Konsep Kepemimpinan Dalam Al-Qur'an

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)


KULIAHALISLAM.COM-Kepemimpinan adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi Muhammad Saw yang membahas tentang ini. Hal ini bisa difahami, karena pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat. Dalam agama Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat manusia telah ada aturannya yang sangat jelas dan detail. Contohnya soal kepemimpinan. Hal ini karena aspek kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi kehidupan seluruh rakyat (ummat) di suatu negeri.

Berdasarkan penelusuran atas ayat-ayat Al-Qur‘an, terma kepemimpinan merujuk pada empat istilah, yaitu khalifah, imam, wali, dan ulul amri.

Bahasan tentang pemimpin dalam al-Quran dapat ditemukan dalam berbagai ayat dari beragam topik dan tema. Sebagai contoh, dalam Al-Qur'an surat al-Anbiya [21]: 72-73 Allah swt berfirman: Artinya: "Dan kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim) Ishak dan Yakub, sebagai suatu anugerah, dan masing￾masing Kami jadikan orang yang shalih. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah".

Ayat di atas merupakan gambaran bahwa al-Quran mengisahkan para Nabi (Ishak dan Yakub) sebagai pemimpin bagi umatnya masing-masing. Begitu pun dengan Muhammad saw, posisinya sebagai Nabi dan Rasul tidak bisa dilepaskan pula dengan posisinya sebagai pimpinan politik.

Kepemimpinan Dalam Al-Qur'an

Term kepemimpinan dalam al-Qur’an terdapat empat kata, yaitu khalifah, imam, wali, dan ulul amri. Berdasarkan pengamatan koteks bahasa, kata khalifah yang secara jelas mengarah pada makna kepemimpinan dalam arti orang yang mengatur dan menegakkan hukum hanya terdapat dalam QS. Shad ayat 6, yaitu: Artinya: "Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan".

Sementara itu, setelah dilakukan penelusuran, bahwa kata imam dalam al-Qur'an yang bermakna serupa hanya terdapat dalam dua tempat dan berbentuk plural, yaitu QS. As-Sajadah: 24 dan QS. al-Qashash: 5; Artinya: "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami".

Pada ayat di atas "Aimmah" diartikan pemimpin serupa dengan kata "Khalifah" yang terdapat pada QS. Shad: 26 yang disebutkan sebelumnya. Pada ayat lain penulis menemukan kata ini terletak dalam QS. al-Qashash: 5 berikut ini; Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).

Tiga surat al-Qur'an di atas sengaja penulis kutip untuk menunjukkan penekanan bahwa penyebutan arti pemimpin-secara koteks-yang lebih berdekatan maknanya di dalam al-Qur'an memiliki perbedaan dengan istilah yang populer di telinga masyarakat Indonesia.

Pergulatan term "pemimpin" di kalangan masyarakat umum selalu melibatkan kata "wali". Sebagaimana sering disebut dan dikaitkan dengan QS. al-Maidah: 51 tentang kepemimpinan non-Muslim.

Kata wali beserta jamaknya sendiri secara koteks bahasa tidak menunjukkan secara jelas pada makna kepemimpinan. Hanya saja, dalam sebagian terjemahan dan penafsiran, kata wali dalam beberapa tempat kerap dimaknai sebagai pemimpin, di antaranya terdapat dalam QS. al-Maidah: 51, Ali 'Imran: 28, al-Nisa': 144, kesemuanya berbentuk jama' (plural) yakni Auliya': Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".

Tampaknya, hanya frasa ulul amri yang secara koteks bahasa konsisten bermakna pemimpin atau penguasa suatu kelompok atau masyarakat. Oleh karena itu, tiga term kepemimpinan dalam al-Qur’an hanya dibahas sekilas saja, dan pada bahasan berikutnya akan difokuskan pada pembahasan ulul amri.

Beragam pendapat ulama di atas menunjukkan bahwa para ulama tidak sepakat terkait kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Namun demikian, kita dapat menyimpulkan ada beberapa kriteria yang disepakati oleh seluruh ulama dan dapat diberlakukan sampai kapanpun.

Kriteria Karakter Pemimpin

Ada tiga kriteria pemimpin yang disepakati oleh mayoritas ulama. Ketiga kriteria tersebut adalah integritas, adil, dan memiliki kemampuan.

Dalam hal kepemimpinan, ada empat sifat wajib Rasulullah Saw yang merupakan pencerminan karakter beliau dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin umat. Inilah yang mungkin dapat dicontoh oleh seorang pemimpin agar ia dikategorikan sebagai pemimpin yang memiliki integritas. Berikut sifat-sifat Rasulullah tersebut, secara rinci sifat-sifat tersebut penulis bagi ke dalam beberapa bagian berikut:

1. Shiddiq

Shiddiq artinya jujur dalam perkataan dan perbuatan. Rasulullah Saw sangat disukai oleh banyak pihak karena memiliki sifat yang terpuji yakni benar; benar secara lisan dan perbuatan. Sewaktu mudanya, orang Quraisy menamakannya "shiddiq" atau "amin". Sehingga beliau sangat dihormati dan dihargai oleh para pemimpin Mekkah, karena Nabi Saw memiliki kepribadian dan kekuatan berbicara sehingga orang yang bertemu dengan beliau akan meninggalkan kesan ketulusan dan kejujuran. Beliau selalu memperlakukan orang dengan adil dan jujur. Beliau tidak hanya berkata dengan kata-kata, akan tetapi juga dengan perbuatan dan keteladanan. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw selalu konsisten, tidak ada perbedaan antara perkataan dan perbuatan.

Dalam hal kejujuran, pasti ada khabar (sahabat) yang menjelaskan seruan Nabi Muhammad kepada umatnya agar selalu berlaku jujur di setiap keadaan, di manapun dan kapanpun. Ubaidillah Ibn Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Jamin untukku enam perkara dari kalian, aku akan menjamin untuk kalian surga, enam perkara ini adalah: bila berbicara jujurlah, tepatilah janji apabila kalian berjanji, apaliba kalian dipercayai, tunaikanlah amanah, jagalah kemaluan kalian (dari kemaksiatan), palingkanlah pandangan kalian (dari segala yang diharamkan melihatnya) dan tahanlah tangan kalian (dari mengambil yang haram)," (HR. Imam Ahmad).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw menekankan kepada umatnya untuk senantiasa berlaku jujur dan menjauhi dusta dan bohong dalam berkata-kata. Poin tentang kejujuran ini nampaknya mendasi pondasi penting dalam menilik kriteria pemimpin yang baik dalam pandangan Islam. Kejujuran tersebut bukan hanya dinilai dari ketepatan kata-kata dengan perbuatannya, akan tetapi kejujuran itu dapat dilihat dari komitmen seorang pemimpin terhadap melakukan sesuatu sebelum mengucapkannya. Sehingga bagi dirinya sendiri ia juga jujur karena telah melakukan apa yang ia katakan. Abdullah Ibn Mas’ud menjelaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Hendaklah kalian berkata jujur karena kejujuran mengantarkan kalian kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke surga. Dan senantiasalah bersikap jujur dan terus berupaya menjaga kejujurannya sampai dicatat di sisi Allah bahwa ia adalah seseorang yang jujur. Janganlah sesekali kalian berdusta. Sebab, berdusta akan mengantarkan kepada perbuatan maksiat, dan perilaku maksiat akan mengantarkan kepada neraka. Sesungguhnya, seseorang yang berlaku dusta dan terus ingin berlaku dusta sehingga disisi Allah ia dicatat sebagai seorang pendusta,"(HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis di atas, seorang pemimpin harus melakukan upaya Good Governance seperti transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas atas aktivitas operasional institusi yang dipimpinnya. Dalam praktiknya, pemerintahan yang bersih adalah pemerintah yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggungjawab. Demikian disimpulkan dari sifat "shiddiq" yang tercermin pada diri Rasulullah Saw.

2. Amanah

Karakter kepemimpinan Rasulullah Saw yang kedua adalah amanah. Gelar amanah atau al-Amin (orang yang dapat dipercaya), sudah disematkan pada diri Nabi Muhammad Saw jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Melalui sifat ini, posisi Nabi Muhammad dianggap lebih tinggi dari pemimpin umat manapun dan Nabi-Nabi sebelumnya.

Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang benar-benar bertanggungjawab pada tugas dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya, baik kepercayaan untuk mengelola perekonomian, politik, ataupun urusan agama. Hakikatnya, amanah masyarakat itu adalah amanah Tuhan. Terkait pentingnya amanah, Allah Swt berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72 berikut; Artinya: "Sesungguhnya Kami telah melimpahkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya karena khawatir mengkhianatinya. Amanah itu akhirnya dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan bodoh"(QS: al-Ahdzab ayat 72).

Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap manusia mengemban amanah yang mesti dipertanggungjawabkan di akhirat kelak di hadapan Allah Swt. Nabi Muhammad termasuk figur dan tauladan terbaik dalam menjalankan amanah. Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah mengkhianati orang lain ataupun kelompoknya dan selalu menjaga kepercayaan orang, baik dalam hal merahasiakan apa yang patut dirahasiakan dan menyampaikan sesuatu yang perlu disampaikan.

Sebagai seorang pemimpin, Nabi Muhammad Saw sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat ,mendengarkan keinginan dan keluhan mereka, serta memperhatikan potensi-potensi yang ada dalam masyarakat, mulai dari potensi alam sampai potensi manusianya. Pada akhirnya, semua ini bermuara pada aktivitas dakwah yang dilakukannya terhadap masyarakat, terutama dalam bidang keimanan dan ketakwaan serta profesionalisme sebagai upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas pada waktu itu.

Karakter bisa dipercaya adalah suatu sifat yang diterima dan didambakan secara umum oleh setiap orang, terhadap pemimpin apapun, untuk siapapun karakter amanah (dapat dipercaya) ini tidak ada yang memungkirinya.

Komunitas orang jahat sekalipun mendambakan pemimpin mereka orang yang dapat dipercaya. Penulis contohkan seorang anggota pencopet akan mengharapkan sifat amanah dari pimpinan copet itu sendiri, agar ia selamat dari pengkhianatan. Apalagi komunitas masyarakat, suara hati nurani masyarakat mengharapkan pemimpin yang dapat dipercaya, sebagai representasi mereka dalam masyarakat. Oleh sebab itu sifat amanah ini termasuk yang disepakati secara umum.

3. Tabligh

Diangkatnya Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul utusan Allah Swt pada usia 40 tahun membuktikan bahwa beliau adalah seorang penyampai risalah Allah Swt. Diturunkannya wahyu pertama yang dibawa oleh Malaikat Jibril sebagai tanda bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan-Nya. Dengan wahyu tersebut, Rasulullah Saw mulai mengajak dan mengingatkan manusia agar selalu.menyembah dan mengabdi kepada Allah Swt. Wahyu sebagai petunjuk bagi sekalian manusia yang menyertai Rasul dalam mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran.

Tabligh merupakan sifat Rasul yang ketiga. Cara dan metodenya perlu ditiru. Sebagaimana diketahui, sasaran dakwah pertama beliau adalah keluarga terdekatnya, setelah itu baru disampaikan kepada orang lain. Selain itu, Rasulullah Saw lebih sering menyampaikan pesan melalui tindakan beliau. Artinya, beliau melakukan terlebih dahulu sebelum meminta orang lain untuk melakukannya.

Seorang pemimpin harus memaksakan dirinya untuk selesai dengan dirinya sendiri, keluarganya baru kemudian berupaya menyelesaikan urusan orang lain. Banyak permasalahan yang menyangkut kepribadian seseorang pemimpin yang tidak mampu menguasai dirinya dan keluarganya, artinya ia tidak selesai dengan persoalan dirinya sendiri. Misalnya, seorang pemimpin yang tempramental, ia berarti tidak menguasai dirinya. pemimpin yang cacat moral dan karakter buruk sulit menguasai dirinya sendiri.

Seorang pemimpin yang terbelit hutang atau beban keuangan akibat banyaknya tagihan kebutuhan untuk membayar hutang atau mengembalikan modal saat akan mencalonkan dirinya menjadi pemimpin. Beban dan tekanan finansial itu menjerat dirinya akibat menyogok ketika akan menjabat, tentu ia akan terbebani dengan upaya agar bisa mengembalikan modal tersebut. Ini artinya ketika menjabat ia akan sibuk memikirkan dirinya.

Pemimpin model seperti ini akan sulit menyelesaikan urusan rakyatnya karena ia sendiri belum selesai dengan urusan dirinya sendiri. Bagaimana ia akan menyelesaikan persoalan umat yang jauh lebih berat? Ada skala prioritas dalam menengok permasalahan umat. Seorang pemimpin dituntut untuk memanifestasikan sifat "tabligh" ini pada dirinya sendiri. Termasuk pada saat ia di hadapkan kepada persoalan hukum, ia harus berani berkata jujur meskipun pahit tatkala menghadapi persoalan hukum yang menjerat keluarganya. Jangan menjadikan hukum runcing kepada orang lain namun tumpul saat di hadapkan pada keluarganya sendiri. Hal inilah yang dimaksud dengan sifat tabligh. Alternatif pemahaman lain dari makna "tabligh" dapat juga dipahami lewat antonimnya yakni "tidak tabligh", yakni tidak sampai.

Dengan kata lain seorang pemimpin yang "tidak tabligh" dapat dilihat dari adanya upaya dari seorang pemimpin itu untuk menyuruh sesuatu kepada orang lain namun hal tersebut tidak demikian kepada dirinya dan keluarganya.

4. Fathanah

Fathanah merupakan sifat Rasul Allah yang ke empat, yaitu memiliki kecerdasan. Kecerdasan beliau sangat terlihat dari metode dakwah yang beliau gunakan. Nabi Muhammad dengan karunia Allah memiliki kecakapan luar biasa (genius abqariyah) dan kepemimpinan yang agung (genius leadership atau qiyadah abqariyah).

Beliau merupakan seorang manajer yang sangat cerdas dan pandai melihat peluang. Kesuksesan Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin karena dikarunia dengan kecerdasan oleh Allah. Kecerdasan yang dimilikinya tidak hanya dalam menyampaikan wahyu Allah, tetapi juga menjaga amanah Allah untuk memimpin umat dengan agama Islam yang diturunkan untuk seluruh manusia yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas,  keseluruhan tafsir atas ayat-ayat kepemimpinan dalam al-Quran, sebagaimana telah dibahas panjang lebar, dapat disimpulkan dengan dua bentuk metode dan pendekatan. Pertama, penafsiran-penafsiran tekstualis dengan memahami ayat-ayat al-Quran tentang pemimpin sesuai dengan bunyi ayatnya tanpa ada analisa lebih lanjut. Dalam pengertian lain bahwa ketika menafsirkan ayat al-Quran tidak ditinjau dari sisi konteks sejarah, kebahasaan dan lain lain. Kedua, tafsir kontekstualis yaitu penafsiran atas ayat￾ayat al-Quran dengan lebih jauh menganalisanya menggunakan analisa kebahasaan, konteks sejarah dan implikasinya di masa sekarang.

Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, hal yang sejalan dengan hadis Rasulullah saw bahwa ketaatan terhadap seorang pemimpin terbatas pada koridor yang tidak keluar dari kemaksiatan, adalah tidak melanggar Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang sesuai dan berlaku di Indonesia. Untuk konteks sekarang ini bisa dikatakan bahwa pemimpin yang jujur, adil dan tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Oleh karenanya transparansi dan keterbukaan serta inovasi-inovasi adalah tiga kata kunci bagi seorang pemimpin untuk memajukan wilayah dan daerah yang dipimpinnya. 

Semangat al-Quran dan juga spirit kenabian Muhammad saw secara substansial adalah membangun masyarakat madani yang ideal dan sejahtera. Dengan adagium baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dapat dimaknai dengan kepemimpinan yang baik dan adil maka akan melahirkan daerah-daerah yang maju dan sejahtera.

Ditopang dengan ekonomi yang berkeadilan dan.pendidikan dan kesehatan yang terjamin. Dengan perkataan lain, nilai-nilai dalam al-Quran sejatinya amat relevan untuk menjawab problematika degradasi kepemimpinan di masa sekarang. Yang menjadi dasar adalah bagaimana al-Quran tersebut dibaca dan dipahami sebagai bagian dari kitab suci yang visioner dan berkemajuan. Bukan malah sebaliknya, memaksakan ayat-ayat al-Quran yang dipahami secara parsial untuk menegakkan kembali khilafah dan syariah yang sudah tidak relevan lagi dengan keadaan zaman sekarang ini.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال