Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam Menurut Prof. Dr. KH. Ali Yafie

Foto Prof. Dr. KH. Ali Yafie dan Prof. Dr. Abdul Somad

KULIAHALISLAM.COM - Prof. Dr. KH. Ali Yafie merupakan ulama kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, pada tanggal 1 September 1926. Prof. Dr. KH. Ali Yafie pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjabat sebagai Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) serta Dewan Penasihat The Habibie Centre. 

Sejak tahun 1966 hingga 1972, beliau menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin, Makasar, serta mendirikan pesantren di tahun 1947. Orang terkemuka seperti mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, Alwi Shihab, dan Umar Shihab adalah para santri lulusan pondok pesantren yang beliau dirikan. 

KH. Ali Yafie juga pernah menjadi anggota DPR/MPR sejak tahun 1971 hingga 1987. Beliau pernah menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Makassar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama wilayah Indonesia bagian Timur.

Prof. KH. Ali Yafie menjadi Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ), Jakarta, serta Guru Besar Kajian Islam Terpadu Universitas Islam Asy-Syafi'iyah, Jakarta. 

Hak dan Kewajiban Wanita dalam Ajaran Islam 

Prof. Dr. KH. Ali Yafie dalam bukunya "Menggagas Fiqih Sosial" menjelaskan hak dan kewajiban wanita dalam Islam sebagai berikut. Prof. Dr. KH. Ali Yafie menyatakan bahwa angka-angka statistik yang berbicara tentang populasi rakyat Indonesia menggambarkan bahwa wanita merupakan suatu potensi sumber daya manusia yang besar sekali.

Dari potensi tersebut diketahui juga bahwa mayoritasnya adalah wanita muslim. Pembicaraan tentang hak dan kewajiban wanita dalam ajaran Islam akan mudah kita pahami jika kita mengetahui gambaran tentang keadaan wanita pada masa-masa sebelum datangnya Islam.

Dari situ akan kita lihat perbaikan apa dan kemajuan apa yang diperbuat oleh Islam dalam hal-hal yang menyangkut nasib wanita pada umumnya dan tentang hak dan kewajiban mereka pada khususnya. Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum datangnya Islam, dunia telah mengenal adanya dua peradaban besar yaitu peradaban Yunani dan peradaban Romawi.

Di samping itu, dunia juga mengenal adanya dua agama besar yaitu Yahudi dan Nasrani. Bagaimana nasib wanita, bagaimana hak dan kewajiban mereka dalam peradaban-peradaban serta agama-agama tersebut ? Masyarakat Yunani yang terkenal dengan ketinggian filsafatnya, tidak menjadikan masalah hak dan kewajiban wanita sebagai topik pembicaraan.

Di kalangan elit mereka, wanita-wanitanya dikurung dalam istana-istana dan di kalangan bawah nasib wanita sangat menyedihkan karena mereka diperjualbelikan di pasar-pasar dan mereka yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya.

Mereka sama sekali tidak diakui hak-hak sipilnya, antara lain Mereka  tidak dipandang sebagai ahli waris dari keluarganya yang meninggal. Kemudian pada puncak peradaban Yunani itu wanita diberi kebebasan begitu rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera kemewahan kaum laki-laki. 

Maka ketika itu hubungan seksual yang bebas tidak dianggap sesuatu yang melanggar kesopanan dan tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra atau seni.

Di antara sisa-sisa peradaban mereka yang dapat kita saksikan sekarang ialah banyaknya patung-patung wanita telanjang yang bertebaran di mana-mana dan karya-karya sastra tentang dewi-dewi yang penuh penghianatan terhadap dewa-dewa suaminya. 

Satu diantara dewi-dewi itu melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan dan dari hubungan gelap itulah lahir Dewa Cinta yang terkenal dalam peradaban Yunani.

Selanjutnya yang kita amati dalam peradaban Romawi ialah bahwa wanita itu sepenuhnya di bawah kekuasaan ayahnya dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. 

Dan kalau wanita itu sudah bersuami maka kekuasaan tersebut pindah ke tangan si suami. Kekuasaan suami mereka meliputi kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh istrinya sendiri.

Peradaban peradaban Hindu dan Cina tidaklah lebih baik daripada peradaban peradaban Yunani dan Romawi yang telah digambarkan di atas. 

Bahkan hak hidup bagi seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya yaitu seorang istri harus rela dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya yang dibakar. Selanjutnya dalam petuah Cina kuno dikatakan bahwa anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan percaya akan kebenarannya.

Dalam ajaran agama Yahudi, martabat wanita itu adalah sama dengan pembantu. Ada sekelompok dari mereka yang menganut ajaran bahwa seorang ayah berhak menjual anak wanitanya selama belum baligh. 

Dalam ajaran agama Yahudi ditetapkan bahwa anak wanita tidak menjadi ahli waris dari harta peninggalan ayahnya kecuali kalau dia tidak mempunyai saudara laki-laki. 

Dalam ajaran agama Nasrani mereka mengatakan bahwa wanita itu senjata iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita itu mempunyai ruh atau tidak. 

Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita itu tidak mempunyai huruf yang suci. Bahkan pada abad ke-6 masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas Apakah wanita itu manusia atau bukan dan Apakah wanita itu adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki ?.

Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan. Bahkan sampai dengan tahun 1805 Masehi, perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Ketika terjadi revolusi di Prancis pada Penghujung abad ke-12 masehi yang berhasil mengangkat harkat dan martabat manusia, wanita tidak kebagian apa-apa yang dapat mengubah nasib buruknya karena perundang-undangan Prancis Tetap mengkategorikan wanita sama dengan status anak di bawah umur dan orang-orang gila yang tidak mempunyai hak sipil penuh. Tetapi di dalam pelaksanaan hak-hak sipilnya yang diakui itu masih ada pembatasan-pembatasan yang dikaitkan dengan adanya keharusan persetujuan atau izin dari wali atau suami.

Ketika agama Islam datang, masyarakat pertama yang bersentuhan dengan dakwahnya adalah  masyarakat Arab. Kedudukan wanita dalam masyarakat ini digambarkan dari sikap umum masyarakat yang tidak merasa bangga kalau istrinya melahirkan anak wanita. Bahkan ada sebagian dari mereka Langsung membunuh anak wanitanya yang baru lahir.

Telaah sepintas lalu tentang keadaan wanita di berbagai penjuru dunia pada awal abad ke-7 Masehi ketika datangnya Islam menggambarkan dengan jelas betapa wanita itu di dalam segala hal hampir tidak mengenal adanya hak bagi mereka. Dia hanya dibebani dengan segala macam kewajiban yang menjadi kepentingan hidup atau selera kemewahan dari kaum laki-laki. Maka, dari latar belakang tersebut kita dapat melihat sejauh mana ajaran islam itu menjadi rahmat bagi wanita.

Pembicaraan tentang hak dan kewajiban wanita dalam ajaran islam bertitik tolak dari penegasan Al-qur'an dia sejumlah surah (Q.S 4 : 1, Q.S 49 : 13, Q.S 53 : 45, Q.S 75 : 39) tentang hakikat wanita itu sebagai manusia yang sama dengan laki-laki dan menjadi pasangan laki-laki. Penegasan tersebut merupakan suatu perbaikan yang sangat mendasar dalam hal menghapus opini yang bersumber dari berbagai macam kepercayaan atau agama sebelum Islam yang manafikkan atau melakukan hakikat kemanusiaan wanita yang dianggap bukan makhluk manusia.

Selanjutnya Al-qur'an juga menegaskan hak wanita untuk beribadah dan hidup beragama serta masuk surga. Penegasan ini bertujuan menghapus opini sebelumnya yang bersumber dari berbagai kepercayaan atau agama yang percaya bahwa hidup beragama atau beribadah dan masuk surga adalah hak monopoli laki-laki.

Perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam bidang kepercayaan atau akidah yang diletakkan ajaran Islam tersebut di atas menempatkan wanita pada tempat yang terhormat tidak kurang derajatnya dari laki-laki baik dalam martabat kemanusiaan maupun harakat keberagamaan. Ajaran Islam mengakui hak-hak sipil yang penuh bagi seorang wanita.

Suatu kebanggaan bagi kaum wanita Islam yang tahu bahwa agamanya telah memberikan hak yang oleh dunia barat yang maju, Baru 13 abad kemudian hak yang seperti itu diakui setelah kamu wanitanya berjuang keras menuntut emansipasi.

Agama Islam telah memberikan hak-hak luas yang menjamin martabat kemanusiaan dan melindungi derajat kesopanan bagi wanita tanpa adanya revolusi dan perjuangan emansipasi yang dilancarkan oleh kaum wanita sebagaimana halnya di Barat. Hak-hak wanita dalam ajaran islam adalah perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Hak-hak wanita dalam ajaran Islam yang tidak mengeksploitasi unsur kewanitaan dan seks appeal dari wanita itu tidak banyak berbicara dalam peradaban modern sekarang ini. Karena kondisi umum dari umat Islam tidak mendukung tampilnya cita Islam yang cemerlang dan berwibawa.

Pasang surut selama 5 abad terakhir dalam peradaban dunia Islam yang disebabkan oleh berbagai faktor internal dan faktor-faktor eksternal memudarkan kecemerlangan ajaran-ajaran Islam dan menimbulkan kelemahan jiwa dan kebekuan semangat bagi umatnya. Barulah pada abad ke-20 ini, setelah terjadinya perubahan-perubahan yang bersifat Global di seluruh dunia nampak tanda-tanda kebangkitan kembali umat Islam.

Satu diantaranya ialah kesadaran  akan ketidakmutlakan kita harus tergantung sepenuhnya kepada dunia barat dan kesadaran menganggap bahwa semua produk peradaban Barat itu harus kita tiru sepenuhnya terutama dalam peradabannya yang menyangkut kehidupan wanita.

Dalam kondisi umat Islam seperti kita gambarkan di atas, kita memasuki dan menghadapi era modernisasi yaitu era industrialisasi dan globalisasi yang penuh dengan tantangan-tantangan yang besar-besar dan berat-berat. Dalam kaitan itu, dunia wanita Islam dihadapkan kepada beberapa masalah besar dunia modern di mana terkait masalah hak dan kewajibannya.

Diantaranya yang terpenting ialah kehidupan rumah tangga dan Tugas kewajiban fungsional wanita di dalam rumah tangga itu, di samping kehausan keterlibatannya untuk berada di luar rumah tangga dan jauh dari suami dan anak-anaknya dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau ekonomi bahkan sebagian juga dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. 

Dari tantangan tersebut di atas, timbul masalah-masalah baru yang menyangkut hak-hak sipil, hak-hak sosial dan hak-hak politik bagi wanita. Masalah inilah yang perlu kita kaji bersama. Dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan-tantangan pada masa kini dan yang menjadi lebih berat lagi pada masa yang mendatang, maka wanita Islam Indonesia perlu dan harus mampu memilih prioritas dari serentetan kewajiban.

Yang jelas adalah bahwa kualitas wanita Islam Indonesia merata masih berada di bawah garis tanda wawasan keislaman, kondisi intelektual dan kondisi ekonomi sosial perlu mendapatkan Prioritas pertama. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban wanita Islam yang mendukung pencapaian kualitas standar akan menjamin bagi wanita itu terpenuhi hak-haknya yang diberikan oleh Islam kepadanya dengan baik. 

Dan dengan demikian wanita Islam Indonesia dapat berperan pada masa kini dan masa mendatang dalam peradaban modern untuk ikut mengisi pembangunan nasional di tanah airnya dalam rangka pengabdiannya kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Hidayah dan taufik-Nya senantiasa menyertai kegiatan-kegiatan kita untuk mencapai Ridha-Nya. 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال