Metode Pelaksanaan Tarjih

Sumber gambar : Dwicondrotriono.com

Tarjih merupakan salah satu cara menyelesaikan dua atau lebih dalil yang salin berbeda atau bertentangan. Secara bahasa, Tarjih berarti menguatkan atau memberatkan. Menurut Ibnu Hajib dan Al-Amidi, dua orang ahli Ushul Fiqih, Tarjih didefinisikan sebagai membandingkan dua dalil yang bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya. 

Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan Tarjih sebagai kelebihan suatu dalil dari dalil yang lainnya, sedangkan dalil itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, dua dalil yang bertentangan itu mempunyai kekuatan yang sama. Untuk memilih mana yang akan dimenangkan diperlukan dalil lain sebagai pendukungnya.

Hakikat dan tujuan definisi itu sama, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalilyang sama untuk diamalkan. Kedua dalil yang bertentangan ini harus mempunyai kedudukan yang sama, yaitu Zanni (tidak tegas). Munculnya dua pertentangan dalil ini dimungkinkan oleh pandangan para Mujtahid (ahli ijtihad) ketika mereka membahas dalil-dalil yang ada. 

Namun mereka sepakat bahwa pertentangan yang dimaksud bersifat zahir (lahir) saja karena Syari’ (pembuat hukum yakni Allah) tidak mungkin menurunkan dua kitab atau perintah/larangan yang satu sama lain salin bertentangan.

Ada beberapa cara yang ditempuh dalam mentarjih atau menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan. Tarjih adakalanya beretentangan dengan Nash dan ada kalanya menyangkut pertentangan dalam Kias. Terhadap  penyelesaian dua nas yang bertentangan, para ulama mengemukakan beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Pentarjihan terhadap salah satu nas dapat dilakukan dari empat sisi yaitu (1). Tarjih dari sisi sanad (rangkaian penutur Hadis sampai pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, (2).Tarjih dari segi matan (teks, untaian kalimat hadis itu sendiri), (3). Tarjih dari segi hukum yang dikandung oleh Hadis dan (4). Tarjih dilakukan dengan indikator pendukung dari luar atau dalil lain.

Tarjih dari segi sanad oleh Imam Asyaukuni (ahli ushul fiqih) dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, tarjih dilihat dari segi rawi. Misalnya, sanad yang mempunyai banyak rawi lebih dikuatkan daripada sanad yang rawinya sedikit; tarjih dilakukan terhadap sanad yang salah satu rawinya lebih adil, lebih takwa dan lebih kuat ingatannya atau lebih dipercayai daripada sanad yang rawinya tidak demikian.

Kedua, tarjih dari segi yang diriwayatkan itu sendiri. Misalnya, lebih mengutamakan Hadis Mutawatir (yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mustahil mereka akan berdusta;Mutawatir) daripada hadis yang tingkatannya hanya masyhur (yang diriwayatkan oleh beberapa orang saja). Demikian juga hadis yang masyhur lebih dikuatkan daripada hadis yang sifatnya ahad (yang diriwayatkan oleh satu orang).

Ketiga, mentarjih dari sisi cara menerima hadis. Misalnya, lebih menguatkan hadis yang diterima melalui pendengaran langsung dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada hadis yang hanya didapati dalam tulisan. 

Tarjih dari segi matan oleh Al-Amidi dapat dilakukan paling tidak dengan beberapa cara. Misalnya, matan yang sifatnya melarang lebih didahulukan daripada matan yang sifatnya menyuruh, matan yang menguatkan perintah lebih didahulukan daripada yang sifatnya boleh saja, matan yang menguatkan hakikat lebih didahulukan daripada majas (kiasan), dan matan yang khas lebih didahulukan daripada yang umum.

Tarjih dari segi hukum yang dikandung oleh nas, misalnya lebih mendahulukan Nas yang sifatnya melarang daripada yang membolehkan dan lebih menguatkan nas yang sifatnya menetapkan hukum daripada yang menafikannya.  

Adapun Tarjih melalui faktor luar, misalnya lebih mendahulukan amalan ahli Madinah (penduduk Madinah) atau amalan Al-Khulafa ar-Rasyidin (keempat khalifah pertama) dari amalan orang lainnya dan lebih mengutamakan dalil yang didukung Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Kias daripada dalil yang tidak didukung sama sekali oleh dalil lain.

Jika yang bertentangan itu antara Kias dan Kias, maka dapat ditarjih dari empat sisi pula yaitu dari segi asl (pokok atau dasar), dari segi furuk (peristiwa hukum yang akan ditentukan hukumnya), dari segi ‘illah (sebab)dan dari faktor luar. Tarjih dari segi asl, misalnya Kias yang hukum asalnya didasarkan dengan dalil Qat’I (jelas, nyata) lebih didahulukan daripada Kias yang sifatnya khusus lebih didahulukan daripada Kias yang sifatnya umum.

Tarjih dari segi furuk dapat dilakukan misalnya lebih mendahulukan Kias yang furuknya paling akhir datang daripada Kias yang furuknya datang lebih dahulu atau dengan cara mendahulukan Kias yang ‘Illah (sebabnya) diketahui secara Qat’I (jelas) daripada Kias yang ‘Illahnya hanya didasarkan pada Zanni (tidak tegas).

Tarjih dari segi ‘Illah dapat dilakukan dengan cara : (1). Melalui penetapan ‘illah, misalnya lebih menguatkan ‘Illah yang Qat’I, seperti ‘Illah yang langsung ditunjuk Nas atau yang disepakati daripada ‘Illah yang ditetapkan melalui yang Zanni dan (2). Dari segi ‘Illah itu sendiri, misalnya lebih menguatkan Kias yang ‘Illahnya dapat diukur dengan Kias dan lebih menguatkan Kias yang ‘Illahnya dapat dikembangkan daripada Kias yang ‘Illahnya terbatas pada kasus itu saja.

Tarjih berdasarkan faktor luar, misalnya menguatkan Kias yang ‘Illahnya didukung oleh ‘Illah lainnya. Al-Amidi dan Imam Asy-Syaukani adalah dua orang ahli Usul Fikih yang membahas secara luas permasalahan Tarjih. Al-Amidi mengulas Tarjih dalam bukunya “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Mengokohkan Dasar-Dasar Islam) dan Imam Asy-Syaukani dalam bukunya “ Irsyad al-Fuhul (Petunjuk Orang-Orang Pandai).

Sumber : Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال