Hikmah Hijrah Nabi Muhammad dalam Pandangan M Quraish Shihab


KULIAHALISLAM.COM - Prof. Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa : Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ketika seseorang sahabatnya berhijrah dari Mekah ke Madinah : “ setiap pekerjaan harus atau pasti disertai oleh niat”.

Maka, Barang siapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian dan barangsiapa yang berhijrah didorong oleh keinginan mendapat keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang wanita maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.

Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabat beliau berhijrah motivasi utama mereka adalah guna memperoleh ridho Allah yang diyakini Maha Kuasa lagi maha bijaksana. Menjelang hijrah kaum muslim berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya. Namun, keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna.

 Hal ini disebabkan oleh tebalnya iman mereka kepada Allah yang Maha Kuasa. Pokok pertama yang ditanamkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada sahabat-sahabatnya Jauh sebelum hijrah adalah prinsip keimanan. Bukan saja karena keimanan kepada Allah merupakan ajaran dasar, tetapi juga karena iman membentengi manusia serta mengantarkan mereka kepada optimisme.

Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al Manar menyebutkan bahwa "Iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga merupakan petunjuk jalan ketika berjumpa dengan kegelapan keraguan. Dengan iman seseorang akan mudah mengatasi batu penghalang yang dapat menjatuhkannya ke jurang kebinasaan".

Iman menumbuhkan dalam diri manusia suatu pusat penelitian atas tiap detak-detak hati yang terlintas dan setiap pandangan yang terbentang. Dengan iman, seseorang dapat melihat tembus sesuatu yang tersier dari kulit yang tersurat. Demikian itulah, Tuhan tidak menghasilkan sesuatu yang baik kecuali dari yang baik pula.

Memang, dalam perjalanan hidup terkadang ada timbul rasa ragu akan adanya Tuhan yang Maha Kuasa. Jika kepercayaan tadi dicoba untuk ditanggalkan akan terasa bahwa keraguan tidak hilang tetapi justru bertambah.

Imam Ali Bin Abi Thalib pernah ditanya Zi’lib Alyamani dan terjadilah percakapan berikut :

“Apakah Amir Al Mukminin pernah melihat Tuhan ?”. Ali menjawab : Bagaimana aku menyembah sesuatu yang tidak aku lihat ?

Bagaimana tuan melihat Dia ? Imam Ali menjawab : “Dia tidak dapat dilihat oleh mata dengan pandangan nyata. Tetapi Dia keberadaan-Nya dijangkau oleh hati dan hakikat keimanan. Dia dekat dari segala sesuatu, tetapi tidak dapat disentuh. Dia jauh namun Dia tetap bersama segala sesuatu”.

Bagaimana kita dapat melihat Tuhan dengan pandangan mata sedangkan sebagian buktinya ada-Nya saja yaitu matahari tidak dapat ditatap oleh mata kita. Kelelawar di siang hari tidak dapat melihat bukan karena tidak ada sesuatu tapi karena memang baru di kegelapan lah matanya dapat melihat.

Perasaan akan adanya Allah dalam jiwa Sanubari kita adalah sebagian hidup kita. Perasaan itu tidak dapat dipisahkan sebagaimana tidak dapat dipisahkannya kasih ibu kepada anaknya atau kasih suami kepada istrinya dalam satu rumah tangga yang bahagia. Perasaan tersebut dipelihara diasah dan diasuh agar tidak berkurang.

 Demikian itulah yang dilakukan Rasulullah selama di Mekah dan ketika beliau berada di Madinah. Hijrah Rasulullah telah berlalu 14 abad lamanya. Namun dari hijrah dan celah-celah peristiwanya banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Berikut ini beberapa diantaranya

Pengorbanan

Ketika Rasulullah SAW menyampaikan kepada Abu Bakar radhiallahu anhu bahwa Allah memerintahkannya untuk berhijrah dan mengajak sahabat-sahabatnya itu butuh hijrah bersama, Abu Bakar menangis kegirangan. Dan seketika itu juga ia membeli dua unta dan menyerahkannya kepada Nabi untuk memilih yang dikehendakinya.

 Nabi menolak Pemberian hadiah unta oleh Abu Bakar tersebut pada akhirnya Abu Bakar memilih untuk menjualnya.Mengapa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menolak pemberian hadiah Abu Bakar tersebut?

 Di sini terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga yaitu Rasulullah ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha yang besar dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi bahkan dengan jiwa dan raga beliau.

Dengan membayar harga unta itu Nabi mengajarkan kepada Abu Bakar dan kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah janganlah mengabaikan sedikit kemampuan pun selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali (Q.S 96 : 8).

Makna Hidup

Rasulullah SAW berangkat ke Madinah sambil memesan kemenangannya, Ali Bin Abu Thalib tidur di tempat pembaringan sambil berselimut dengan selimut beliau gunakan mengelabui kaum musyrik. Dengan kesediaannya ini, Ali pada hakikatnya mempertaruhkan jiwanya demi membela agama Allah. Disini sekali lagi kita ingin berhenti untuk menarik pelajaran tentang apa sebenarnya arti hidup menurut pandangan agama ?

Hidup bukan sekedar menarik dan menghembuskan nafas. Ada orang-orang yang telah terkubur tetapi oleh Alquran masih dinamai orang hidup dan mendapat rezeki (Q.S 3 : 169). Demikian juga sebaliknya, ada ya orang-orang yang menarik dan menghembuskan nafas namun dianggap sebagai orang-orang yang mati (Q.S 35 : 22).

Hidup dalam pandangan agama adalah kesinambungan dunia dan akhirat dalam keberadaan bahagia kesinambungan yang melampaui usia di dunia ini. Sehingga, dengan demikian tidak ada hidup seseorang apabila ia tidak menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban yang lebih besar dan yang melebihi kewajiban-kewajiban hari ini.

 Setiap orang yang beriman wajib mempercayai dan menyadari bahwa di samping wujudnya masa kini masa ada lagi wujud yang lebih kekal, dan dapat menjadi jauh lebih indah daripada kehidupan dunia ini.

Tawakal dan Usaha

Ketika Rasulullah bersama Abu Bakar radhiallahu Anhu bersembunyi di suatu gua yang dikenal dengan nama Gua Tsur dan para pengejar mereka telah berdiri di mulut gua tersebut, Abu Bakar sangat Gentar dan dan takut. Rasulullah menenangkannya sambil berkata : “Janganlah khawatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita”.

Keadaan ini bertolak belakang dengan apa yang kemudian terjadi dalam peperangan Badr, sekitar satu setengah tahun setelah peristiwa hijrah ini, ketika itu yang cemas adalah Nabi Muhammad dan Abu Bakar radhiallahu Anhu yang menenangkan beliau.

Mengapa terjadi dua sikap yang berbeda dari Nabi dan Abu Bakar ? Di sini sekali lagi kita mendapat pelajaran yang sangat dalam menyangkut arti hakikat-hakikat keagamaan. Dua peristiwa yang berbeda di atas menunjukkan pula dua sikap kejiwaan yang berbeda dan keduanya diperankan dengan sangat jitu oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kedua hakikat keagamaan itu adalah tawakal dan usaha.

Rasulullah diperintahkan untuk berhijrah ketika perintah itu tiba tanpa diketahui dalam waktu yang cukup lama. Karena itu perintah tersebut dilaksanakannya dengan penuh keyakinan bahwa pasti Allah bersama mereka. Apapun yang terjadi maka adalah pilihan-Nya sehingga ketika itu tiada lagi alasan untuk takut atau bersedih.

Berbeda halnya dengan peperangan. Jauh sebelumnya beliau telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi musuh. Kekhawatiran Nabi ketika itu timbul karena keraguan beliau akan persiapan persiapan yang dilakukannya selama ini. Karena jika keraguan itu benar tentulah beliau telah menjerumuskan umat bahkan agama kejuara yang sangat berbahaya. Beliau dan tentaranya dapat kalah akibat kurangnya persiapan. Bahwa dalam hal ini Tuhan tidak memilih kasih.

Sekali lagi kita mendapat pelajaran tentang arti tawakal, kapan digunakan dan bagaimana batas-batasnya serta arti dan pentingnya usaha dalam kehidupan ini. Tentu masih banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sehingga wajar jika Umar Bin Khattab menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal kalender Islam.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال