KULIAHALISLAM.COM - Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Sadruddin asy-Syirazi, lahir di Shiraz, Iran tahun 979 H/1571 M dan wafat di Bashra, Irak tahun 1050 H/1640 M. Ia lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra. Mulla Sadra merupakan Filsuf Sufi dari kalangan Syiah yang berpengaruh dalam sejarah perkembangan dan kemajuan filsafat Islam. Mulla Sadra hidup dalam masa yang ditandai oleh bangkitnya kembali perhatian pada bidang intelektual khususnya filsafat dan teologi.
Patung Mulla Sadra |
Riwayat Pendidikan Dan Corak Pemikiran Mulla Sadra
Awalnya Mulla Sadra berguru pada Ulama di kota kelahirannya,
kemudian belajar dari para Ulama di Isfahan dan menetap di sana. Namun akhirnya
I yang kembali lagi ke Shiraz dan bekerja sebagai guru di sebuah Madrasah yang
didirikan oleh Gubernur Provinsi Fars. Di Isfahan, ia belajar di Madrasah
Isfahan yang didirikan oleh Mir Damad atau Muhammad Baqir Astarabadi. Madrasah
Isfahan memiliki corak yang mempunyai guru-guru yang ternama serta simbol
keunggulan keintelektualan Diansti Safawi di Persia.
Corak pemikiran Mulla Sadra diwarnai oleh pemikiran
Madrasah Isfahan ini. Madrasah ini merupakan hasil usaha untuk membangkitkan
kembali intelektal yang dirintis oleh Syah Isma’il I (1501-1524 M), pengikut
Ordo Sufi dan pendiri Dinasti Safawi, Persia. Di antara guru Mulla Sadra di
Isfahan adalah Mir Damad, Bahauddin al-Amali dan Mir Abd Qasim Fenderiski (wafat 1640 M) yang merupakan
seorang Hakim terkenal pada masa Dinasti Safawi. Dari mereka, Mulla Sadra belajar
Al-‘Ulum an-Naqilah (Transmitted
Sciences) yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan kesufian.
Mulla Sadra mempunyai kebiasaan membaca yang baik.
Kebiasaan membaca ini yang menghubungkannya dengan pemikiran-pemikiran yang
hidup satu abad sebelumnya. Dalam karyanya, Mulla Sadra mengutip dari pemikiran
filsafat pra-Socrates hingga berbagai pemikiran yang hidup zamannya. Prof.
Sayyid Hossein an-Nasr menunjukan bahwa Mulla Sadra adalah sumber sejarah
filsafat Islam. Sarjana Barat bernama E.G Browne dalam karyanya Literary History of Persia juga
menggambarkan bahwa Mulla Sadra dinyatakan secara bulat sebagai Filsuf terbesar
di masa Persia Moderen.
Karya-karya Mulla Sadra
Mulla Sadra banyak menulis, akan tetapi berbeda dengan
Cendikiawan Persia lain pada masanya, karya yang dihasilkannya hampir
seluruhnya dalam bahasa Arab. Di antara karyanya dalam bahasa Persia adalah Tafsir-e-eyeh-e-Nur (Tafsir Surah
An-Nur).Secara keseluruhan, karya Mulla Sadra dapat dibagi terbagi atas dua
kelompok. Pertama, kelompok karya komentar terhadap Hikmah al-Isyraqi (Kebijaksanaan Illuminasi) karya Syekh
Syihabuddin as-Suhrawardi, terhadap Al-Hidayah
Fi al-Hikmah (Petunjuk Kebijaksanaan) karya Atsiruddin al-Akhbari dan
terhadap Asy-Syifa (Pengobatan) karya
Ibnu Sina dalam bidang filsafat.
Kedua, kelompok karya orisinil tetapi tidak semua
sampai kepada kita saat ini. Di antara karyanya yang sampai kepada kita adalah Al-Mabda’ wa al-Ma’ad (Awal dan Akhir), Asy-Syawahid ar-Rububiyyah (Kesaksian-Kesaksian
Ilahiah), Al-Masya’ir
(Perasaan-Perasaan Hidup), Mafatih
al-Gaib (Kunci-Kunci ke Alam Gaib), Asrar
al-Ayat (Rahasia-Rahasia Ayat) dan Al-Hikmah
al-Muta’aliyyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al Arba’ah (Kebijakan Tinggi
mengenai empat tahap perjalanan akal). Karya terakhir ini adalah Opus Magnumnya
(karya besarnya) karena merupakan dasar dari risalah-risalah lain pasca Ibnu
Sina.
Pada karyanya ini digambarkan perkembangan spritual
yang dialami pengembara mistis sambil menekankan keseimbangan antara derajat
prestasi spritual dan fungsi manusia sebagai Khalifah Allah di bumi yang
berarti pula menekankan kewajiban seorang Sufi terhadap masyarakatnya. Perkembangan
pengembara itu digambarkan dalam empat tingkat. Tingkat pertama, pegembaraan
dari diri dan dunianya menuju Allah. Tingkat kedua, pengembaraan dari sifat
Allah menuju hakikat-Nya. Tingkat ketiga, pengembaraan dari Allah menuju diri
dan dunianya sendiri. Adapun tingkat keempat adalah pengembaraan dari manusia
kepada manusia dalam wujud persembahan tatanan moral dan spritual yang lain.
Karyanya Al-Masya’ir telah diterjemahkan oleh Henry
Corbin (1903-1978 M),seorang orientalis yang banyak mencurahkan perhatiannya
terhadap Filsafat dan Sufi Syiah Ismailiah, ke bahasa Prancis yang berjudul Le Livre Des Penetrations Metaphysyiques.
Penerjemahan itu membuat Mulla Sadra dikenal luas dan disegani Dunia Barat. Karya-karya Mulla Sadra sendiri
telah banyak dikometari dan dijadikan rujukan utama. Namanya sering
disandingkan dengan nama-nama terkemuka seperti Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Al-Ghazali,
Ibnu Rusyd dan Syihabuddin as-Suhrawardi. Setidaknya beberapa nama besar itu
menjadi simpul pemikiran Mulla Sadra. Mereka itu adalah Ibnu Sina, As-Suhawardi
dan Ibnu Arabi.
Mazhab Filsafat Mulla Sadra
Mazhab Filsafat Peripatetic
(Masysya’i) Ibnu Sina merupakan salah
satu mazhab pemikiran yang dianut Mulla Sadra. Ia mengambil pemikiran Ibnu Sina
mengenai gerak dan ketergantungannya dan “Penggerak Pertama Yang Tidak
Digerakan (Maksudnya Tuhan)”. Selain itu ia juga menerima pandangan Emanasi.
Namun tidak semua pemikirannya diterima dengan bulat. Misalnya, ia menolak
pemikiran Ibnu Sina yang berkaitan dengan keabadian dunia dan kemustahilan
kebangkitan jasmani.
Penolakan terhadap keabadaian dunia ia kembalikan pada
pandangan semua filsuf kuno dari Hermes ke Thales, Phitagoras dan Aristoteles
yang semuanya dengan bulat mempercayai bahwa dunia itu dicipta dengan abadi.
Karena itu, waktu dan gerak sebagian bagian dari alam semesta tidak mungkin
abadi. Demikian juga, apa yang oleh Sufi dikenal dengan A’ayan Sabitah (Wujud-Wujud Mapan) dan apa yang dikatakan oleh filsuf ‘Aql Fa’al (Intelek Aktif) adalah
juga tidak abadi karena semuanya itu tunduk pada perubahan yang terus-menerus.
Jelasnya, yang abadi (Qadim) dalam pandangan Mulla Sadra ialah Tuhan sebagai
Penggerak Pertama Yang Tidak Diggerakan itu sedangkan lainnya tergantung kepada
Tuhan.
Berkaitan dengan pandangan Emanasi, Mulla Sadra
memadukannya dengan filasat iluminasi (Isyraqi) yang dikembangkan oleh Syekh
As-Suhrawardi. Teosofi yang diperkenankan As-Suhrawardi ini bukan hanya
berdasar pada Iluminasi tetapi juga pada filsafat Ibnu Sina. Pengaruh
As-Suhrawardi pada Mulla Sadra antara lain dapat dilihat dalam pandangannya
tentang keterkaitan antara filsafat kuno dan kebenaran wahyu. Ia sependapat
dengan As-Suhrawardi yang memandang kaitan filsafat kuno dengan kebenaran wahyu
yang diterima para Nabi dan Wali sebagai kebenaran paling tinggi.
Seperti juga As-Suhrawardi, ia percaya pada kesatuan
kebenaran yang dialirkan melalui mata rantai yang tidak putus sejak Nabi Adam
Alaihisallam dan di antara mata rantai itu adalah orang-orang Yunani, para sufi
dan filsuf. Mulla Sadra juga mengikuti langkah gurunya Mir Damad yang
mengintegerasikan pemikiran Ibnu Sina dan As-Suhrawardi ke dalam kerangka
ajaran esoteris Syiah. Untuk itu harus dikaitkan dengan dunia Gnostik (suatu
bentuk pemahaman didasari oleh pengetahuan dan pengenalan).
Karena itu, Mulla Sadra berhubungan dengan tasawuf
Ibnu Arabi. Hasil dari mempertemukan ketiga pemikiran itu (Ibnu Sina,
As-Suhrawardi dan Ibnu Arabi) ialah perubahan mendasar dalam pemikiran tasawuf.
Jika pada mulanya para sufi dalam menampilkan pengalaman rohaninya hanya
berdasarkan pada Kasyf atau Syuhdud (Intusisi Mistis) dan menghindar
dari bukti-bukti logis maka pada Mulla Sadra hal-hal seperti itu memperoleh
argumen rasional filosofis.
Memang, apa yang dihasilkan ini sebetulnya merupakan
jasa As-Suhrawardi akan tetapi Mulla Sadra mempunyai andil besar dalam
mengembangkannya. Selain terhadap tiga Mazhab di atas, Mulla Sadra menumpukan
pemikirannya pada dasar keempat yaitu syariat. Dasar keempat yang disebutnya
sebagai Hikmah Islamiyyah, selain Al-Qur’an meliputi pula Sabda Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam dan Imam-Imam Syiah, dan Nahj al-Balagah karya Imam
Ali bin Abu Thalib. Keseluruhan pemikiran Mulla Sadra yang bertumpu pada empat
dasar itu kemudian dikenal dengan Al-Hikmah
Al-Muta’aliah.
Mulla Sadra mempunyai banyak murid dan penerus
diantaranya adalah Mulla Ali Al-Nuri, Al-Sabzawari, dan Al-Qumsyeh’i. Di antara
yang belajar pada mereka adalah Sayyid Husayn Thabathaba’I dan Ali Syahabadi,
Guru Imam Ayatullah Khomeni.
Hikmah Al-Muta’aliyah Mulla Sadra
Hikmah Muta’aliyah terdiri atas dua istilah Al-Hikmah
(teosofi) dan Al-Muta’aliyah artinya tinggi atau transeden. Istilah Muta’aliyah
terkenal ketika muridnya menggunakannya untuk menyebut Mazhab Mulla Sadra.
Al-Hikmah Al-Muta’aliyah secara epistimologis didasarkan pada tiga perinsip
yaitu Intuisi Intelektual (Dzawq atau Isyraq), pembuktian rasional (‘Aql atau
Istidlal) dan syariat.
Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (Wisdom) yang
diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau instuisi intelektual dan disajikan
dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah
ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi yang
mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga
terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syariat.
Bila kaum Sufi seperti Ibnu Arabi meyampaikan
pengelaman mistisnya dengan menghindari bukti-bukti logis, Suhrawardi dengan
isyraqiyahnya memberikan landasan rasional bagi visi spritual. Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah melanjutkan Suhrawardi, mengintegrasikan Peripatetisme dalam
falsafahnya, dan menjawab lebih banyak masalah secara lebih dalam. Perbedaan
antara Isyraqiyah dan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah terdapat pada ontologinya.Secara
ontologis, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga hal yakni Ashalat
al-Wujud, Tasykik dan gerakan substansial.