Mengenal dan Menelaah Konsep Syukur Abu Hasan Al-Shadhili

Abu al-Hasan al-Shadhili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau 1197 M. Ali, panggilan al-Shadhili sejak kecil, adalah anak yang baik dan rajin. Ia didik oleh orang tua yang baik dan bijak, maka tak heran al-Shadhili kecil sudah mampu menghafal Alquran dan belajar untuk menerapkan al-Sunnah. 

Minat pada keilmuan terus ditanamkan, sehingga pada usia 6 tahun sudah meninggalkan desanya untuk mengembara mencari ilmu ke tempat lain, yakni Tunisia. Ketika al-Shadhili berada di Tunisia, dia bertemu dengan Nabi Khidir AS dan mendapat kabar bahwa al-Shadhili akan menjadi seorang waliyullah yang berkedudukan tinggi.

Al-Shadhili memiliki nasab yang bersambung kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Urutan al-Shadhili dalam nasab adalah keturunan ke-22 dari Muhammad SAW. Penjelasan silsilah nasab dari al-Shadhili sebagai berikut: 1) Muhammad SAW. 2) Ali ibn Abi Thalib & Fatimah al-Zahra. 3) Hasan ibn Ali 4) Hasan al-Muthanna. 5) Abdullah ibn Hasan. 6) Idris ibn Abdullah. 7) Umar ibn Idris. 8) Idris ibn Umar. 9) Isa ibn Idris. 10) Muhammad ibn Isa. 11) Ahmad ibn Muhammad. 12) Ali ibn Ahmad. 13) Bathal ibn Ali. 14) Wardi ibn Bathal. 15) Yusya’ ibn Wardi. 16) Yusuf ibn Yusya’. 17) Qushay ibn Yusuf. 18) Khatim ibn Qushay. 19) Hurmuz ibn Khatim. 20) Tamim ibn Hurmuz.21) Abd al-Jabbar ibn Tamim. 22) Abdullah ibn Abd al-Jabbar.

Syukur dalam Pandangan Al-Shadhili

Karakter ajaran tasawuf al-Shadhili terkesan memiliki corak tasawuf khas Maghribi, karena memang perkembangan rohani rohani dan keilmuannya banyak dipengaruhi oleh tempat belajarnya sewaktu di negeri-negeri Islam bagian Maghribi. 

Model tasawuf khas Maghribi kebanyakan mempunyai ciri khas menyukai keindahan dan kelembutan, dan mengajarkan supaya selalu menyukuri semua yang diberikan Allah SWT. Selain itu, ajaran dari al-Shadhili memiliki metode tasawuf yang terbilang fleksibel dan kompromis. Maka dari itu, ajaran al Shadhili selalu mengedepankan tentang keteraturan hidup, ketenangan jiwa, kerapian dan kebersihan serta keindahan. 

Kebalikan dari perihal tadi, sangat tidak dianjurkan untuk menjadi pengemis, hidup menjadi gelandangan dan sering berkeluh kesah akan kehidupan. Demikian ajaran al-Shadhili banyak dikenal sebagai tasawuf yang menempuh jalan syukur. 

Corak tasawuf yang diajarkan al-Shadhili memiliki perbedaan dengan model tasawuf klasik ala Masyriqi seperti metode Syihab al-Din al-Syuhrawardi, Abu Hamid al-Ghazali dan para tokoh tasawuf lainnya. Menurut pemikiran al-Shadhili, tradisi tasawuf klasik yang cenderung menekankan pembersihan diri dari segala keburukan dan penghiasan jiwa dengan segala kebaikan itu teramat membuang waktu. 

Banyak hal dalam kehidupan manusia yang harus dilakukan selain perkara tadi dan tidak semua orang mempunyai latar belakang yang sama. Maka dari itu, al-Shadhili berpegang pada prinsip dari gurunya yaitu ibn Masyisy untuk mempermudah dan tidak mempersulit umat. Ritual tasawuf yang telah diterapkan oleh sufi klasik dipermudah al-Shadhili tanpa mengurangi kualitasnya agar umat tidak terbebani.

Corak tasawuf klasik yang banyak diamalkan dengan memandang zuhud sebagai cara meninggalkan keduniaan dengan segala yang ada membuat al-Shadhili memberikan pemahaman lain dari perihal tersebut. 

Al-Shadhili lebih menekankan kepada muridnya tentang hakikat kezuhudan bahwa hati yang melangkah kepada Allah SWT, bukan tubuh yang melangkah. Maksud dari penyampaian al-Shadhili tersebut adalah upaya hati tetap menuju kepada Allah SWT, sedangkan tubuh boleh menjalankan perkara dalam keduniaan.

Pemahaman baru yang telah disampaikan oleh al-Shadhili itu menggambarkan bahwa zuhud tidaklah harus menghindari sesuatu yang bersifat keduniaan agar bisa melangkah kepada Allah SWT. Melakukan dan mendapat sesuatu yang bersifat keduniaan tidaklah masalah asalkan hati tetap tertuju kepada Allah SWT, dengan menanamkan rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang berbentuk pemberian akan nikmat keduniaan itu.

Pengamalan tawakal dengan penyerahan diri kepada Allah SWT, seperti tidak bekerja, tidak bermasyarakat dan mengasingkan diri karena Allah yang akan mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Begitulah pemandangan dari pemahaman tasawuf klasik yang menjamur sehingga al-Shadhili memberikan pendapat lain kepada para muridnya. 

Pandangan al-Shadhili dalam menanggapi pengamalan tawakal tersebut adalah proses yang banyak membuat kemunduran masyarakat, kemiskinan dan keterasingan sosial.

Tawakal yang diajarkan al-Shadhili adalah pasrah kepada Allah SWT di hati, akan tetapi badan tetap melakukan usaha dalam memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengingat Allah. 

Segala usaha yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup haruslah karena Allah SWT, dan segala sesuatu yang diberikan kepada kita tetaplah patut disyukuri karena Allah SWT yang telah memberi. Hanya Allah yang berkuasa dan berkehendak atas segala yang ada dan semua ketetapannya adalah kebaikan yang selayaknya untuk manusia pahami lebih dalam lagi.

Al-Shadhili menerangkan tentang keutamaan syukur dalam berbagai keadaan yang berubah-ubah karena perihal itu selalu dihadapi oleh semua manusia. Keadaan yang dimaksud al-Shadhili adalah keadaan faqd atau kehilangan akan sesuatu yang kita miliki dan keadaan wajd atau kedatangan akan sesuatu kepada kita. 

Keadaan faqd dan wajd itu bagaikan siang dan malam yang silih berganti dan semua manusia pasti pernah merasakannya. Solusi dari perkara tersebut menurut al-Shadhili sebagai berikut: pertama bersyukur atas datangnya berbagai nikmat Allah SWT, kedua rida ketika hilangnya nikmat yang termasuk keputusan Allah SWT, ketiga tetap berbahagia dan khusnudzon dengan syukur di atas derita, keempat memasrahkan semua tujuan dalam tawakal kepada Allah SWT.

Kehidupan al-Shadhili dalam kesehariannya mencerminkan segala ajaran yang disampaikan kepada para muridnya. Tasawuf yang digambarkan oleh al-Shadhili lebih bersifat moderat dan modern. 

Kecenderungan ajaran al-Shadhili dalam tasawufnya terletak pada konsep syukur dengan cinta yang selalu menghiasi segala bentuk aktivitas. Berbagai cara pandang hidup ini diwarnai dengan rasa syukur yang diimplementasikan dalam kehidupan secara individual maupun sosial. Begitulah bentuk konsep syukur yang dicerminkan oleh al-Shadhili sebagai bentuk pemikiran tasawuf yang moderat dan modern.

Al-Shadhili selalu memakai pakaian yang bersih dan indah dengan minyak wangi serta berpenampilan rapi. Karena memakai sandang yang bagus tersebut, al-Shadhili pernah ditegur oleh seorang sufi yang mengenakan pakaian dari bulu domba dan mempertanyakan kezuhudan al-Shadhili. 

Meski demikian, al-Shadhili memberikan gambaran keutamaan tentang syukur atas nikmat Allah SWT dengan pakaian yang indah. Begitu pula al-Shadhili menasihati bahwa pakaian yang lusuh sangat dekat dengan keluh kesah, sehingga perihal itu patut diwaspadai akan mendatangkan kelalaian kepada Allah dan lebih mementingkan penampilan. 

Akan tetapi, Allah tidak melihat seorang hamba dari apa yang dikenakannya melainkan ketakwaannya. Sehingga apapun yang pakaian yang dikenakan manusia tidak menjadi acuan akan ketakwaan dan juga keberadaannya di pandangan Allah.

Abu Abbas al-Mursi pernah ditegur oleh gurunya yaitu al-Shadhili, al-Mursi ditegur karena hendak memakai pakaian yang kasar dan makan roti yang keras. Al-Shadhili menerangkan kepada al-Mursi bahwa minuman yang panas jika diminum dengan ucapan hamdalah hanya akan terucap keluh kesah, sedangkan minuman yang dingin jika diminum dengan ucapan hamdalah maka akan membawa berkah. 

Al-Mursi juga mendapat nasihat bahwa pakaian yang bagus, makanan dan minuman yang lezat tidak akan menjauhkan dari Allah jika seseorang bersyukur atas segala pemberian tersebut.

Al-Shadhili memiliki ladang dan kebun yang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kegiatan al-Shadhili dalam berkebun dan bertani adalah sebuah teladan dari hidup rajin. Menjadi orang yang dermawan dengan tidak bermalas-malasan lebih baik dan orang yang meminta-minta sangat tidak dianjurkan oleh al-Shadhili. 

Bahkan al-Shadhili lebih menyukai orang kaya yang bersyukur daripada orang miskin yang sabar. Menurut al-Shadhili syukur adalah keutamaan yang ada di dunia hingga akhirat. Sedangkan sabar hanyalah keutamaan yang ada ketika di dunia saja. Pendapat al-Shadhili tersebut memang patut diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang kala itu banyak yang menyalah pahami ajaran dalam tasawuf.

Ajaran dari al-Shadhili berdasarkan syukur dengan cinta memang sangat efektif dan efisien dalam merangkul berbagai kalangan masyarakat menengah ke bawah hingga kalangan masyarakat menengah ke atas. Strata dan status sosial tidak menjadi persyaratan dalam mengikuti ajaran dari al-Shadhili dan tidak pula perlu untuk meninggalkan perihal tersebut. 

Segala perkara yang bersangkutan dengan perihal pribadi seperti pekerjaan dan kegemaran serta kegiatan yang bersangkutan dengan kemasyarakatan tidak dijadikan penghalang dan hambatan dalam menjalani ajaran al-Shadhili. Sebab al-Shadhili sendiri mencontohkan bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berladang dan berkebun, mempunyai kegemaran memelihara kuda-kuda yang bagus dan tetap bermasyarakat dengan hidup yang bermanfaat bagi sesama umat.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT dan semua manusia hanyalah dititipi apa yang telah diberikan tersebut. Pemberian Allah kepada seluruh manusia adalah sesuatu yang patut untuk disyukuri, sebab itu adalah kenikmatan meski terkadang pemberian itu berupa hal yang tidak seseorang suka. 

Apapun keadaan yang didapatkan manusia adalah pemberian yang terbaik dan merupakan sarana yang diberikan kepada manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Bersyukur dengan tulus akan segala pemberian yang berlimpah, pasti membawa keberkahan dalam kehidupan manusia. Sedangkan terlalu menghindari perkara yang bersifat keduniaan secara berlebihan hanya akan menimbulkan hilangnya rasa syukur kepada-Nya.

Banyak mengeluh dengan kehidupan adalah pengingkaran dari rasa syukur kepada Allah SWT. Semua hal sepatutnya diterima dengan baik, sebab itu pemberian dari Allah agar dimanfaatkan untuk mengabdi dengan tulus dan ikhlas hanya kepada-Nya.

Penulis : Abdur Rahmad (Anak pulau Giligenting diseberang pulau Madura. Alumni Pesantren Nurul Jadid dan Unuja, pelayan para pelayannya kader biru kuning)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال