Dr. Thaha Hussein Cendekiawan Besar Muslim, Antara Keimanan dan Kekafiran

KULIAHALISLAM.COM - Dr. Taha Hussein (15 November 1889 – 28 Oktober 1973; bahasa Arab Mesir: [ˈtˤɑːhɑ ħ(e)ˈseːn]) adalah salah satu penulis dan intelektual Mesir abad ke-20 paling berpengaruh, dan seorang kepala figur untuk Renaissance Mesir dan gerakan modernis di Timur Tengah dan Afrika Utara. 

Julukannya adalah "Bapak Sastra Arab". Taha Hussein lahir di Izbet el Kilo, sebuah desa di Kegubernuran Minya di tengah Mesir Hulu. Ia masuk ke kuttab, dan setelah itu masuk Universitas El Azhar, dimana ia belajar Agama dan Sastra Arab. Hussein adalah anak ketujuh dari tiga belas bersaudara, yang lahir dalam sebuah keluarga kelas menengah kebawah.

Sumber Gambar : Ensiklopedia Islam.Id

Hussein bertemu dan menikah dengan Suzanne Bresseau (1895–1989) ketika masuk Universitas Montpellier di Prancis. Ia menjulukinya sebagai "suara manis". Suzanne menjadi istrinya, teman terbaiknya, dan ibu dari dua anaknya dan mentornya sepanjang hidupnya. Anak-anak Taha Hussein, putrinya Amina dan adiknya Moenis, merupakan figur berpengaruh di Mesir. 

Amina, yang meninggal pada usia 70 tahun, merupakan salah satu wanita Mesir pertama yang lulus dari Universitas Kairo. Ia dan saudaranya, Moenis, menerjemahkan Adib (Intelektual) buatannya ke dalam bahasa Prancis.

Pemikiran Dr. Thaha Hussein Antara Keimanan dan Kekafiran

Pada tahun 1926 Masehi, Dr. Thaha Hussein menerbitkan sebuah buku berjudul  Fi Asy-Syi’ir al-Jahili (Tentang Syair Jahiliyah)”. Dari sekian  banyak buku yang ia tulis ditengah keterbatasannya tidak dapat melihat (buta), bukunya ini menimbulkan kontroversi yang sangat hebat di Dunia Islam khususnya Timur Tengah. 

Pada halaman 26, ia menyatakan bahwa : 

Taurat memberikan informasi kepada kita tentang Ibrahim dan Isma’il. Kemudian dia dalam Al-Qur’an diinformasikan kembali. Namun pecantuman nama kedua orang ini (Ibrahim dan Isma’il) baik dalam Taurat dan Al-Qur’an tidak memiliki bukti yang memperkuat kebesaran kedua tokoh tersebut.

Dr. Thaha Hussein juga menyatakan dalam bukunya tersebut : 

Di samping itu adanya kisah yang memberitahukan kepada kita tentang Hijrah Ismail dan Ibrahim ke Mekah dan berkembangnya bangsa Arab Musta’rabah di kota Mekah yang membuktikan kepada kita bahwa kisah ini adalah khayal tentang adanya hubungan Arab dengan bangsa Yahudi dari satu sisi dan antara agama Islam dan bangsa Yahudi serta antara Al-Qur’an dan Taurat disisi lain. Mungkin kisah yang seperti ini sudah berkembang semenjak orang Yahudi sebagai pendatang mulai menetap di sebelah Utara Semenanjung Arabia dan membangun koloni di daearah baru itu. Sebagaimana kita maklumi bahwa peperangan berlangsung terus menerus antara bangsa Yahudi dan bangsa Arab yang berakhir dengan saling mencaci. Tidak mustahil adanya perdamaian antara bangsa Yahudi dan bangsa Arab penududuk asli yang menimbulkan kisah yang menyatakan bahwa bangsa Arab dan bangsa Yahudi berasal dari satu keturunan karena mereka melihat adanya kesamaan dari kedua bangsa ini adalah Ras Semitis.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa : 

Orang-Orang Quraisy sangat percaya kepada legenda ini hingga sampai abad ketujuh masehi.

Dr. Thaha Hussein adalah pakar bahasa Arab dan sastrawan besar di Timur Tenga sehingga pernyataannya yang demikian tersebut menimbulkan protes besar-besaran dari kalangan Ulama Islam. Akhirnya pemerintah Mesir melalui Kejaksaan Mesir memanggil Dr. Thaha Hussein untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait :

  1. Keberadaan Ibrahim dan Ismail serta hijrah mereka ke Mekah adalah legenda yang mempunyai tujuaan agama dan politik;
  2. Qira’ah as-Sab’ah (Tujuh Dialek) Al-Qur’an tidak diturunkan melainkan sebagai akibat adanya perbedaan dialek dan bahasa suku-suku Arab;
  3. Agama Islam bukan agama yang pertama di Semenanjung Arabia;
  4. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bukan keturunan bangsa Quarisy.

Dr. Thaha Hussein memberikan jawaban dalam penyelidikan dan penyidikan, ia menyatakan  bahwa : 

Mungkin mempercayai keberadaan Hijrah Isma’il ke Mekah dan mempercayai pembangunan Ka’bah oleh Ibrahim dan Isma’il seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an dan mengakui turunnya Qira’ah As-Sab’ah dari Allah sebagai Muslim. Namun sebagai Ilmuawan dan Sastarwan, ia tidak mengakui dan tidak mempercayainya.

Ia menegaskan bahwa dengan tidak mengakuinya atau meragukannya adalah sebagai metode ilmiah untuk mencapai kebenaran tentang syair-syair jahiliyah dan sejarahnya. Ia menyatakan bahwa ia bukan menentang ajaran agama Islam tetapi pembahasannya berkisar pada ilmu dan pembuktian ilmu pengetahuan.

Jaksa Mesir bertanya, apakah belum cukup Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran peristiwa yang dibiacarakan Al-Qur’an ? Ia menjawab bahwa peristiwa sejarah dibagi menjadi dua macam. Pertama, peristiwa baru sesudah Al-Qur’an diturunkan itu benar. Kedua, peristiwa yang terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan yang merupakan kisah-kisah yang oleh Allah dijadikan kisah itu sebagai daya tarik sekaligus menjadi bimbingan pada umat manusia seperti peristiwa hijrah Ibrahim dan Isma’il ke Mekah.

Thaha Hussein mengakui sebagai seorang Muslim dan Mukimin harus percaya pada Al-Qur’an dan ajaran Islam, meyakini sepenuhnya apa yang dicantumkan dalam Al-Qur’an tentang Hijrah Nabi Ibrahim dan Isma’il ke Mekah namun sebagai ilmuwan dan sastrawan besar, ia tidak mempercayainya. 

Pendapat dan pemikiran Dr. Thaha Hussein tersebut tentang Al-Qur’an, sebenarnya ia ambil dari buku-buku Misionaris dan Orientalis yang memusuhi Islam, khususnya penulis Yahudi.

Banyak Ulama dan Cendikiwan Muslim yang menentang pemikiran Thaha Hussein tersebut yang mereka tulis dalam berbagai buku. Dr. Thaha Hussein sebagai pakar bahasa Arab mengajak agar mempelajari Al-Qur’an secara ilmiah. Ia berkata : 

Sudah menjadi kewajiban semua orang membaca kitab Al-Qur’an, mempelajari dan menghayati keindahan bahasanya, sekalipun orang banyak didorong untuk mempelajari Al-Qur’an namun tidak harus mereka umumkan hasil pemahaman, penelitian dan penghayatannya selama hasilnya menyentuh kesucian Al-Qur’an.

Lebih lanjut, ia menyatakan : 

Orang tidak boleh membenci Al-Qur’an, tidak boleh meletakan Al-Qur’an di tempat yang hina dan tidak boleh memberikan kritikan terhadap Al-Qur’an dalam artian orang banyak tidak boleh mengumumkan pendapat-pendapat pribadinya tentang kitab suci ini sekalipun dijadikan objek penelitian secara ilmiah tanpa melihat tanda kepada posisinya sebagai kitab suci.

Pernyataan dan pemikiran Dr. Thaha Hussein sebagai seorang cendikiwan Muslim yang pakar bahasa Arab dan sastarwan besar Timur Tengah membuatnya diambang antara keimanan dan kekafiran. Tidaklah mungkin Al-Qur’an membawakan cerita kehidupan para nabi dan rasull bertentangan dengan sejarah seperti yang diduganya atau sejarah bertentangan dengan yang dibawa Al-Qur’an.

Syekh Muhammad Abduh berkata : 

Kisah-kisah itu menimbulkan kesamaran bagi para cendikiawan menjadi kegelapan yang membinasakan. Karena tidak ada satu riwayat-pun yang dapat dijadikan alasan untuk memperkuat kisah-kisah itu semenjak dahulu tidak ditemukan berita yang memperkuatnya.

Imam Muhammad Abduh menyatakan : 

Sekarang ini sebagian besar orang mengira bahwa kisah-kisah Al-Qur’an harus sama dengan yang tercantum dalam Kitab Perjanjian Lama dan buku-buku sejarah. Kita tidak boleh menganggap Al-Qur’an itu samar. Suatu prinsip yang harus diyakini orang beriman adalah Al-Qur’an adalah tolak ukur dari semua buku sejarah dan kitab-kitab suci yang lain. 

Al-Qur’an tidak pernah berubah, Allah berfirman dalam Q.S Al-Maidah ayat 48 :


وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

Arab Latin: Wa anzalnā ilaikal-kitāba bil-haqqi musaddiqal limā baina yadaihi minal-kitābi wa muhaiminan 'alaihi.

Artinya: Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur'an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya).

Syekh Muhammad Syaltut, Ulama besar Al-Azhar, Mesir menyatakan bahwa : 

Sesungguhnya Al-Qur’an apabila dipelajari dengan metode yang salah akan mengurangi kesuciannya, hilang kebenarannya, menggoyahkan sendi-sendi iman.

Syariat dan berita-berita yang terjadi pada hari yang akan datang, kebangkitan, hari perhimpunan, hari perhitungan,surga dan sebagainya membuka pintu untuk menuduh siapa saja yang menceritakan hal itu dikatakan bahwa kata-kata itu tidaka ada konotasinya. 

Memang yang seperti itu tidak dapat dibuktikan secara empiris. Semua cerita-cerita itu dapat menumbuhkan kesadaran dan menunjukan keagungan Allah serta memperkuat jiwa dan memperbaiki kehidupan umat manusia.

Sumber : Wikipedia dan Al-Milal wa An-Nihal karya Imam Syahrastani dan diterjemahkan Prof. Asywadie Syukur. Lc. Terbitan PT.Bina Ilmu


 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال