Hubungan Etika Dalam Al-Qur’an dan Filsafat

KULIAHALISLAM.COM - Ajaran dalam agama Islam tidak lain adalah bersumber dari Allah melalui wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dan dikumpulkan menjadi satu yaitu pada Al-Qur’an. Al-Qur’an juga merupakan pedoman hidup bagi manusia di dunia dan akhirat.

Namun Al-Qur’an sebenarnya tidak hanya menjadi pegangan pada umat Islam saja, tetapi Al-Qur’an juga seringkali menunjukkan bukti kebenarannya pada fenomena dalam kehidupan manusia secara menyeluruh.

Tidak jarang juga ilmu pengetahuan sains dan filsafat memiliki beberapa persamaan dan hubungan dengan ayat-ayat pada Al-Qur’an. Dalam QS Al-Imran ayat 190-191, Allah telah berfirman :

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal."

"Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." 

Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa sesungguhnya Allah menginginkan kita untuk berpikir secara kritis dalam menghadapi kehidupan di dunia ini. Hal tersebut sama bahwa filsafat yang penekanannya terletak pada metode berpikir kritis memang telah dijelaskan pada Al-Qur’an.

Al-Qur’an dan filsafat merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dapat dikatakan dapat memberi petunjuk kepada kehidupan manusia. Yang menjadi perbedaan adalah filsafat didasarkan pada kesadaran dan kemaampuan kritis manusia pada dunianya melalui pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan Al-Qur’an didasarkan wahyu yang telah diberikan-nya, dimana segala ketentuan dan petunjuk telah dijelaskan di dalamnya. 

Dalam Islam banyak ditemukan para tokoh-tokoh filsafat dan ilmuwan Islam seperti Al-Kindi, Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Muhammad Iqbal, dimana pemikiran mereka juga dilandasi dengan ajaran-ajaran Islam dan Al-Qur’an.  Apakah sebenarnya hal tersebut hanya kebetulan atau memang sepertinya ilmu dari filsafat dan sains adalah pemberian dari Allah yang telah dijelaskan pada Al-Qur’an. 

Kehidupan manusia di dunia secara tidak sadar akan menuju kepada sisi kebaikan (etika) serta keindahan (estetika). Dalam bidang ilmu filsafat dan ayat-ayat Al-Qur’an banyak yang membahas kedua topik tersebut, terutama kajian etika. Etika dalam Islam merupakan suatu upaya yang mengatur manusia kepada akhlak yang luhur dan meluruskan segala tindakan atau perbuatan manusia sesuai dengan petunjuk Allah SWT. 

Etika dalam Islam juga banyak membicarakan perilaku manusia antara baik dan buruk menurut pertimbangan Al-Qur’an dan hadis. Di dalam Al-Qur’an telah banyak dijelaskan perintah untuk beretika dalam kontkesnya masing-masing seperti pada QS. Al Mu’minuun: 3, QS. Al Israa’: 36, dan QS. Al Baqarah: 2.  

Dalam filsafat, argumen tentang etika telah dijelaskan untuk pertama kalinya oleh Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Seperti halnya Al Ghazali dalam filsafat Islam juga telah menjelaskan bahwa akhlak (etika) merupakan suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu direncanakan.

Dari kedua pernyataan tersebut dapat kita pahami bahwa etika adalah watak atau karakter yang tertanam dalam hati manusia dan merupakan sumber perbuatan tanpa direncanakan. Dalam dunia filsafat Barat juga ditemukan istilah etika sekuler yang merupakan produk dari aliran sekularisme. Etika sekuler memandang bahwa pergaulan di dunia itu selalu dihadapkan pada dua hal, yaitu yang berakibat baik dan yang berakibat buruk. 

Prinsip dasar etika sekuler dengan etika Islam setidaknya memiliki persamaan yaitu menentukan sisi baik dan buruk manusia. Perbedaannya adalah asumsi dasar etika sekuler lebih mengedepankan moralitas perbuatan manusia di dunia saja dan tidak mementingkan etika untuk kehidupan akhirat. Landasannya adalah lebih baik berhenti dari perbuatan buruk dan kembali “wajar” daripada terlanjur parah. 

Etika dalam Al-Qur’an yang dilakukan oleh agama dan filsafat harus dilakukan dengan seimbang. Jika agama yang dilakukan tanpa etika, maka sama saja manusia hanya menjadi budak dogmatika (moralitas budak), seperti halnya yang dikatakan oleh Nietzsche, seorang filsuf eksistensialis. 

Sebaliknya, jika manusia hanya melakukan etika tanpa agama, maka manusia akan kehilangan “makna” dan menjadi pendorong pada praktik orientasi. Etika tanpa agama menyebabkan kehidupan spiritual manusia menjadi kering, sedangkan agama tanpa etika juga menyebabkan kehidupan manusia menjadi hambar.

Dengan penjelasan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa etika dalam Al-Qur’an dan filsafat sebenaarnya memiliki hubungan, yaitu memperbaiki perilaku manusia. Meskipun dalam bagian tertentu terdapat perbedaan, misalnya pada etika sekuler yang menyampingkan agama, namun keduanya menuju pada kebaikan atas perilaku manusia. 

Penulis: Naufal Robbiqis (Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال