Krisis Spiritual Abad Pertengahan Prespektif Sayyed Hossein Nashr

KULIAHALISLAM.COM - Dunia barat awal modern yang di mulai dari abad ke 17 merupakan awal kemenangan bagi dunia barat dalam memajukan peradaban. Muncul berbagai aliran seperti Rasionalisme, empirisme, positivisme, dan masih banyak yang lain. 

Pada saat itu pengetahuan yang bersifat inderawi jauh lebih di utamakan daripada yang bersifat metafisik. Rasional jauh di utamakan daripada irasional. Tentu dalam hal itu, peradaban barat menganggap agama hanyalah sebagai doktrin biasa. 

Yang di anggapnya irasional, yang di anggapnya hanya ilusi belaka. Banyak para filsuf pada masa ini yang atheis. Seperti David Hume, Ludwig Feurbach, Karl Marx, dan masih banyak yang lain. 

Salah satu tokoh ekstrem yang ada pada saat itu adalah Niestche. Ia sampai mengatakan bahwasanya Tuhan telah mati. Dimana tulisannya selalu mengarah kepada Kritik terhadap agama ataupun Tuhan. Pandangan hidup inilah yang mewarnai dunia peradaban barat modern pada saat itu. 

Ilmu pengetahuan adalah segala-galanya bagi dunia barat modern pada saat itu. Akibatnya manusia pada saat itu menjadi pemuja ilmu pengetahuan tanpa di dasari spiritualitas yang kuat dalam diri masing-masing. 

Sangking ekstremnya, manusia pada saat itu memberontak dan melawan Tuhan dengan menciptakan sebuah sains yang hanya berlandaskan pada rasio (akal) manusia. Manusia modern di Barat sengaja membebaskan dirinya dari tatanan Ketuhanan, untuk membangun tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia. 

Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputus dari nilai spritualnya. Namun ironisnya, pada akhirnya manusia modern barat tidak bisa menjawab persoalan tentang kehidupannya sendiri. Yang ada hanyalah rasa cemas dan rasa ketidakbermaknaan dalam hidup. Hati menjadi hampa dan akibatnya kehidupan begitu tidak ada gunanya.

Sayyed Hossein Nashr memiliki pandangan untuk menyelesaikan persoalan tentang kehampaan dalam spiritualitas jiwa. Bagi Sayyed Hossein Nashr, pada hakikatnya manusia memiliki 3 unsur, yaitu jasmani, jiwa, dan intelek. 

Yang pertama jasmani, ialah biasa kita sebut dengan badan atau tubuh. Seperti makanan dan minuman itu merupakan kebutuhan tubuh agar kita tetap sehat dan bisa beraktivitas. Yang kedua ialah jiwa, merupakan hakikat dari tubuh kita. 

Dimana jiwa juga di artikan sebagai perasaan, emosi, pikiran atau angan-angan. Tanpa jiwa manusia tak akan menjadi manusia yang seutuhnya. Karena adanya jiwa maka manusia bisa memiliki keinginan. 

Keinginan yang selalu ingin dekat kepada sang Ilahi. Yang ketiga adalah intelek. Intelek sama dengan mata hati. Begitu mata hati tertutup maka kita tidak mungkin mencapai pengetahuan yang esensial tentang hakikat manusia. 

Maka dari itu, perlu kita sebagai manusia menyeimbangkan ke tiga hal tersebut. Jika manusia hanya mengedepankan aspek lahiriah saja, maka apa bedanya manusia dengan binatang. Maka dari itu ketiga tiganya tidak boleh berjalan dengan sendirinya. Harus saling berdampingan agar seimbang.

Dunia barat pada saat itu terlalu mengandalkan kekuatan nalar atau rasio. Sehingga ia tenggelam di dalam pemikirannya, pada akhirnya mata hatinya menjadi tertutup. 

Maka dari itu manusia harus sering mengasah kekuatan intelektual agar kesadaran akan ilahiah ini ada dengan cara mengimplementasikan ajaran ajaran sufisme. 

Dengan tasawuf lah akan terjadi keseimbangan antara kekuatan rasio yang berada di otak dengan kekuatan intelek (mata hati). Mulai dengan dari taubat, zuhud, dzikir, wara, sabar, dan masih banyak yang lain. 

Dengan demikian menurut Nasr, apabila manusia modern ingin mengakhiri kekeliruan berpikir dan kesesatan yang timbul akibat perbuatan sendiri, lantaran semakin disingkirkannya dimensi keilahian dalam jiwa, maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali. 

Karena inilah, Nasr memilih tasawuf sebagai alternatif manusia modern agar jiwa ini tidak dihinggapi oleh kehampaan spiritual dengan melakukan amalan-amalan tasawuf. Mengapa demikian? 

Karena ilmu tasawuf sendiri merupakan bagian inti dari pewahyuan Islam. Selain itu tasawuf juga memberikan energi dan semangat ke dalam tubuh, jiwa, dan intelektual kita. 

Maka dari itu, tak terlepas dari itu semua Sayyed Hossein Nashr menyimpulkan bahwasanya semua permasalahan dalam sejarah Islam tidak mungkin mampu diselesaikan tanpa memandang peran yang telah dimainkan tasawuf.

Penulis: Muhammad Toha Sobirin (Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال