Bekal Untuk Aktivis Gender: Telaah Pemikiran Amina Wadud Muhsin


Oleh: Musthafa Kamal*

Perbincangan mengenai isu gender hingga kini masif dibicarakan, seiring dengan kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Ini menjadi bukti bahwa di dalam realitas sosial kita masih terjadi diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan. Adapun ‘wajah baru’ yang saat ini kerap didiskusikan adalah reinterpretasi terhadap teks-teks agama yang empuk untuk dijadikan sebagai apologi untuk menjustifikasi ketidakadilan sosial. 

Di antara pejuang gender yang ada, Amina Wadud adalah salah satu tokoh yang penting diketahui. Perempuan yang pernah membuat geger Ulama’ Islam seluruh dunia. Pasalnya ia adalah seorang wanita pertama yang menjadi imam salat Jumat di Amerika pada tahun 2005 dan di Inggris pada tahun 2008. 

Biografi Amina Wadud

Nama lengkapnya adalah Aminan Wadud Muhsin terlahir dengan nama asli Maria Teasley. Ia lahir pada 25 September 1952 di Maryland Amerika Serikat. Ia seorang muallaf yang masuk Islam kisaran pada tahun 1972 pada usia 20 tahun. Meski demikian, berkat ketekunan dalam mengkaji studi Islam. Sehingga acap kali ia diundang menjadi pembicara tentang tema keIslaman di kampus-kampus ternama dunia. 

Di dunia akademis, ia pernah mendapat gelar guru besar ilmu Islam dari Virgin Commonwealth University. Saat ini seorang yang dikenal dengan sebutan ‘lady imam’ itu menjadi dosen tamu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Klasifikasi Tafsir tentang Perempuan

Amina begitu tertarik dalam mengkaji kembali Al-Quran. Menurutnya Al-Quran merupakan sebuah katalisator perubahan baik itu mengenai politik, sosial dan budaya. Terbukti ia memiliki karya monumental yakni, Quran and Woman:rereading the sacret text from a woman’s prespective. 

Menurutnya, Al-Quran bukan hendak membatasi ruang gerak perempuan. Ragam penafsiran itu yang justru memarjinalisasi kehidupan perempuan. Oleh karenanya, perlu dibedakan apa Al-Quran dan tafsir. Keduanya perlu dijadikan pedoman dalam studi Al-Quran. 

Selama mengkaji Al-Quran, Amina membagi tafsir atas perempuan menjadi tiga kategori: tradisional, reaktif dan holistik. 

Pertama, tafsir tradisional merupakan corak tafsir yang lahir pada masa klasik. Adapun cirinya ialah tidak ditemukan upaya yang sistematis dalam mengenali tema-tema dan hubungan di tiap-tiap ayat Al-Quran. Sehingga hasil tafsirnya atomistik yang terkesan parsial. Hal yang demikian itu diakibatkan karena tidak ada upaya untuk menyelami hermeneutika atau metodologi yang menghubungkan antara gagasan dan struktur sintaksis di setiap temanya. 

Tafsir tradisional banyak ditulis oleh kaum laki-laki. Tidak mengherankan bila isinya mengakomodasi kepentingan dan pengalaman lelaki saja. Wajar saja jika tafsir model ini banyak ditemukan bias patriaki di dalamnya.

Kedua, tafsir reaktif, yakni sebuah reaksi dari mufassir modern terhadap diskriminasi yang dialami oleh perempuan yang ditengarai berasal dari Al-Quran. Problematika yang dibawa bersumber dari buah pemikiran kaum feminis dan rasionalis, namun demikian tidak terdapat usaha untuk mengintegrasikan dan menganalisis teks-teks Al-Quran. Meski spiritnya adalah membebaskan perempuan, tetapi tidak berdasarkan sumber ideologi dan teologi Islam. 

Ketiga, tafsir holistik, yaitu penafsiran yang komprehensif karena menghubungkan dengan realitas yang terjadi, termasuk isu perempuan di masa modern ini. Tafsir ini lah yang digunakan oleh Amina Wadud dalam memahami Al-Quran selama ini. Mirip sebagaimana corak tafsir ala Fazlur Rahman seorang pemikir Islam dari Pakistan. 

Metode Penafsiran

Metodologi penafsiran ala Amina Wadud adalah dekonstruktif-rekonstrutif, yakni merekonstruksi dan medekonstruksi tafsir klasik yang penuh akan bias patriarki. Postulat yang ia yakini adalah bahwa Al-Quran datang dengan misi untuk mendudukan laki-laki dan perempuan secara setara, argumentatif-teologis, hermeneutik-filosofis. 

Seorang mufassir mula-mula akan senantiasa didahului oleh presepsi sebagai prapaham yang dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu. Oleh karenanya seorang mufassir dituntut memahami maksud dan spirit apa yang sedang Al-Quran sampaikan. Hal ini semata-mata untuk menangkap pesan Al-Quran secara utuh. 

Untuk menghilangkan sisi subjektif dalam menafsirkan, Amina Wadud menawarkan konsep hermeneutika Al-Quran yang ia sebut dengan metode tafsir tauhid. Metode ini sangat memperhatikan tiga aspek nas yakni, konteks saat nas ditulis, komposisi nas dari sudut pandang gramatika dan nas secara keseluruhan. Pertemuan dari tiga konsep ini diyakini akan melahirkan tafsir yang objektif. 

Pada akhirnya, bagi seorang aktivis gender pemikiran Amina Wadud ini harus selalu dikembangkan. Amina hanya memberikan pisau analisis berikutnya kita harus melanjutkan dan mengaplikasikan pemikirannya. Karena disadari atau tidak, konstruk yang mengakibatkan bias gender ini sedikit banyak diperoleh dari penafsiran terhadap teks-teks agama yang dipahami bersifat patriarkis. 

*) Kader PMII Ashram Bangsa Korp Cakra Abhiseka.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال