Resensi Buku The Lost Art Of Scripture Karya Karen Armstrong

Identitas Buku

Judul                      : The Lost Art of Scripture : Seni Membaca Kitab Suci

Penulis                   : Karen Armstrong

Penerbit                 : PT. Mizan Pustaka

Edisi Pertama        : Desember 2021

Halaman                : 692 Hlm

Penterjemah         :Andityas  Prabantoro

ISBN                      : 978-602-441-257-9

Genre                     : Filsafat dan Agama

Penyunting            : Yuliani Liputo dan Ahmad Baiquni

Tempat Terbit       : Jl. Cinambo No. 135, Bandung

Didistribusikan     : Mizan Media Utama

Penulis Buku

Karen Armstrong lahir 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris. Karen Amstrong adalah penulis sejumlah buku mengenai agama diantaranya The Case for  God, A History of God, The Bettle for God, Holy War, Islam, Budha, Jerusallem, The Spiral Staircase, Muhammad : Prophet for Our Time, Twelve Steps to a Compassionate Life dan Fields of Blood dan banyak lainnya. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam empat puluh lima bahasa.

Pada tahun 2008, dia dianugerahi TED untuk mengembangkan Piagam Welas Asih (Charter for Compassion), diciptakan secara daring oleh masyarakat umum, dirancang oleh para pemikir terkemuka dalam Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu. Piagam itu diluncurkan secara global pada akhir 2009.

Tahun 2013, ia menerima hadiah Nayef Al-Rodhan untuk Pemahaman Antarbudaya yang pertama British Academy. Pada tahun 2014, ia mendapatkan penghargaan Educator’s Prize by ISSESCO (Islamic Educational Scientific and Cultural Organization dari Yordania. Karen Amstrong meluangkan waktu tujuh tahun sebagai biarawati Katholik Roma sebelum memulai risetnya di Oxford. Dia kemudian mengajarkan sastra Inggris abad ke 19 dan 20 di Bedford College, University Lodon. 

Deskripsi Buku “The Lost Art of Scipture

Karen Amstrong menulis buku berjudul asli “The Lost Art of Scipture : Rescuing the Sacred Texts” yang diterbitkan oleh Penguin Random House tahun 2019. Buku tersebut kemudian diterbitkan PT. Mizan Pustaka, Bandung pada tahun 2021 dan diberi judul “The Lost Art Of Scripture : Seni Membaca Kitab Suci”.

Bagimana agar kitab suci tetap relevan pada zaman sekarang ? Pertanyaan ini penting diajukan kini ketika kitab suci seolah-olah semakin terpinggirkan, sering digunakan untuk menjustifikasi kekerasan dan fundamentalisme, alih-alih sebagai sumber pencerahan rohani.

Pada masa lalu, kitab suci telah membantu manusia mentransendensi ikatan material dan duniawi, menghubungkan manusia dengan yang Ilahi. Kini, ketika perndidikan modren semakin cenderung pada sisi rasionalitas, logika dan analisis, pembacaan kitab suci pun semakin kering dan kehilangan keindahannya. Pendidikan modren cenderung semakin mengistimewakan upaya ilmiah dan memarginalkan apa yang kita sebut humaniora.

Kita tidak dapat memeriksa setiap kitab suci di dunia dalam buku ini, beberapa kanon kitab suci begitu besar sehingga bahkan mereka yang mengimaninya tidak berusaha membaca semua teks yang dikandungnya. Tetapi Karen Amstrong akan melacak perkembangan kronologis kanon kitab suci utama di India dan Cina serta dalam tradisi monoteistik Yudaisme, Kristen dan Islam untuk menyoroti genre kitab sucinya. Kitab-kitab suci ini mengajarkan cara hidup yang selaras dengan transeden tetapi semua memiliki kesamaan pada satu hal. Untuk hidup dalam hubungan yang tulus dengan apa yang disebut Streng sebagai yang tertinggi yang tidak dapat diketahui, manusia harus melepaskan diri dari egoisme.

Dalam banyak hal, tampaknya kita kehilangan seni kitab suci di dunia modren ini. Bukannya membacanya untuk mencapai transformasi, kita memanfatkannya untuk mendukung pandangan kita sendiri, entah bahwa agama kita yang benar dan musuh yang salah atau dalam kasus orang-orang skeptis bahwa agama tidak layak dipikirkan secara serius. Terlalu banyak orang beriman dan tak beriman kini membaca teks-teks sakral ini dengan cara literal yang keras kepala, yang amat berbeda dari pendekatan yang lebih inventif dan mistik dari spritualitas pramodren.

Lantaran mitos penciptannya tidak sejalan dengan penemuan ilmiah masa terkini, kelompok etnis militan menghujat Al-Kitab sebagai kumpulan kebohongan, sementara kaum Fundamentalis Kristen mengembangkan sains penciptaan yang mengklaim bahwa Kitab Kejadian benar secara ilmiah dalam setiap detailnya.

Kaum Jihadis mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk memberikan aksi kriminal teroris mereka. Kaum Zionis religius mengutip “teks bukti” untuk mendukung klaim mereka atas tanah suci dan menjustifikasi permusuhan mereka terhadap bangsa Palestina. Orang Sikh saling bunuh karena menerapkan kritisme tekstual modren pada Guru Granth Sahib sementara yang lainnya mengutip kitab-kitab suci mereka untuk menegaskan kekashan Sikh dalam cara yang bertolak belakang dengan visi asli Guru Nanak. Tak mengherankan semua ini menyebabkan kitab suci menjadi cemohan.

Tradisi monoteistik yang menekankan pentingnya keadilan dan kesataraan juga sangat relevan dengan kesulitan kita saat ini. Di tengah penekanan modren untuk mengutamakan kesetaraan dan hak asasi manusia, pernyataan kenabian diperlukan. Ketika Karen Amstrong menulis ini, sejumlah besar orang Inggris, salah satu negara terkaya di dunia, tidur di jalanan selama musim dingin yang sangat menggigilkan. Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi gerakan kembali kepada agama. Kebangkitan agama ini tidak bisa sekedar menjadi pencarian pribadi, gerakan ini perlu meninjau kembali kitab suci dan mrmbuatnya berbicara langsung tentang penderitaan, kemarahan dan kebencian yang marak di duni ini dan yang mengancam kita semua.

Seni kitab suci tidak berarti kembali ke kesempurnaan yang dibayangkan di masa lalu karena teks suci selalu merupakan pekerjaan yang sedang berlangsung. Karena itu penafsiran kitab suci bersifat inventif, imajinatif, dan kreatif. 

Jadi untuk membaca kitab suci dengan benar dan autentik, kita harus membuatnya berdialog langsung dengan kesulitan modren kita. Akan tetapi sebagian Fundamentalis Kristen dewasa ini justru ingin menghidupkan kembali undang-undang zaman perunggu dari Al-Kitab Ibrani sedangkan para reformis Muslim berusaha keras untuk kembali ke adat istiadat Arab abad ke-7.

Kelebihan Buku

Di dalam buku ini, Karen Amstrong mengkaji peran dan posisi kitab suci di dunia masa kini. Ditopang oleh argumen penting dari Psikologi dan Neurofisika, Karen Amstrong menganjurkan integrasi belahan otak kiri dalam membaca kitab suci agar bunyi kitab suci kembali terdengar seperti musik menggetarkan jiwa. Seperti kebanyakan tulisan Karen Amstrong yang lainnya, buku ini membahas Kosmos dan Mitos serta Logos. Isi dari buku ini :

Bagian Satu

Kosmos dan Masyarakat

1.   Israel : Mengingat agar Mereka Merasa Memiliki

2.   India  : Bunyi dan Sunyi

3.   Cina   : Keutamaan Ritual

Bagian Dua

Mitos

4.   Kisah Baru ; Diri Baru

5.   Empati

6.   Ketidaktahuan

7.   Kanon

8.   Midrasah

9.   Penubuhan

10. Pembacaan dan Intentito

11. Yang Tak Terungkap

Bagian Tiga

Logos

12.    Sola Scriptura

13.    Sola Ratio

14.    Post Scripture

Buku ini dilengkapi Glosarium di bagian akhir buku yang tujuannya agar pembaca mengetahui arti dan makna istilah-istilah yang sulit diketahui. Buku ini juga menggunakan sumber-sumber refrensi yang sulit dijangkau kebanyak kaum Intektual. Di tulis dengan gaya bahasa yang indah, memukau dan dapat dipahami setiap orang dari berbagai agama dan status sosial. Mengenai buku ini, Prof. Dr. Bambang Sugiharto menyatakan “ Ini buku dahsyat yang menyingkapkan ‘jeroan’ agama-agama yang biasanya tidak boleh dilihat justru dalam rangka memperlihatkan agama-agama yang hakiki”.

Dr. Budhy Munawar Rachman berkata soal buku ini : “ Dimensi sakral telah hilang dari kehidupan modren kita. Sehingga arti penting agama pun meredup. Untung ada Karen Amstrong yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk mengerti makna-makna agama untuk kita. Melalui buku-buku Karen Amstrong, kita menemukan kembali sosok yang sakral yang menjadi kunci pembuka makna agama-agama itu”.

Muhammad Ali (Associate Professor, Reliugious Studies Departement, University of California, AS) memberikan penilaian buku ini dengan menulis : “ Karen Amstrong menelusuri perjalanan keberagaman manusia yang beragam dan menceritakan bagaimana kitab suci muncul dan berperan dalam berbagai peradaban berbeda. Kitab suci bukan hanya teks tertulis tetapi lebih merupakan tradisi lisan dalam suara dan keheningan, yang terungkap dan tak terungkap, tidak hanya mengajak pikiran agar lebih hidup dalam rasa dan spritulitas, bukan menginspirasi ketegangan dan kekerasan antar kelompok tetapi justru lebih mengilhami cinta kasih bahkan kepada orang asing dan musuh.

Buku “ The last of Scripture” ini diakhiri Karen Amstrong dengan menulis “ Agama sering dipandang tidak relevan dalam masalah-masalah modren. Namun apapun “keyakinan”kita demi kelangsungan umat manusia, amat penting bagi kita untuk menemukan kesakralan setiap manusia dan melakukan resakralisasi dunia kita.

Kita bisa mengakhiri buku ini dengan sebuah teks kuno yang membayangkan apa yang terjadi ketika dunia menua dan ketiak kesadaran tentang kesucian yang hadir di semua tempat ini tidak lagi diperhatikan, ditafsirkan dan digerakan bahasa ritual yang membantu terciptanya rasa kesakralan dalam diri kita itu : “ Totalitas ini, yang begitu baik sehingga tidak ada sekarang, sebelumnya maupun sesudahnya yang lebih baik darinya,akan terancam musnah; manusia akan menganggapnya sebagai beban dan membencinya. Tak seorangpun akan mengangkat pandangannya ke langit. Orang shaleh akan dianggap gila, orang tak bertuhan akan dianggap bijaksana dan orang yang bejat akan dianggap mulia. Dewa-dewa akan meningalkan manusia. Oh…perpisahan yang menyakitkan. Pada zaman itu, bumi tak lagi kokoh, laut tak bisa lagi dilayari, langit tak lagi menjaga bintang-bintang tetap berjalan di peredaran mereka, segala suara Ilahi pasti membisu.Hasil bumi membusuk, tanah mandul, udara pun jadi pengap dan berat. Inilah masa renta dunia, ketiadaan agama (irreligio), keteraturan (inordinato) dan pemahaman (inarationabilitas)”.

Buku ini sekali lagi sangat luar biasa, dan harus dibaca oleh semua orang khususnya para tokoh Intelektual Agama,Ilmuwan dan Mahasiswa dengan demikian kitab suci diharapakan pada masa kini dan masa mendatang benar-benar menciptakan kedamaian, kesejahteraan, keadilan sosial, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menolak segala paham kekerasan brutal atas nama agama atau keyakinan serta dapat membuka pola pikir bahwa agama selaras dengan perkembangan modren.

 

 

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال