Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein Cicit Tercinta Rasulullah

Imam Ali bin Husein Zainal Abidin lahir di Madinah tahun 36-95 Hijriah. Ia merupakan salah satu di antara sembilan Fuqaha’ Salaf terkemuka di Madinah. Nama aslinya adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abu Thalib. Ia terkenal dengan nama Imam Zainal Abidin karena sangat gemar beribadah (Zain al-abidin artinya panutan para ahli ibadah). Ia juga dikenal dengan nama As-Sajjad karena sangat rajin sujud (shalat). Menurut Abu Kasim az-Zamakhsyari dalam bukunya “Rabi’ al-Abrar”, ibunya Imam Ali Zainal Abidin bernama Syah Zinan atau Syahbanu putri Yazdajird bin Anusyirwan, Raja Kisra Persia dan ayahnya adalah Imam Husein bin Ali bin Abu Thalib.


Imam Husein mengganti nama Syah Zinan menjadi Maryam. Syah Zinan memiliki umur yang singkat, ia wafat dalam usia muda. Sejak Syah Zinan wafat, Imam Ali Zainal Abidin diasuh oleh bibinya yaitu Sayyidah Zainab binti Ali bin Abu Thalib. Imam Ali Zainal Abidin merupakan cicit Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam.

Imam Ali Zainal Abidin dibesarkan dan dididik di lingkungan keluarga Rasulullah dan diasuh oleh Imam Husein.  Dari ayah dan ibundanya keturunan mulia dari dua jenis kebangsaan (Arab dan Persia) tidaklah mengherankan jika Imam Ali Zainal Abidin mendapatkan kecintaan yang besar dari umat Islam. Imam Ali Zainal Abidin lahir dan dibesarkan dalam suasana pergolakan dahsyat dan bencana fitnah sedang melanda kehidupan kaum Muslimin. Saat itu Khalifah Utsman bin Affan terbunuh di tangan para pemberontak.

Suasana yang kemelut itu, tampaknya turut mempengaruhi peroses pertumbuhan Imam Ali Zainal Abidin sehingga dalam usia remaja, ia telah berpikir dewasa tambah lagi dengan kearifannya berkat asuhan dan pendidikan keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Tidak seperti anak-anak yang lain, ia seolah-olah tidak pernah membuang waktu sia-sia untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya. Hampir seluruh masa kanak-kanaknya dimanfatkan untuk untuk mendalami Islam.

Imam Ali Zainal Abidin seorang pria yang rupawan berkata perpaduan antara Arab dan Persia. Imam Ali Zainal Abidin terkenal sebagai pemimpin umat Islam pada zamannya bukan karena kekuasaan dan bukan pula karena kekayannya namun karena kesalehan,ketakwaan, kezuhudan, ketekunanya dalam beribadah ditambah lagi ilmu pengetahuan agamanya yang luas. Imam Ali Zainal Abidin merupakan satu-satunya putera Imam Husein bin Ali bin Abu Thalib yang selamat dari pembantaian yang dilakukan tentara Yazid bin Muawiyyah (Khalifah Bani Ummayah kedua tahun 680-683 M) di Padang Pasir Karbala, Irak pada 10 Muharram 61 H.

Waktu itu Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit sehingga tidak ikut berperang membela ayahnya dan 72 orang pengikut yang gugur sebagai syuhada bermandi darah, di depan matanya.Ia sempat ditawan, di bawa ke Kufah (Irak) oleh Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Irak saat itu dan kemudian ia dibawa ke Ibukota Damaskus untuk dihadapkan kepada Khalifah Yazid bin Muawiyyah namun akhirnya ia dibebaskan dan diantarkan pulang ke Madinah.

Pengalamannya yang tragis pada peristiwa Karbala tampak berkesan dihatinya. Ia menjauhi cara hidup yang penuh kezaliman dan kesesatan. Ia memilih jalan beribadah kepada Allah dan memisahkan diri dari kemelut perpolitikan kaum Muslimin saat itu. Putranya Imam Muhammad Al-Baqir berceriata tentang ayahnya : “Setiap kali ia mendapatkan nikmat Allah, ia langsung bersujud, setiap kali ia membaca ayat Al-Qur’an, ia pun bersujud. Disebabkan seringnya ia bersujud tampak bekas sujud diwajahnya, karena itu pula ia dijuluki as-sajjad (orang yang senang sujud)”.

Imam Ali Zainal Abidin adalah seorang Sufi, Wali Allah yang telah mencapai tingkat mukasyafah. Hal ini terbukti ketika Abdul Malik bin Marwan mengirim surat kepada Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, Panglima Bani Ummayah. Surat itu berisi : “Jauhkan diriku dari lumuran dari lumuran darah Bani Abdul Muthalib sebab kulihat  keluarga Abu Sufyan setelah bergelimang dosa tidak lagi mampu bertahan kecuali dalam waktu yang tidak lama”. Surat itu dikirmkan kepada Hajjaj dengan pesan agar merahasiakannya.

Namun hal itu dibukakan atau di-kasyf-kan Allah kepada Imam Ali Zainal Abidin yang kemudian segera menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan yang berisi : Bismillahirahmanirrahim. Dari Ali bin Husein. Amma Ba’d. Anda telah menulis surat hari ini, bulan ini kepada Hajjaj mengenai keamanan kami, Bani Abdul Muthalib. Semoga Allah memberi balasan sebaik-baiknya untuk anda”.

Surat itu dikirim melalui seorang pelayannya ke Damaskus tempat Abdul Malik bin Marwan. Khalifah mengetahui persis itu. Setelah diselidiki, ternyata keberangkatan utusan Imam Ali bin Husein dari Madinah bertepatan dengan jam dan hari keberangkatan utusannya sendiri menuju kediaman Hajjaj. Ia akhirnya menyadari bahwa Allah telah mengkasyafkan peristiwa itu pada Imam Ali Zainal Abidin. Ia pun mengirim hadiah dan sepucuk surat pada Imam Ali Zainal Abidin agar berkenan mendoakan kebaikan baginya.

Walaupun Imam Ali Zainal Abidin banyak beribadah kepada Allah, ia tidak pernah mengabaikan masyarakat sekitarnya. Ia selalu keluar pada malam hari disaat banyak orang tidur lelap dengan memanggul kantung-kantung terigu untuk dibagi-bagikan pada fakir dan miskin. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa : “Pada masa itu Madinah mengalami kemarau yang panjang sehingga banyak orang kelaparan. Di malam hari mereka mendapatkan makanan tanpa diketahui dari mana asalnya. Rahasia aneh yang menjadi buah bibir orang selama beberapa tahun itu baru terungkap setelah Imam Ali Zinal Abidin wafat, ketika jenazahnya dimandikan pada punggungnya tampak kulit menebal berwarna kehitam-hitaman bekas beban berat kantung-kantung terigu yang dipikulnya malam hari untuk dibagikan pada fakir-miskin”.

Menurut Imam Ali Zainal Abidin ada tiga macam ibadah yang dilakukan manusia kepada Allah. Manusia merdeka, beribadah kepada Allah atas dorongan rasa syukur, bukan karena takut dan bukan karena pamrih. Ibadah yang dilakukan karena takut belaka adalah ibadah manusia budak, ibadah yang dilakukan karena pamrih adalah ibadah seorang pedagang dan ibadah yang dilakukan karena bersyukur itu ialah ibadah manusia merdeka.

Imam Ali Zainal Abidin selalu menghindari keterlibatan dalam pemberontakan terhadap pemerintahan Bani Ummayah. Menurutnya,tindakan memberontak tidak banyak menguntungkan umat tetapi justru akan menambah banyak darah yang tertumpah sedang keadilan pemerintah yang didambakan tidak bisa terwujud dalam kenyataan. Imam Ali Zainal Abidin menyadari bahwa dirinya berhadapan dengan tirani dan kekuatan sewenang-wenang yang menempatkan dirinya pada posisi yang sulit mengembangkan potensi umat.

Namun ia selalu berusaha mencari jalan untuk menghidupkan kembali ajaran Islam dengan penuh kearifan. Salah satu jalan yang ditempuhnya adalah menyusun doa-doa munajat yang diabadikan dalam bentuk tulisan berjudul : “As-Sahifah as-Sajjadiyah”. Dengan doa-doa tersebut,seorang mukmin dapat bedoa untuk mengatasi situasi sulit.

Pada tahun 86 H, Khalifah Abdul Malik Marwan meninggal dunia.Ia digantikan putranya Walid bin Abdul Malik. Ia cemas akan pengormatan besar umat Islam pada Imam Ali Zainal Abidin akan mengencam kekuasannya. Walid bin Abdul Malik  melalui saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, mengirim seseorang untuk mendekati Imam Ali Zainal Abidin, kemudian meracunnya secara diam-diam. Ia meninggal dan dimakamkan di perkuburan Baqi, Madinah dekat pusara pamannya Imam Hasan.

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال