Tasawuf Falsafi: Rabiah Al Adawiyah dan Cintanya Pada Sang Khaliq

Tasawuf Falsafi: Rabiah Al Adawiyah dan Cintanya Pada Sang Khaliq

Oleh: Luluk Farida, Mahasiswa Akidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

KULIAHALISLAM.COM - Tasawuf secara singkat ialah menyucikan jiwa yang kotor dari dosa. Tasawuf falsafi berarti menyatukan rasio dan juga penyucian jiwa, atau bisa dikenali dengan pemahaman batin dan juga akal menjadi satu. 

Tasawuf falsafi yang membahas tentang Mahabbah dan juga Makrifat yang dibawa oleh Rabbiatul al-'Adawiyah mengenai persoalan bagaimana kita bisa mengenal sang Khaliq. 

Mahabbah atau Cinta adalah prinsip yang menghubungkan antara hamba dengan Tuhannya, sehingga ia patuh, tunduk, membenci sikap yang menghalangi cintanya, dan sepi hatinya dari sesuatu selain Allah SWT. 

Makrifat secara bahasa juga berarti mengetahui sesuatu apa adanya atau ilmu yang tidak lagi menerima keraguan. Sedangkan menurut istilah para sufi, makrifat secara umum diartikan sebagai melihat Tuhan dari dekat dengan menggunakan mata hati.

Lalu Bagaimana Menyikapi Cinta Kepada Sang Tuhan ? 

“Mahabbah Ilahi-nya“ itu yang terucap oleh Rabbiyatul al-‘Adawiyah untuk menyatakan cintanya kepada sang Ilahi. Rabbiyatul al-’Adawiyah adalah seorang Sufi perempuan. 

Dalam tasawuf falsafi hubungan mahabbah menjadi tingkatan paling tinggi. Serta makrifat yang bersanding dengan mahabbah. 

Sering kali manusia lupa bahwa semuanya itu akan kembali kepada sang Khaliq. Amal serta dosa yang berada pada diri manusia Allah mencoba memberikan kesempatan untuk bertaubat kepada-Nya. Lalu bagaimana kita bisa pada tahap tersebut? 

Rabi’ah mencintai Allah karena mengharapkan surga-Nya, atau karena takut neraka-Nya sehingga ia selalu berdoa: 

Ya Tuhan, apakah Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, yang lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hatinya selalu bertakwa pada-Mu?

Setelah menyadari bahwa cinta yang seperti itu adalah cinta yang sangat sempit, ia kemudian meningkatkan cinta Allah dan mencintai Allah itu bukan karena apa-apa, karena memang Allah patut dicinta. 

Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT adalah cinta yang tulus, dan bukan karena surga ataupun neraka. Bahkan suatu saat ketika Rabi’ah sakit, ia ditanya tentang penyebab penyakitnya. Lalu, Rabi’ah menjawab bahwa penyebab sakitnya adalah karena tergoda oleh surga sehingga ia merasa dicela oleh Tuhannya. 

Dilihat dari segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj, sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabah orang biasa, mahabah orang shidiq, mahabbah orang yang arif. 

Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.

Perjalanan menuju mahabbah melalui beberapa tahapan panjang. Tahapan pertama melalui zuhud (meninggalkan perkara dunia), tahapan kedua rida (jiwa yang rida adalah jiwa yang luhur) tahapan ketiga yakni ihsan (melakukan ibadah seakan-akan melihat sang Khaliq). 

Sebagaimana dikutip oleh Hamka, Mustafa Abd al-Raziq pernah berkata bahwa sebelum Rabi’ah, tasawuf itu masih bersifat sederhana. Belum ada metode atau tahapan-tahapan tertentu. Maka, tepat jika dikatakan Rabi’ah ini adalah guru bagi para sufi yang datang setelahnya. 

Terkait landasan teologis konsep mahabbah ini, Nasution mengatakan bahwa konsep mahabbah ini mempunyai dasar yang kuat baik dari Alqur’an maupun al-Hadis. Di antaranya QS. al-Ma’idah ayat 54, QS. Ali Imran ayat 31, serta hadis berikut: 

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan baik, hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata, dan tangan-Ku. 

Nasution menyatakan, belakangan al-Sarraj membagi mahabbah menjadi tiga tingkatan, yaitu: 

  1. Cinta biasa dengan selalu mengingat Tuhan dengan zikir.
  2. Cinta orang yang siddiq dengan cara mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. 
  3. Cinta orang yang arif. Cinta seperti ini timbul karena betul-betul telah tahu terhadap Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. 

Ketertarikannya terhadap Cinta sang Khaliq, sebagaimana beliau menjadi cinta yang candu seperti manusia biasa beliau pun menciptakan syair yang sangat indah untuk sang Khaliq.

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta

Cinta karena hasrat diriku kepada-Mu

Dan cinta karena hanya Engkau yang memilikinya

Dengan cinta hasrat, aku selalu sibuk menyebut nama-Mu

Dengan cinta karena diri-Mu saja, dan tidak yang lain

Karena aku berharap Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu

Agar aku bisa menatap-Mu

Tak ada puja-puji bagi yang ini atau yang itu

Seluruh puja-puji hanya untuk-Mu saja

Menurut riwayat dari Imam Sya’rani, pada suatu masa adalah seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka dihadapan Rabi’ah, maka pingsanlah beliau lantaran mendengar hal itu, pingsan didalam menyebut-nyebut istighfar memohon ampunan Tuhan. 

Tiba-tiba setelah beliau siuman dari pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata "Saya mesti meminta ampun lagi dari pada cara meminta ampun saya yang pertama."

Rabbiatul al-'Adawiyah pernah berucap tentang cintanya kepada Allah, baginya Allah merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus dicintai, adapun ucapannya adalah sebagai berikut:

Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka.... 

bukan pula karena ingin masuk surga... tetapi aku mengabdi karena cintaku 

kepada-Nya. Tuhanku, jika ku puja Engkau, karena takut neraka, bakarlah aku 

didalamnya; dan jika ku puja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku 

dari padanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka 

janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku, (Asmaran: 1994: 269).

Begitu cintanya Rabbiah kepada sang Khaliq, sehingga dia tidak merasa sedikitpun benci kepada setan sebab di dalam hatinya sudah tak ada lagi ruang kosong yang tersisa untuk mencintai selain-Nya. Namun, cinta kepada sang Khaliq yang harus dijaga agar ketenangan jiwa serta dunia pun berada pada sisi kita. 

Sumber:  

  1. Jurnal “Rabiatul Adawiyah dan pemikirannya” Rachmawati, IAIN Kendari. 
  2. Jurnal “Pemikiran Tasawuf falsafi awal : Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Bustami dan Al-Hallaj“ Mubaidi Sulaeman, Universitas Islam Balitar Blitar


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال