Cita-Cita Ekopolis Para Filsuf

   
KULIAHALISLAM.COM - Sebenarnya tidak hanya para filsuf, bahkan kita orang-orang al-fakir ini pun pastilah  menginginkannya juga. Hanya saja kita tidak tahu seperti apa dan bagaimana ecopolis yang sebenarnya itu. Dan pastinya, konsep ecopolis bukanlah seperti kawasan hunian  premium yang berada di pusat Kota Terpadu Citra Raya Tangerang yang merupakan proyek joint venture antara Ciputra Group dan Mitsui Fudosan Residential, pengembang ternama asal Jepang. 

Beberapa filsuf barat menyadari bahwa peradaban barat yang dijadikan kiblat itu justru tidak beradab. Sementara beberapa filsuf timur juga mengajak kita untuk  kembali kepda konsep ecopolis. Jadi seperti apa sih sebenarnya konsep ecopolis yang dicita-citakan para filsuf itu?

Istilah ecopolis bisa kita temukan dalam teori perkembangan kota yang pernah ditulis oleh Lewis Mumford dalam bukunya The Culture of Cities. Baginya, jika teknologi tidak ditata, dan manusia terus dimesinkan, maka perkembangan kota bisa diramal perkembangannya. Mungkin bukan perkembangan, tetapi justru kemunduran dan kehancuran sebuah peradaban. Seperti apa kemunduran sebuah kota menurut Mumford?

  1. Ecopolis, sebuah kota yang baru pertama kali berdiri, masih peduli dengan lingkungannya.
  2. Polis, sudah menjadi kawasan perkotaan
  3. Metropolis, kota besar metropolitan
  4. Megalopolis semakin besar tetapi tambah semrawut. makin sulit diatur. Sebuah ciri-ciri peradaban yang akan runtuh karena perkembangannya tak terkontrol.
  5. Tyrannopolis, kota lanjutan dari megalopolis, namun muncul seorang pejabat  pemimpin yang bekerja sama dengan korporat, kapitalis.
  6. Nekropolis, nekro = mayat, atau sebut saja runtuh. Bukan berarti kotanya hilang, namun karakter peradaban kotanya lah  yang hilang; malah seperti kumpulan kampung-kampung yang kacau. Hilang sisi humanisnya. 

Dalam bukunya The Myth of the Machine: Technics and Human Development, Mumford  menghubungkan antara manusia dengan teknologi. Di sana dirinci secara kronologis seperti apa jadinya sebuah peradaban kota bila penataan teknologi dilakukan oleh manusia yang tingkahnya seperti mesin. Manusia yang memiliki aturan ketat, mendetail sehingga terjebak dalam struktur besar. Manusia-manusia ini hanya bertindak/ bertugas untuk melayani. Hampir tidak ada lagi fungsi kemanusiaannya. Bahkan tidak ada dimensi etik, yang ada hanyalah kepatuhan total dan pelayanan total. Fenomena Karakter manusia seperti ini bisa kita lihat, dimana sebegitu banyaknya manusia entah kenapa manut saja disuruh untuk berperang, seperti mesin. Buktinya adalah terjadinya perang dunia.  Manusia yang terstrukturisasi seperti inilah yang disebut Mumford sebagai megamesin.

Manusia sebagai megamesin menciptakan teknologi hanya berlomba-lomba untuk kepentingan ekonomis saja. Dimana Semua pengembangan produk pabrikannya memang sengaja dibuat seminimal mungkin. Penemuan-penemuan dan  kemunculan benda inovatif yang sifatnya terus-menerus, konstan, bervariasi dan versinya terus update itu dipengaruhi oleh iklan. Perusahaan-perusahaan enggan memproduksi barang yang sifatnya lasting-quality product. Contohnya  perangkat smartphone yang kita nikmati ini dibuat versi variasinya sebanyak mungkin dan diproduksi setipa tahun. Semua orang terlena pada pemasaran yang sebenarnya tidak sedikitpun memikirkan ketersediaan sumber daya alam dan hanya demi kepuasan manusiawi saja.  Pengembangan teknologi yang didasarkan pada iklan ini yang disebut dengan megateknik oleh Mumford.  Nah konsep megamesin dan megateknik inilah yang akan menyebabkan Nekropolis nantinya. Menerawang teori kehancuran peradaban ini, akankah lokasi perumahan yang kita tinggali ini akan berakhir seperti apa yang kita lihat dalam film-film fiksi ilmiah itu? naudzubillah...

Nah, untuk menghindari kehancuran peradaban ini, Mumford mengusulkan konsep Bioteknik. Sebagai lawan dari megateknik, teknologi yang dikembangkan manusia semestinya memperhatikan alam, berusaha untuk menyeselaraskan dengan peluang ketersediaan SDA kehidupan. Teknologi tidak bisa dkerjakan atas dasar kepentingang keilmuan teknologi sendiri saja (monoteknik), tetapi harus dikerjakan berdasarkan aspek lain yang berkaitan dengannya (politeknik), seperti dengan alam dan dengan kemanusiaan. Adakah kampus politeknik yang ada kini benar-benar menerapkan teknik  pemanfaatan teknologi  yang tidak menggerus  SDA dan SDM; sehingga tidak tersisa untuk generasi anak cucu berikutnya?

Pembahasan tentang megamesin ini dilanjutkan dalam buku volume keduanya, Pentagon of Power: The Myth of the Machine. Ketika terjadi perkawinan mesra manusia  dengan teknologi, dan mengkonsolidasi keduanya ke dalam sistem yang komprehensif yang melibatkan pendidikan, militer, dan pemerintah, muncullah struktur-struktur Megamachine yang saling mendominasi dan saling menghegemoni satu sama lain.  Dengan megateknik, sekelompok kaum serakah ini berusaha mengendalikan kaum lainnya di atas dunia dan berusaha bertindak  bagai dewa. Mereka sengaja membawa kita ke gaya hidup modern untuk memperbudak kita. Gaya hidup manusia ‘zaman now’  ini sebenarnya sedang  dibawah kontrol segolongan elit tertentu. Kita sebut mereka sebagai  elit global yang telah mengontrol kita dari segala lini kehidupan; mulai dari gaya hidup hedonis, keyakinan agnostik bahkan ateis hingga sistem pemerintah dengan politik demokratis-liberalis.

 Hal ini disadari oleh Mahatma Gandhi, filsuf kelahiran Gujarat, India. Untuk melepaskan diri dari perbudakan tersebut, beliau mengusulkan projek desa mandiri yang disebut sebagai Gram Swaraj. Program ini sebenarnya adalah respon penjajahan Inggris terhadap negaranya. Projek ini sendiri mengedepankan konsep teknologi tepat guna.  Mengajak masyarakat mampu  memanfaatkan teknologi yang  senada dengan konsep bioteknik Mumford. Impiannya adalah menyelamatkan desa dari serbuan produk asing. Sebuah panggilan bagi konsumen untuk waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan dari mendukung industri asing/ penjajah yang menghasilkan kemiskinan dan berbahaya bagi para pekerja dan manusia serta makhluk-makhluk lain.

Tidak berbeda dengan konsep Dynamics Equilibrium yang diusulkan oleh Mumford ataupun program Gram swaraj-nya Gandhi, seorang filsuf Islam juga hadir mengajak kita dari kehidupan perkotaan untuk kembali ke alam.  Tidak sekadar menyarankan pemanfaatan teknologi yang menghubungkan konsep ideal-dialektis antara sumber daya dan kebutuhan, projek  kampung muslim yang diajarkan  Imran Nazar Hosein juga bertujuan untuk melepaskan umat muslim dari hegemoni dunia Peradaban barat yang diciptakan Ya’juj Ma’juj.  Lewat tafsir eskatologis dari ayat-ayat Al-Qur’an, beliau meramalkan bahwa kemajuan barat yang dijadikan kiblat saat ini adalah bentuk lain dari tafsiran hadist ‘matahari terbit dari barat’ sebagai tanda akhir dunia. Beliau mengajak kita untuk kembali ke pedesaan demi menyelamatkan diri dari perbudakan ekonomi. Kampung muslim yang didirikan harus berdikari menciptakan pasar sendiri yang lepas dari sistem moneter Internasional. Memiliki sistem pemerintahan sendiri yang berbasis musyawarah. Demikianlah, konsep ecopolis yang diajukan oleh Imran, sebuah masyarakat perkampungan yang madani karena masyarakatnya yang relijius. Dengan basis Relijius inilah yang menjadi pondasi kuat terbentuknya peradaban paling humanis. Sifat relijius disini tentu saja lepas dari karakter megamesin seperti yang disampaikan Mumford. Masyarakat yang menerapkan bioteknik dan tidak melakukan fasad di muka bumi.  Dimana manusianya hidup dengan teknologi yang selaras dan berpadu dengan alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال