Implementasi Aswaja Ala NU

KULIAHALISLAM.COM - Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) masih menjadi tema pembahasan yang hangat dalam perspektif kajian akademik, sehingga tetap menarik untuk dikaji secara lebih dalam lagi. 

Aswaja juga telah menjadi “rebutan” dari berbagai aliran atau organisasi Islam yang dijadikan sebagai simbol identitas mereka. Baik organisasi Islam yang terkenal maupun tidak, menurut mereka sah-sah saja mengaku sebagai Aswaja dalam rangka untuk mencari pengikut.

Salah satu konsep dari pemahaman Aswaja yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini lebih ke sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak atas hal-hal yang sifatnya ekstrem. 

Tasamuh, merupakan sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran

Nahdlatul Ulama (NU) menjadi sebagian besar ormas terbesar yang ada di Indonesia, bahkan didunia juga memiliki khashaish atau memiliki ciri khas didalam memahami Aswaja telah ditetapkan bahwa didalam Anggaran Dasar NU;

Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Pernyataan diatas bermaksud menginformasikan bahwa Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi. 

Kemudian, Nahdlatul Ulama juga mengikuti jalan pendekatan salah satu dari mazhab Abu Hanifah Al Nu’man, Imam Malik Ibn Anas, Imam Muhammad Ibn Idris Al Syafi’i, dan Ahmad Ibn Hanbal. Begitu pula dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Baghdadi, Imam Al Ghazali serta imam-imam yang lain. 

Poin tentang akidah, asas, dan tujuan NU tersebut menjadi penting untuk diperhatikan, karena hal ini merupakan satu pokok yang apabila tidak ada atau lenyap dari NU, maka NU tidak lebih hanya sekadar nama yang roh dan jasadnya sudah hilang. 

Sementara, menurut K Dawam Anwar, memahami Aswaja sebagai Islam itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti sama dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan zaman).

Terdapat beberapa kelompok juga yang menyamakan antara akidah NU dan FPI (Front Pembela Islam). Sama-sama berpengang paham akidah Asy’ari. Sama-sama mengakui bahwa empat mazhab dan mengakui tasawuf. Memang benar demikian. Konsep Aswaja NU sama persis dengan FPI. Walau sama persis, namun NU dan FPI memiliki perbedaan dalam hal metode dakwah dan memahami ideologi kebangsaan.

Nahdlatul Ulama didalam metode dakwahnya menggunakan pendekatan dakwah persuatif sebagaimana yang telah diajarkan Walisongo melalui mengedapankan akhlak dengan cara damai dan santun. Sedangkan Front Pembela Islam (FPI), ia menggunakan metode yang lebih bersifat represif, yakni kekerasan sehingga wajar jika didalam penyampaian dakwah FPI kerap diwarnai kericuhan. 

Didalam bidang fikih juga terdapat pengembangan yang dilakukan pengikut masing-masing mahzab. Seperti, mazhab Abu Hanifah dikembangkan antara lain oleh Abu Yusuf, mazhab Malik oleh Al Syatibi, mazhab Syafi’i oleh Al Nawawi, dan mazhab Ahmad Ibn Hanbal oleh Ibn Taimiyah. 

Setiap mazhab melakukan kajian terhadap fikih mazhab dan memilih beberapa bagian yang menjadi konsep pendiri mazhab dan dikembangkan sesuai pemikiran mereka.

Selain itu, dalam bidang tasawuf Imam Al Junaid juga membangun Al Junaidiyah tetapi kurang popoler di kalangan NU. SementaraAl Ghazali tidak membangun tarekat. Hanya saja tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia dewasa ini memiliki konsep sufisme yang menginduk kepada kedua konsep sufi tersebut. 

Meskipun mereka memiliki konsep tarekat yang berbeda secara parsial tetapi secara umum didalamnya merupakan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Demikianlah Aswaja dapat ditransformasikan pada kehidupan sehari-hari dengan melakukan rekontruksi terhadap penampilan NU, sehingga NU menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia bukan hanya dalam jumlah populasi, tetapi juga harus diupayakan menjadi organisasi Islam terbesar dalam kualitas, sehingga NU memiliki daya tarik dan daya tawar yang tinggi baik daya tawar politik maupun daya tawar sosial. 

Begitu juga tidak lepas dengan kualitas yang terbina secara baik dan selalu dipertahankan maka NU akan sangat diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, bahkan bisa jadi termasuk masyarakat Internasional. 

Nah, untuk merealisasikan idealisme ini, NU juga dipandang untuk perlu melakukan empat macam tindakan tersebut, yaitu memperkokoh etika berorganisasi melalui penguatan manajerial dan leadership, merealisasikan keteladanan bermasyarakat dan bernegara, membangun dan memperkokoh sumberdaya manusia dalam berbagai bidang segala keahlian.

Serta membangun dan mempertahankan kekuatan-kekuatan strategis pada berbagai dimensi kehidupan kontemporer. Keempat tindakan ini dapat digerakkan secara sinergis dalam mencapai tujuan yang sama, yaitu NU mampu menumbuhkan kesejahteraan warganya yang berdampak pada bangsa dan Negara.

Penulis: Nuril Karomatillah Arifah (UIN Sunan Ampel Surabaya Akidah dan Filsafat Islam)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال