Ibadah Kurban dalam Tinjauan Maqashid Syariah

Ibadah Kurban dalam Tinjauan Maqashid Syariah 

Oleh: Aziz Abdurrahman, S.Li.

KULIAHALISLAM.COM - 12 Dzulhijjah 1443 Hijriah masih termasuk di dalam hari yang disebut sebagai hari tasyrik. Kaum muslimin baru saja merayakan perayaan Idul Adha. Untuk tahun ini penentuan Idul Adha antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi terjadi perbedaan, di Indonesia 10 Dzulhijjah jatuh pada hari ahad 10 Juli 2022, sedangkan pemerintah Arab Saudi menetapkan hari raya Idul Adha jatuh pada satu hari sebelumnya yang bertepatan dengan hari sabtu 9 Juli 2022.


Terlepas dari perbedaan itu, kaum muslimin di segala penjuru dunia tetap terlihat semarak di dalam merayakan hari raya Idul Adha, terkhusus ketika menjalankan ritual penyembelihan hewan kurban. 

Sebagai umat Islam, kita meyakini bahwa menyembelih hewan kurban adalah syariat terdahulu, bahkan sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Karena syariat menyembelih hewan kurban sudah dilaksanakan semenjak zaman Nabi Ibrahm ‘Alaihissalam.


Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan tentang kisah Nabi Ibrahim yang bermimpi melihat anaknya disembelih, dan ia yakin bahwa itu adalah perintah Allah. Setelah itu Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam mengajak berdiskusi anaknya, dan anaknya menyetujuinya. Setelah itu saat Nabi Ibrahim hendak menyembelih anaknya, Allah gantikan posisi anaknya dengan seeokor kambing/domba. Dari sinilah dimulai syariat ibadah kurban.

Adapun dalam hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam disebutkan bahwa beliau menyembelih dua ekor kambing/domba, seraya berdo’a kepada Allah agar Allah menerima hewan kurban ini yang berasal dari Muhammad dan keluarganya. Dalam hadis tersebut juga disebutkan bahwa bulu hewan yang disembelihnya berwarna putih serta bertanduk.

Jika kita memperhatikan lebih dalam terkait dengan ibadah penyembelihan hewan kurban, pasti kita akan mendapati hikmah serta tujuan dari ibadah tersebut. Hikmah atau maksud dalam seluruh syariat yang Allah turunkan, ada kalanya dapat kita ketahui dan ada kalanya tidak. Hal ini disebabkan bahwa akal manusia terbatas di dalam memahami rahasia-rahasia dari maksud sebuah syariat, baik yang bersifat perintah maupun larangan.

Dalam disiplin ilmu Keislaman, ilmu yang membahas terkait dengan maksud dan tujuan syariat disebut sebagai maqashid syariah. Ilmuwan Islam yang memberikan sumbangsih besar dalam ilmu ini adalah Asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat. Beliau menyimpulkan bahwa seluruh hukum-hukum di dalam Islam disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan hamba-Nya. 

Dalam penelitiannya Asy-Syathibi menyimpulkan bahwa seluruh syariat bertujuan untuk menjaga lima hal. Kelima hal ini adakalanya disebut sebagai Al-Kulliyat Al-Khams dan terkadang disebut juga dengan Adh-Dharuriyat Al-Khams. Lima hal tersebut adalah Ad-Din (agama), An-Nafs (jiwa), An-Nasl (keturunan), Al-Aql (akal), dan Al-Mal (harta).

Sebagai contoh misalkan mengapa ada syariat jihad fi sabilillah, tentu dengan melihat lima konsep di atas akan sangat mudah kita menjawab bahwa jihad disyariatkan untuk menjaga agama. Agar agama Islam tegak di atas muka bumi. 

Dan juga mengapa ada pelarangan dari meminum minuman keras/khamr, jawabanya adalah agar akal manusia terjaga, dan agar tidak termasuk di dalam kemubadziran dalam penggunaan harta. Begitu juga mengapa ada syariat pernikahan di dalam agama Islam, tentu jawabannya adalah agar terlestarikannya keturunan.

Penulis kali ini akan membahas tentang maqashid syariah di dalam syariat penyembelihan hewan kurban. Motivasi penulis dalam membuat tulisan ini ialah sebagai jawaban terhadap kalangan liberal yang pernah melontarkan syubhat daripada beli hewan kurban yang dagingnya hanya bisa dimakan beberapa hari, lebih baik uangnya disedekahkan saja untuk keperluan pendidikan kaum fakir miskin’. 

Tentu ucapan tersebut adalah ucapan yang tidak berdasar oleh fakta di lapangan. Karena bisa jadi mereka yang berkurban adalah orang-orang yang selalu terdepan di dalam membantu sesama, hanya saja demi menjaga keikhlasan mereka tidak mau pamer.

Dalam ibadah penyembelihan hewan kurban selain sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah (dan ini kaitannya adalah bentuk penjagaan kepada agama seseorang), juga terdapat hikmah-hikmah yang lainnya. Diantara hikmah tersebut adalah bentuk penjagaan kepada keturunan dan keluarga.

Dalam doa yang disebutkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat menyembelih hewan kurbannya, beliau menyebutkan ‘keluarga Muhammad’ hal ini menunjukkan bahwa kepala keluarga hendaknya memperhatikan amal shalih yang dilakukan oleh keluarganya. Bahwa di dalam ayat Al-Qur’an Allah menyebutkan ‘Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’.

Selain yang telah disebutkan di atas hikmah atau tujuan di dalam penyembelihan hewan kurban adalah menjaga harta kaum muslimin dari bentuk kemubadziran. Di dalam Islam terdapat dua larangan di dalam pengelolaan harta, yaitu israf dan tabdzir. Dan membeli hewan kurban untuk kemudian disembelih bukan termasuk keduanya, bahkan menjadi amalan yang terbaik di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah.

Apabila ditelisik lebih jauh, ketika seseorang membeli hewan kurban dari pedagang dan terjadi transaksi jual beli, dalam hal ini akan memutar roda perekonomian khususnya di daerah. Kegiatan jual beli hewan kurban dan dampaknya bagi ekonomi tidak bisa kita melihatnya begitu saja secara sederhana, ada aspek-aspek lain yang sangat terkait. 

Sebagai contoh pemeliharaan hewan kurban dari kecil hingga menjadi besar tentu memerlukan biaya untuk pakannya, minumnya serta obatnya jika sakit. Kemudian proses distribusinya juga memerlukan moda transportasi serta bahan bakar untuk mengangkutnya dari pelosok hingga ke perkotaan. Semuanya mengandung kegiatan perekonomian, dan terjadilah perputaran uang disana.

Setelah hewan kurban disembelih, di dalam Islam orang yang berkurban boleh mengambil 1/3 dari dagingnya, dan sisinya disedekahkan. Dalam pembagian daging hewan kurban diberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan, dan ada kalanya boleh diberikan kepada kalangan non fakir/miskin sebagai hadiah. 

Dalam hal ini hikmah ibadah kurban sangat terlihat sekali. Jika diberikan kepada fakir/miskin, maka tentu akan sangat membantu mereka dalam hal pemenuhan gizi. Karena sangat dimungkinkan sebagian besar mereka hanya makan daging setahun sekali, yaitu saat perayaan Idul Adha. Jika diberikan sebagai hadiah kepada kalangan non fakir/miskin, maka tentu ini akan menyenangkan perasaan mereka sehingga timbulah perasaan kasih sayang sesama umat Islam.

Maka, untuk menjawab syubhat dari kalangan liberal yang mengatakan bahwa ‘lebih baik uangnya buat sedekah saja’ tentu akan sangat panjang. Terlebih di dalam Islam ada instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang memang disyariatkan berbentuk harta materi yang diberikan kepada kalangan yang membutuhkan. 

Namun sangat disayangkan karena kebencian mereka terhadap syiar-syiar Islam sehingga menutup mata mereka dari apa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin untuk membantu kalangan fakir/miskin. 

Dan sebagai jawaban yang terakhir, penulis ingin membuat pertanyaan balik untuk menyerang mereka, Mengapa yang mereka kritisi itu adalah ibadah dan syiar kaum muslimin? Kemana pernyataan kritis mereka jika ada sebuah pegelaran konser musik atau bentuk maksiat lainnya yang memerlukan banyak biaya?

Tentu saja kalangan liberal itu tidak bisa menjawab, karena tujuan mereka adalah mejauhkan umat Islam dari agamanya. Wallahu A’lam.


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال