Mensterilkan Falsafat Lima Kekal Abu Bakar Al Razi

KULIAHALISLAM.COM - Pertikaian intelektual antara kaum fuqaha dan tokoh filsuf telah tercatat dalam tinta sejarah sebagai rujukan holistik keilmuan dalam dunia Islam, sebab dengan adanya perbedaan pandangan keilmuan itu, banyak melahirkan budaya keilmuan yang dampaknya sangat penting untuk menjawab problematika dunia modern. 

Kaum Fuqaha dengan segala macam dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis menciptakan sebuah keilmuan yang sudut pandangnya adalah doktrin mutlak sebagai rujukan mencari kebenaran dalam kehidupan. Sementara kalangan filsuf muslim lebih memaksimalkan menggunakan akal rasio mereka untuk menentukan kebenaran sebagai jawaban problem kehidupan. 

Problem inilah yang menjadi masalah besar umat Islam, disisi lain bahwa akal rasio bersifat bebas, kebebasan ini memiliki potensi untuk lepas dari ikatan syariat agama Islam. Namun di sisi lainnya, dengan doktrin agama yang kuat juga dapat menjadikan manusia lemah, dalam artian tidak mampu bersaing dengan perkembangan zaman. 

Dua objek ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing pihak, misalnya dengan doktrin Islam bersanad yang di ajarkan kaum fuqaha maka akan terjaga kemurnian ajaran Islam. Namun dengan akal rasio filsuf muslim, manusia mampu menyeimbangi perkembangan kehidupan dunia agar peradaban Islam tidak kalah dari kaum kafir. 

Dan telah terbukti tercatat dalam sejarah bahwa tokoh-tokoh filsuf muslim adalah rujukan utama dunia sekarang dari beberapa keilmuan di seluruh bidang ilmu umum. Misalnya Al kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali dan Al Razi. Al Razi adalah salah satu contoh yang terkenal sebagai ilmuwan Islam dunia yang dianggap sebagai pakar sains kedokteran, filsafat. 

Dalam pandangan filsafat, Al Razi membagi lima kekal dalam falsafatnya sebagai kekekalan selain Tuhan. Yakni Tuhan, roh, materi, ruang dan masa. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam lewat sudut pandang syariat fikih yang merupakan kepercayaan terhadap yang maha kekal abadi hanyalah Tuhan sedangkan yang lainnya hanyalah makhluk yang fana. 

Al Razi menempatkan Tuhan dan roh di kelas yang sama karena sifatnya hidup dan aktif, sedangkan materi, ruang dan masa di kelas yang sama karena sifatnya pasif dan saling terikat. 

Dalam pandangan seorang pemikir muda, Al Zaiban, ia mencoba mengkaji masalah ini dengan tidak menyetujui secara langsung pemikiran falsafat Al Razi namun tidak juga mengikat langsung dengan doktrin syariat Islam dalam kacamata fikih, melainkan memadukan keduanya agar lebih mudah diterima oleh berbagai latar belakang kelimuan islam lainnya. 

Al Zaiban mencoba membagi lagi kekekalan ini menjadi dua bagian yakni kekal abadi dan kekekalan yang bergantung pada kekal abadi.

Pertama, Kekal Abadi

Al Zaiban menempatkan Tuhan secara tunggal pada bagian kekal abadi. Sebab dengan kekuasaan Tuhan dan statusnya sebagai pencipta maka selain itu hanyalah makhluk ciptaan yang berada dalam kuasanya. 

Dalilnya yakni bahwa roh adalah makhluk yang merupakan bagian dari zat atau zat turunan dari Tuhan, tapi ia bukan Tuhan sebab bisa saja musnah atau fana jika Tuhan berkehendak untuk memfana'kannya. Maka disini dapat kita lihat bahwa kekalnya Tuhan berdiri sendiri, sedangkan roh masih bergantung pada penciptanya. 

Roh ini memiliki substansi yang sama dengan substansinya Nur Muhammad dan 'Arsy. Sebab mereka merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan dari bagian zat ketuhanan itu sendiri. Mereka suci dan tak terbayangkan secara sempurna oleh akal manusia, karena bagian dari rahasia Allah SWT. 

Maka dari itu substansinya berbeda dengan Tuhan. Rasanya kurang bijak jika menempatkannya dalam strata bagian yang sama hanya karena sifatnya hidup dan aktif, sebab nantinya berpotensi dapat disalahpahami yang menimbulkan pertentangan dan kontroversi. 

Dasarnya adalah falsafat emanasi yakni bahwa segala yang ada hanyalah pancaran dari yang ada. Atau dalam falsafat Islamnya bahwa segala yang ada adalah bagian dari eksistensi wujud Tuhan (pantheisme). 

Misalnya analogi terhadap matahari, yang tertutup oleh awan yang gelap hingga sinarnya tidak sampai pada bumi dan di sebutlah mendung. namun matahari tersebut tetap dikatakan "ada" Meskipun sinarnya tidak ada atau tidak sampai pada bumi. 

Artinya sinar matahari dapat saja di sebut fana' atau hilang karena hanya bagian dari matahari yang sampai ke bumi. tetapi sebaliknya matahari tetap ada dan tidak bisa dikatakan tidak ada hanya karena sinarnya tidak sampai pada bumi. Namun analogi ini tidak dapat di jadikan dalil mutlak, sebab substansi matahari dan Tuhan berbeda. Maka dari itu sebagai gambaran umum untuk menjelaskan teori ini saja. 

Kedua, Kekekalan yang Tergantung Pada Kekal Abadi

Yakni kekekalan yang kekalnya bersifat pasif atau menerima. Artinya kekekalan ini tidak tercipta melainkan dari kekal pertama yang abadi. Dengan adanya kekal pertama (baqa) yang bersifat aktif maka diciptakan kekal kedua yang bersifat pasif. Pasif disini dibaginya lagi menjadi dua bagian yakni;

Pasif khusus 

Ia menempatkan roh dalam bagian pasif khusus, sebab roh memang hidup dan aktif tapi kehidupan dan keaktifannya masih bergantung dari Tuhan yang menciptakan hidup dan aktif. Artinya ia masih menerima (pasif) dari yang memberi (aktif) yakni Tuhan. Namun dalam kepasifannya, roh menerima hal yang lebih khusus untuknya yakni kehidupan dan keaktifan itu sendiri. 

Pasif Umum 

Bagian ini di tempati oleh materi, ruang dan masa. Namun disini materi menjadi sebab utama atau perwakilan awal dari adanya ruang dan masa. Karena, seperti kata Al Razi bahwa materi tidak hidup dan pasif artinya ia hanya menerima suatu hal dari yang memberi yakni Tuhan. Namun di dalamnya terletak hukum kausalitas. sebab dengan adanya materi tidak boleh tidak memiliki tempat dalam ruang.

Dan materi pun mengalami perubahan maka perubahan itu menandakan adanya masa (zaman). Artinya jika materi kekal, maka ruang dan masa juga ikut kekal. Ruang dan masa tidak hidup dan tidak pasif. Sebab mereka ikut sebagai pembawaan dari sebab utama adanya yakni materi.

Demikian adalah cara sudut pandang yang menetralisirkan filsafat Al Razi tentang lima kekal dengan tidak menentangnya dengan pandangan syariat dan akidah tetapi dapat memadukan keduanya dengan menyusun kembali poin penting yang bermakna kontroversi sehingga maknanya dapat dipahami lebih moderat dan dapat pula diterima dalam pandangan akidah, fikih bahkan taaawuf sesuai syari’at Islam.

Penulis: Muthawally Al Zaiban, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال