Sunni ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi kepada para sahabatnya.

Setelah adanya aliran Syiah dan Khawarij, pada awal abad ketiga hijriah muncul kelompok Murjiah, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhirat oleh Allah. 

Dari persoalan politik kemudian melebar menjadi persoalan akidah. Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia. 

Setelah Murjiah, muncul aliran Jabariyah dan Qodariyah. Jabariyah berpendapat perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang. 

Sedangkan Qadariyah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada campur tangan Tuhan terhadapnya.

Selanjuntnya muncul paham Mu’tazilah, yang dikenal sebagai aliran yang mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis dan liberalis. Mereka memiliki konsep bahwa perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan oleh Tuhan. 

Dengan adanya tantangan menghadapi paham ekstrem tersebut Imam Al-Asy’ari dan ImamAl-Mathuridi akhirnya memutuskan untuk mengabil jalan tengah dan meluruskan akidah Jslam sesuai dengan ajaran Nabi dan para sahabat. 

Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya karena disebabkan oleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam. 

Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah-wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran.

Paham Aswaja lahir sebagai respon atas kelompok-kelompok ekstrem waktu itu, Aswaja dipelopori oleh para Tabi’in (generasi setelah sahabat atau muris-murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Basri, tabi’uttabi’in seperti Imam Mazhab yang empat, ditambah generasi sahabat. 

Inilah yang disebut sebagai tiga generasi terabit agama ini. Setelah itu, ajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. 

*) Kader PMII Rayon Ashram Bangsa, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال