Gus Ulil: Andaikan Ulama Menanamkan Ilmu Hanya Karena Allah SWT

KULIAHALISLAM.COM - Jika Imam Abul Hasan Al Asy’ari (panutan teologi kaum Sunni) di tuduh atas sumber kemunduran sains di dunia Islam karena ajarannya yang menolak teori kausalitas (nadzariyyah al-illiyyah), hukum sebab-akibat, maka Al Ghazali di tuduh sebagai biang kerok kematian filsafat dalam dunia Islam. Tak segan-segan, penganggit kitab Ihya’ itu, juga dianggap dalang atas matinya filsafat di dunia Islam.

Tuduhan bahwa Al Ghazali sumber kemunduran dunia Islam (dari dulu hingga sekarang) sudah tak asing dikalangan para pemikir sarjana Islam. Melalui kitabnya Ihya’, acap kali Al Ghazali dianggap telah menanamkan mentalitas pasrah dan menyingkir dari dunia. Ini yang menyebabkan kemunduran Islam, katanya.

Boleh jadi, orang yang menganggap demikian itu karena ilmunya tak sebanding dengan sang Hujjatul Islam itu (belum tuntas membaca karya-karyanya). Kemungkinan juga, mereka menginginkan pangkat lebih di mata masyarakat saat itu. Kita sepakati, bahwa Al Ghazali adalah ilmuan yang sangat bijak.

Ia juga dikenal sebagai faqih, filsuf, sufi dan sekaligus tokoh reformasi keagamaan dan kemasyarakatan yang memiliki pengaruh luar biasa dalam sejarah Islam. Saking alimnya, hingga sang guru Imam Al Juwaini menyifatkannya dengan perkataan: “Al Ghazali adalah lautan dalam yang tak bertepi”.

Karena itu, tak heran jika mereka menghasud dan mencecar bahkan mengumumkannya bahwa Al Ghazali adalah satu tokoh yang tak patut untuk di ikuti. “Andaikan mereka (pengkritik) menanamkan dan menyebarkan ilmu karena Allah SWT maka tak mungkin terjadi hasud menghasud.”

Pengkritik maksudnya, mereka bukan melakukan kritik yang membangun, melainkan kritik yang disertai hasud, meskipun ada kritik yang membangun seperti Ibnu Rusyd dan lainnya. Dan inilah yang menjadi pembahasan tulisan kali ini (hasil Ngaji Ihya’ semalam). Bagaimana itu?

Faktanya, siapapun yang menyebarkan ilmu semata-mata karena Allah SWT maka sifat hasad tidak akan pernah muncul sama sekali sedikitpun. Itu sebabnya, jika ada diantara para ulama (alim) yang hasud karena ilmunya, maka asal muasalnya dalam menyebarkan (memberikan) ilmunya bukan karena Allah SWT melainkan karena ada faktor lain.

Gus Ulil mengatakan, ilmu itu tidak seperti harta. Jika seseorang sudah memiliki satu jumlah harta, maka otomatis orang lain akan tersingkir (karena sudah tidak punya hak memiliki). Maka, otomatis akan memunculkan (pangkat) kedudukan sosial yang menyebabkan hasud (antara si kaya dan si miskin).

Sedangkan ilmu yang dikuasai seseorang tidak eksklusif, karena orang lain bisa mengaksesnya atau memilikinya. Mengapa demikian? Ilmu bisa dipelajari dan dikuasai kemudian diajarkan kepada orang lain (termasuk ilmu yang dipelajari otodidak). Dengan demikian ilmu yang diajarkan kepada orang lain tidak akan berkurang. Inilah bedanya dengan harta (materi).

Gus Ulil juga menegaskan bahwa, umumnya kejadian di masyarakat, jika hati seseorang sudah terpikat oleh seseorang yang alim, biasanya hatinya berpaling dari memuliakan orang lain (menjadi fans berat). Karenanya, jika ada orang menjadi pengikut kiai si A dan tidak memuliakan kiai B, maka si kiai B bisa jadi hasud karena iri pada kiai A yang memperoleh kemuliaan (kedudukan di hati masyarakat).

Inilah salah satu yang menjadi penyebab hasud (karena saling bertikai ingin menjadi sosok yang memperoleh perhatian publik). Begitu juga sebaliknya, jika hati dipenuhi kegembiraan semata karena Allah SWT (mencari makrifatnya), maka akan mencegah munculnya hasud di dalam hati. Lalu apa bedanya antara ilmu dan harta?

Yang jelas, harta tak mungkin berada di tangan seseorang selama masih berada di tangan orang lain. Dalam hal ini, berbeda dengan ilmu yang bisa dimiliki secara permanen di hati orang lain, karena ilmu diajarkan dan diberikan kepada orang lain tanpa sedikitpun pergi (tak berkurang) dari hatinya sang muallim (pengajar).

Syahdan, sesuatu yang berupa harta benda pasti ada batasnya. Sekali lagi, jika ada yang menguasainya, maka tak ada sisa bagi orang lain untuk menguasai. Sementara ilmu tak ada batasnya, dan selalu ada bagian (bahkan kewajiban) bagi orang lain untuk menguasainya. Lebih dari itu, orang berilmu akan menjadi ahli fikir serta merenungkan semua nikmat Allah SWT yang ada di bumi dan dilangit.

Demikian keagungan ilmu Allah swt. sangat dahsyat. Tak ada nikmat yang luar biasa dari pada nikmat berpikir. Siapapun ketika memahami keagungan Allah SWT tak akan membuat dirinya terdesak oleh orang lain. Tak ada yang bisa membuatnya tersinggung (atau vakum), karena akses menuju keagungan-Nya sangat banyak.

Pun juga, dengan keagungan Allah SWT tidak ada hasud dalam hati orang-orang yang mengagumi keagungan-Nya. Sebab, jika seseorang telah (sudah sampai) memiliki makrifat, maka tidak akan berkurang makrifat yang sudah dimilikinya.

Alih-alih berkurang, bahkan semakin bertambah kelezatan makrifatnya untuk bersahabat antar satu dengan yang lain (mereka merasa senang akan makrifatnya). Itu artinya, orang-orang yang punya pemahaman akan keagungan Allah SWT dan menelaah keajaiban-Nya secara terus menerus, nikmat kelezatannya akan lebih besar dari pada melihat pohon-pohon dan kebun-kebun surga kelak di akhirat.

Nikmat ini menjadi satu bagian yang melekat pada diri orang-orang arif. Orang arif akan mudah memetik buah makrifat dari ilmunya. Sekalipun orang arif memejamkan mata lahirnya, maka ruhnya (mata batin) akan selalu bersenang-senang karena melihat kebenaran dan menikmati ilmu.

Dari sini kita paham, andaikan seseorang memiliki banyak pengetahuan tentang makrifat, maka antara satu dengan yang lain tak akan saling hasud menghasud. Dan begitulah potret keadaan para arifun selama di dunia hingga kelak di akhirat, yang patut dan harus dicontoh oleh generasi milenial di tengah kering-kerontangnya nilai keagamaan. Utamanya nilai kemanusiaan (yang sudah rapuh) di zaman modern ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Dur, patut di teladankan. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال